Tentunya mereka sore itu membicarakan tentang diri sendiri yang komunitas seniman petani di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Setiap tahun mereka menggelar festival secara mandiri atau tanpa sponsor dengan lokasi yang berpindah-pindah sesuai dengan musyawarah di antara para petinggi komunitas.
Mereka selama ini menjalani berbagai aktivitas kesenian, gerakan kebudayaan secara intensif, dan yang tidak boleh terlepas adalah kukuh dengan tradisi budaya dusun masing-masing yang dilakoni bersama masyarakatnya, berdasarkan kalender desa atau kalender Jawa.
Misalnya, tradisi Suran di Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, tradisi Khataman Kesenian menjelang Bulan Puasa di Padepokan Andong Jinawi Dusun Mantran, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, tradisi Saparan melalui pentas tarian lengger di Sanggar Cahyo Budoyo Dusun Krandegan, Desa Sukomakmur, Kecamatan Kajoran.
Sedangkan pusat aktivitas mereka antara lain berupa berbagai pementasan kesenian tradisional, kontemporer gunung dan kolaborasi pementasan, serta pertemuan para petinggi komunitas itu, lebih banyak diselenggarakan di Studio Mendut, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid, yang mereka mendaku di kawasan Pegunungan Menoreh.
Gerakan kebudayaan mereka tak hanya dilakoni di tingkat dusun masing-masing, tetapi juga mengembara ke berbagai kota, termasuk merespons isu-isu inspiratif menjadi tebaran nilai budaya yang dijalani komunitas itu melalui karya seni berbasis kearifan lokal.
Bendera Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang telah berkibar dengan nama besar yang telah dikenal berbagai kalangan lokal, nasional, dan luar negeri, khususnya dalam kiprah gerakan kebudayaan lokal, dengan inspirator budayawan Sutanto Mendut.
Festival secara mandiri mereka telah menjadi ajang silaturahim penting anggota komunitas itu dan mungkin boleh dibilang telah menjadi tradisi tahunan mereka.
Pada 2012, mereka bahkan menggelar dua kali festival di dua lokasi. Festival Lima Gunung XI/2012 di Gunung Sumbing Dusun Krandegan (30 Juni-1 Juli) dan di Gunung Merbabu Dusun Gejayan (4-15 Juli).
Usai bersama masyarakat mengikuti pengajian berlokasi di satu ruas jalan bertata batu di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, dalam rangkaian agenda festival tahunan mereka sore itu, sejumlah petinggi komunitas itu bersama beberapa tamu dari luar kota masih berkumpul di rumah Kepala Desa Banyusidi, Riyadi.
Mereka antara lain berbagi kabar yang tentunya dengan sendau gurau tentang beberapa kelompok kesenian dusun lain yang ingin masuk menjadi anggota komunitas itu. Kelihatannya nama besar Komunitas Lima Gunung, telah menjadi daya magnet grup kesenian lain untuk merapat.
"Banyak pertanyaan muncul, bagaimana cara bergabung dengan Lima Gunung, termasuk melalui jejaring sosial. Bahkan, yang terbaru ada status di jejaring sosial menceritakan pengalaman menghadapi pertanyaan itu," kata satu pegiat Komunitas Lima Gunung, Ari Kusuma.
Ketua Komunitas Lima Gunung yang juga pemimpin Padepokan Andong Jinawi, Supadi Haryono, juga bertutur tentang festival kesenian di satu kecamatan tetangganya dengan iming-iming bahwa juaranya akan masuk dalam Komunitas Lima Gunung.
"Sampai-sampai Pak Lurahnya datang ke rumah saya, meminta kelompok kami ikut festival itu. Lha saya harus menjawab bagaimana. Kami ini sudah 10 tahun menjadi anggota Lima Gunung," katanya yang ditimpali dengan rebakan tawa mereka yang berkumpul di ruangan tamu beralas tanah itu.
Pemimpin Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing, Sumarno, bercerita tentang kedatangan Sutanto ke rumahnya beberapa tahun lalu untuk menyaksikan tradisi Saparan semalam suntuk di kawasan dusun di lereng Gunung Sumbing itu.
Tradisi Saparan itu ditandai dengan pentas tarian lengger. Ribuan warga dusun-dusun setempat bergereget menyaksikan acara itu sebagai tradisi budaya masyarakat di satu dusun terakhir sebelum puncak Gunung Sumbing yang sekitar 3.700 meter dari permukaan air laut.
"Setelah itu, kami sering ikut dalam berbagai pementasan Lima Gunung. Kami ikut rapat-rapat persiapan pementasan, termasuk tentunya selalu ikut dalam Festival Lima Gunung," katanya.
Dusun Krandegan yang terdiri atas 23 rukun tetangga itu memiliki puluhan kesenian tradisional yang hingga saat ini dihidupi secara dinamis oleh masyarakat setempat.
