Matahari perlahan bergerak naik dengan sinarnya yang makin terasa hangat pagi itu, sekitar pukul 09.30 WIB, ketika modin Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Ahmad Thohir, memimpin warga yang mayoritas petani aneka hortikultura tersebut, mengulukkan doa beberapa jam sebelum festival tahunan seniman petani pada hari pertama itu dimulai, Jumat (28/6).
Kepala Dusun Mantran Wetan Handoko dan Ketua Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Supadi Haryanto juga berada di tengah-tengah mereka dalam doa di pemakaman tersebut.
Belasan perwakilan warga dipimpin tiga sesepuh mereka, masing-masing Mujar Sabar, Cipto Parlan, dan Siswanto, sebelumnya berjalan kaki melewati jalan setapak di bagian ceruk areal pertanian setempat, menuju sumber air yang letaknya di pinggir dusun. Warga menyebut mata air itu sebagai sumber "Curah", dengan aliran sungai kecil yang mengikutinya dinamai "Kali Bangkong".
Di depan kemenyan yang makin menggunung, Mujar mendaraskan doa bersama para warga lainnya dalam prosesi pengambilan air untuk sarana doa di makam cikal bakal Dusun Mantran Wetan, yakni Kiai dan Nyai Kotik.
Mereka kemudian membawa dua kendi menuju makam dusun itu. Kendi diletakkan di makam Kiai Kotik yang berdampingan dengan nisan kayu Nyai Kotik di tenggara puncak Gunung Andong.
Kabut yang berarak ke puncak gunung itu terkesan bagai menuntun persembahan doa warga setempat yang membumbung menuju Sang Pemilik Alam Kehidupan mereka.
"'Laa ilaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah. Hasbunalla wa ni'mal wakil ni'mal maula wa ni'man nashir. Subhanallah wa bi Hamdihi subhanallahil 'adzim. Astgahfiullah al-Adzim'," demikian kalimat tahlil yang mereka daraskan puluhan kali di makam tersebut dipimpin modin Ahmad Thohir.
Arti kalimat tahlil itu, adalah "Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul (utusan-Nya). Cukuplah Allah yang menjadi pelindung kami dan Allah sebaik-baiknya penolong. Maha suci Allah satu-satunya 'Dzat', maha suci Allah Yang Maha Agung. Ya Allah ampunilah segala dosa-dosa kami".
Kadus Handoko mengatakan warga mengirim doa kepada Tuhan di makam dusun setempat agar penyelenggaraan Festival Lima Gunung XII selama 28-30 Juni 2013 berjalan dengan lancar dan menggembirakan masyarakat luas.
Festival tahunan secara mandiri, tanpa bantuan baik pemerintah maupun sponsor itu, diselenggarakan oleh seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung. Pada 2009, dusun setempat juga menjadi lokasi Festival Lima Gunung.
Berbagai pementasan dalam Festival Lima Gunung XII bakal disuguhkan oleh para seniman petani Komunitas Lima Gunung, sejumlah grup kesenian tradisional berasal dari beberapa dusun di sekitar Mantran Wetan, termasuk beberapa kelompok lainnya dari wilayah Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Magelang, serta sejumlah grup seniman dari luar daerah.
Warga setempat sejak sekitar tujuh hari terakhir bergotong-royong menyiapkan dua panggung dan menghiasi dusun itu dengan umbul-umbul dari jerami dan keranjang, untuk membangun suasana meriah festival. Dua panggung pementasan kesenian yang mereka sebut sebagai panggung "Mulat Hananan" dan panggung "Sungsang", didirikan masing-masing di halaman rumah Gianto dan Yatmin.
Instalasi panggung terbuat dari bahan-bahan alam, seperti jerami, tebon (batang pohon pisang), ranting kering tanaman cabai, sedangkan di panggung "Sungsang" berupa tiga "level" juga ditandai instalasi lima gunungan wayang dengan bahan dari rangkaian jerami dan berlatar belakang puncak Gunung Andong.
Festival yang puncaknya pada Minggu (30/6) itu, antara lain juga ditandai dengan arak-arakan seniman petani melewati jalan utama dusun setempat, pemukulan Gong Gunung, orasi budaya, dan peluncuran buku Komunitas Lima Gunung bertajuk "Sendang Sungsang".
Festival Lima Gunung XII bertema besar "Mulat Kahanan Sungsang", yang kira-kira maksudnya mengajak masyarakat luas untuk merefleksikan secara batiniah tentang keadaan kehidupan yang berbagai aspek akhir-akhir ini serba terbalik dari situasi normal.
Berbagai kesenian yang bakal disuguhkan oleh para seniman, antara lain tarian Bronto Lungit, Soreng, Jaranan Campursari, Butho Ijo, Kuda Lumping, Ketoprak Lima Gunung, Jaran Kepang Papat, Topeng Saujana, Topeng Ireng, Joget Bosah-Baseh, Topeng Ehek, Gladiator Gunung, Joget Sekar Gunung, Butho Edan, dan Lengger.
"Kami menganggap bahwa festival ini menjadi hajatan besar kami, dan setiap kami memiliki hajatan, selalu tidak lepas dari kesadaran pentingnya warga harus memohon doa, supaya semua berjalan lancar," kata Handoko.
Supadi yang juga pimpinan Sanggar Andong Jinawi Dusun Mantran Wetan dengan basis kesenian tradisional Jaran Papat itu mengemukakan kebanggaan hati masyarakat sebagai tuan rumah Festival Lima Gunung XII.
Prosesi doa di makam itu disebutnya sebagai "ziarah seni".
"Masyarakat telah menyiapkan rumah-rumah mereka untuk transit kelompok-kelompok kesenian yang akan tampil, juga untuk para tamu dari luar yang akan menginap di dusun kami selama festival," katanya.
Sejumlah tokoh legendaris di kawasan setempat, seperti Syekh Subakir, Kiai Sutris, Simbah Mangli, Sunan Geseng, Kiai Abdul Fakih, Simbah Surogendera, dan Kiai Kali Pendhek pun disebut Ahmad Thohir dalam pengantar darasan doa di makam, sebagai simbol penghormatan terhadap roh leluhur.
"'Mugi Festival Lima Gunung samangke sageta lumampah kanthi gangsar, nir ing sambikala (Semoga festival kami berjalan lancar, bebas dari segala kendala, red.)," demikian kata sang modin dusun itu.