Suradi (50), lelaki yang warga kawasan barat Gunung Merbabu di Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu menunjukkan kepada seorang tamu sanggar seniman petani "Warga Budaya" bahwa hujan deras yang berlangsung sejak sekitar pukul 11.30 WIB bakal reda.
Betul juga satu tanda alamiah yang dikatakan petani sayuran itu. Sekitar pukul 12.20 WIB, hujan yang semula deras menjadi gerimis rintik-rintik, sedangkan langit yang mendung tebal berubah menjadi terang dan langit biru terlihat.
"Anak saya (Norman, red.) nanti memimpin 'truntung' (musik kontemporer gunung, red.)," katanya.
Siang itu, dusun setempat kedatangan puluhan penyair dari lima benua yang mengikuti acara bertajuk "Forum Penyair Internasional-Indonesia (FPII) 2012". Sejak tiga hari terakhir di Magelang, mereka membaca karya puisinya di sejumlah tempat, terutama di Candi Borobudur.
Kegiatan FPII 2012 secara keseluruhan berlangsung di empat kota di Indonesia yakni Candi Borobudur, Magelang (1-3 April 2012), Pekalongan (4-6 April), Malang (7-9 April), dan Surabaya (10-12 April) dengan seluruh penyair berjumlah 42 orang.
Sebanyak 17 penyair berasal dari Jerman, India, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Zimbabwe, Belanda, Denmark, Islandia, Australia, Selandia Baru, dan Makedonia, sedangkan 25 lainnya dari sejumlah kota di Indonesia seperti Bali, Madura, Bekasi, Yogyakarta, Surabaya, Ngawi, Jakarta, Malang, Tangerang, Depok, Makassar, Bandung, dan Papua.
Setelah hujan reda di kawasan Gunung Merbabu itu, beberapa di antara penyair keluar dari pendopo sanggar, berjalan kaki menyusuri jalan kampung setempat dengan suasana sejuk itu.
Sebagian warga setempat di beberapa rumah berkumpul untuk menyiapkan sejumlah pementasan kesenian tradisional dan kontemporer gunung mereka sebagai suguhan kepada para tamunya itu.
Ketika para penyair memasuki arena pementasan, seniman petani Sucipto didampingi seorang lainnya, Pangadi, melakukan ritual "Salam Gunung". Sucipta bersila di tanah dengan taburan bunga mawar sambil mengucapkan doa-doa, Pangadi juga bersila di belakang lelaki gunung yang juga tokoh masyarakat setempat itu.
Sucipto kemudian membawa tempayan berisi bunga mawar merah putih dan kendi berisi air. Dipercikannya air kepada satu persatu penyair yang berdiri di depan panggung secara berjajar itu untuk kemudian mereka disilakan duduk di kursi kehormatan
Siang itu, seniman petani setempat menyuguhkan antara lain tarian "Topeng Ireng", "Geculan Bocah", "Gupolo Gunung", dan "Soreng" dengan beragam ritme musik dominasi gamelan, "truntung", dan kentongan. Pementasan berlangsung di halaman salah satu rumah warga setempat yang telah dipasangi properti dari alam.
Terkesan tak terbesit kekhawatiran lagi di wajah semua yang hadir di tempat itu tentang bakal turun hujan lagi selama berlangsung pesta kesenian rakyat Gunung Merbabu itu. Terlihat mereka bergembira, ratusan warga setempat baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak pun makin berangsek berdiri di arena pementasan.
Pemimpin Sanggar "Warga Budaya" Gejayan, Riyadi, dengan raut muka gembira seakan menikmati kesibukannya mengatur para seniman petani anggotanya yang bakal keluar arena pementasan beralas tanah yang bertabur kembang mawar itu dan beratap langit biru, tanda tak perlu risau lagi akan turun hujan.
Setelah pembawa acara, Endah Pertiwi, menyilakan penyair membacakan puisinya di sela pementasan kesenian rakyat Merbabu itu, Chirikure Chirikure (Zimbabwe, Afrika Selatan) maju pertama kali dan minta para penabuh gamelan mengiringi pembacaan sepenggal puisi berbahasa daerah asalnya.
Salah seorang kurator FPII 2012, Michael Augustin (Jerman), menyusul kemudian dengan puisi pendeknya tentang pujian atas kunjungan para penyair dunia itu di lereng Merbabu. Di arena pergelaran itu, ia seakan ingin mengungkapkan kesan atas suguhan warga setempat berupa aneka menu makanan tradisional di pendopo sanggar.
"'Food was great, the girl are pretty, all it stay in Banyusidi'," katanya. Pada kesempatan itu sejumlah perempuan dusun setempat juga menyuguhkan tarian kontemporer gunung "Kipas Mega".