Riyadi yang juga pemimpin Padepokan Warga Budaya Gejayan itu mengaku, semula grup keseniannya pentas kesenian rakyat dalam rangka tradisi Suran di Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor beberapa tahun lalu. Mereka kemudian mengembangkan musik truntung (pengiring tarian soreng, red.) menjadi karya musik berjudul "Truntung Gunung".
Setelah itu, dalam berbagai kesempatan kegiatan Komunitas Lima Gunung, kelompok seniman petani dusunnya mementaskan keseniannya. Bahkan, beberapa karya tarian kontemporer gunung hingga saat ini telah tercipta seperti tarian "Kipas Mega", "Gupolo Gunung", dan "Geculan Bocah".
Sutanto Mendut juga mengatakan, belum lama ini beberapa pemimpin grup kesenian tradisional dari dua desa di kawasan Candi Borobudur datang kepada dirinya untuk berbicara soal keinginan mereka bergabung denga Komunitas Lima Gunung.
Atas pertanyaan tentang keinginan masuk menjadi anggota Komunitas Lima Gunung itu, sejumlah petinggi komunitas itu yang masih berkumpul di ruang tamu Kades Riyadi itu tak memberikan jawaban secara paten. Mereka merespons kabar tentang keinginan itu dengan gurauan hangat.
Memang selama ini, komunitas itu tidak pernah membuka pendaftaran anggota baru atau bahkan mengumumkan tentang syarat-syarat formal menjadi anggota.
Agaknya, jalan alamiah dan penyertaan kekuatan spirit gunung mereka, yang kemudian membangun kukuh Komunitas Lima Gunung, yang artinya seleksi alam berlaku untuk menjadi bagian dari komunitas itu. Hal tersebut terlihat cukup konsisten juga ketika menyangkut kelompok kesenian atau perorangan yang ingin ke luar dari komunitas seniman petani itu.
Sahabat Lima Gunung
Lain lagi dengan terobosan cerdas yang ditempuh pemerhati seni dan budaya Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Joko Aswoyo.
Selama beberapa tahun terakhir, Joko Aswoyo cukup rajin bergaul dengan Komunitas Lima Gunung, ikut rapat-rapat para petinggi komunitas tersebut, dan bahkan dia pernah dari Kota Solo mengajak isterinya untuk hadir dalam satu pementasan malam Komunitas Lima Gunung di Studio Mendut, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur.
Beberapa mahasiswanya, dengan prakarsa Joko Aswoyo sering juga turut pentas dalam kegiatan yang digelar Komunitas Lima Gunung di Magelang, dan bahkan mereka juga menjalani program kuliah kerja nyata di dusun salah satu anggota komunitas itu.
Ia pun kemudian dengan prakarsa sendiri mendirikan kelompok yang dinamai Sahabat Lima Gunung dengan para pegiat yang juga mahasiswa Jurusan Tari ISI Surakarta. Hingga saat ini, kelompok itu sedikitnya telah empat kali turut dalam pementasan Komunitas Lima Gunung, termasuk dua tahun terakhir berkesempatan berkiprah dalam pentas karya pada Festival Lima Gunung.
"Kebetulan saya dan teman-teman lain utamanya mata kuliah manajemen komposisi dan skenografi, atau tata artistik lebih senang memilih kuliah di luar kampus karena akan memberikan pengalaman unik bagi kami dan mahasiswa," katanya.
Ia menjelaskan, kajian lokasi dan aktivitas masyarakat terutama kesenian dengan alamnya di kawasan lima gunung Magelang cukup banyak memberikan inspirasi kepada mahasiswanya. Pihaknya kemudian mencoba fokus kepada Komunitas Lima Gunung dan hingga saat ini hal tersebut masih terus berproses.
Dalam beberapa kali kesempatan penting terkait dengan kegiatan kebudayaan, dengan melalui fasilitasinya, anggota Komunitas Lima Gunung juga berkesempatan pentas di ISI Surakarta.
Ia mengaku diterima dengan hati oleh Komunitas Lima Gunung ketika kelompoknya mengibarkan bendera "Sahabat Lima Gunung".
"Kami mengalir saja. Satu kali kita saling membutuhkan bersinergi, banyak mimpi tentang kerja sama juga. Kami menangkap diterima dengan hati. Itu arti sahabat," katanya.
Memang tidak ada syarat formal untuk bergabung dengan Komunitas Lima Gunung. Mungkin modal rajin bergaul dengan rendah hati dan spirit desa dengan kesederhanaan bersama kearifan lokalnya, bisa mengantar mimpi baik itu.
Akan tetapi, yang sering dikatakan Sutanto Mendut barangkali satu kata kunci untuk bergabung dengan seniman petani Komunitas Lima Gunung, yakni "Berjodoh".