Sejumlah penyair lain juga membacakan puisinya seperti Hagar Peeters (Belanda), Mbali Bloom dan Vonani Bila (Afrika Selatan), Arne Rautenberg (Jerman), Sujata Bhatt (India), Ulrike Draesner (Jerman), Nikola Madzirov (Makedonia). Beberapa di antara mereka membaca karyanya sambil berperforma tari seiring tabuhan musik gamelan.
Selain itu, Samar Gantang (Bali) membacakan puisi "Leak Lanang Leak Wadon Leak Kedi" berkolaborasi dengan Fikar W. Eda (Aceh) dengan sepenggal puisi salah satu karyanya. Kolaborasi suguhan puisi mereka dalam iringan tabuhan musik gamelan, kentongan, dan "truntung" oleh para seniman petani setempat dari atas panggung.
Di tengah keriangan pembacaan puisi itu, Suradi membawa bakul (wadah nasi dari anyaman bambu) berisi kacang rebus. Ia membagi-bagikan kacang rebus itu kepada para penyair yang duduk di deretan kursi kehormatan.
Semua orang yang hadir seakan tersedot perhatiannya, bukan saja terhadap pembacaan puisi karya para penyair dunia itu, akan tetapi mereka juga masuk dalam denyut tabuhan bertalu-talu iringan musik tradisional yang terasa membahagiakan tersebut. Mereka juga tertawa ketika melihat anak-anak menari "Geculan Bocah".
"Tarian ini mengeksplorasi tingkah polah anak-anak yang lucu," kata Sutanto Mendut, pengukuh Komunitas Lima Gunung Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh). Para seniman petani Sanggar "Warga Budaya" Gejayan adalah salah satu anggota Komunitas Lima Gunung.
Dua lelaki masing-masing mengenakan pakaian ala petani serba warna hitam dan mengenakan "iket" membawa kanvas maju ke depan panggung berproperti rajutan pohon lombok, sedangkan dua penari "Gupolo Gunung" berdiri mendampingi mereka.
Tabuhan musik "truntung" dan kentongan oleh anak-anak penari "Geculan Bocah" dipimpin seorang seniman petani lainya, Norman, yang berdiri di atas panggung seluas 10 meter persegi, mengiring para penyair menorehkan karya masing-masing di atas kanvas. Panitia FPII 2012 Magelang dipimpin Dorothea Rosa Herliany menyiapkan dua kanvas, masing-masing berukuran satu meter persegi.
"Silakan anda menuliskan apa saja, ungkapkan apapun di atas kanvas ini. Ini akan menjadi seruan lima benua, dan terlebih catatan perjalanan anda ke gunung ini," kata Sutanto.
Dalam irama tabuhan musik tradisional, para penyair pun satu persatu tak ingin melepaskan momentum berarti itu. Mereka bergantian menorehkan kata-kata seruannya. Beberapa torehan karya bersama mereka antara lain:
"Telah kutanam bintang di sini. Kelak tumbuh matahari," demikian karya penyair Hamdy Salad (Yogyakara).
"Asalku dari hulu. Menitis dari kesucian," demikian kalimat puitis Fikar W. Eda (Aceh).
"Setetes mawarku. Merekah di ujung batu Merbabu," demikan torehan Kusprihyanto (Ngawi).
"Banyusidi. Sidi, santi, santi," demikian tulisan Samar Gantang (Bali).
"Banyusidi, airmu kuminum," demikian ungkapan singkat Zawawi Amron (Madura).
"'Thumping together the earth, dance, dance, dance' (Mengentakkan kaki bersama di bumi, menarilah)," tulis Adam Wiedewitsch (Amerika Serikat).
"'But the lizard herself is my sister. Those hot afternoons when she comes indoors to hide' (Tetapi kadal itu adalah adik perempuanku. Panas siang ini, ketika dia datang mengetuk pintu untuk bersembunyi)," demikian torehan Sujata Bhatt (India).
"'The rain rinses tears into laughter love' (Hujan turun, air mata menjadi bahagia)," demikian tulisan Mbali Bloom (Afrika Selatan).
Sejumlah penyair lainnya menuliskan puisi mereka di atas kanvas itu dengan menggunakan bahasa lokal dari negara masing-masing.
Seorang kurator temu penyair dunia itu Silke Behl (Jerman) mengapresiasi momentum berpuisi mereka yang berbalutkan peristiwa budaya dusun seniman petani Gunung Merbabu, siang itu.
"Kami senang, kami tinggalkan puisi-puisi kami di sini," katanya.