Telatah harian lelaki itu terkesan biasa-biasa saja, seperti halnya sebagian besar warganya di sekitar lima kilometer barat Kota Magelang, Jawa Tengah yang antara lain berpenghidupan sebagai petani, peternak, buruh, dan pedagang pasar.
Ia mendaku wilayah dusunnya dengan sekitar 110 keluarga atau 250 jiwa di Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang itu masuk kawasan bawah yang cukup jauh dari puncak Gunung Sumbing.
Rangkaian kalimat refleksi pribadi yang diungkapkan Pangadi dalam bahasa Jawa itu, mungkin saja tertaut dengan campur aduk persoalan warganya hingga menumpu kepada dirinya sebagai sang kadus.
Kadus Pangadi juga memimpin komunitas seniman petani setempat yang tergabung dalam Sanggar Wonoseni Bandongan dengan sejumlah kesenian tradisional seperti musik "Madyo Pitutur" dan "Rebana", tarian "Topeng Ireng" serta "Grasak".
Saat malam menuju Jumat Pahing (8/3) itu, sebelumnya selama satu jam, hujan deras mendera disusul padamnya aliran listrik beberapa saat. Ia memainkan fragmen refleksi "Limo Werno" (Lima Warna) secara tunggal di panggung terbuka Taman Metamorfosa Studio Mendut, pukul 22.00-24.00 WIB.
Pucuk-pucuk refleksi kepemimpinan dusun yang ditempa Kadus Pangadi dari persoalan masyarakatnya mungkin saja juga mewakili hal ikhwal dalam lingkup kehidupan sosial lebih luas, tak hanya untuk dusunnya.
Namun, pada kesempatan itu ia tidak bersedia mengumbar secara rinci aneka persoalan masyarakat dusunnya. Ia mendaku mengolah secara reflektif beragam masalah masyarakatnya menjadi pementasan "Limo Werno" itu.
Pementasan refleksinya itu ditonton secara terbatas oleh belasan orang termasuk isterinya, Nanik Rohmiyati (39), dan anaknya, Dian Panca (17).
Dalam durasi dua jam di panggung terbuka di lokasi sekitar 300 meter timur Candi Mendut Kabupaten Magelang itu, ia menyuguhkan lima performa seni, masing-masing dinamai Pangadi sebagai fragmen "geni (api)", "banyu (air)", "pancing tanpa timbel (pancing tanpa bandul), "topeng", dan "ati (hati)".
Pangadi yang berpakaian jubah dan iket warna hitam berjalan mengelilingi patung batu setinggi sekitar 2,5 meter bernama Monumen Lima Gunung sambil membawa cobek cukup besar.
Di depan patung monumen tersebut ia letakkan cobek berisi arang dan dupa itu, lalu ia menyulutkan api melalui karet ban bekas sepanjang sekitar 30 centimeter. Apinya merambat menuju cobek penuh arang dan dupa. Tembang instrumentalia dan cahaya lampu mewarnai fragmen "geni" itu, ditata oleh Joko Widiyanto, seorang anggota tim Studio Mendut.
"'Geni yen disumet, urip e mrambat seka cilik dadi gedhe. Nglambangke uripe manungsa kuwi kon kanthi rerambat' (Kobaran api merambat dari kecil menuju besar, melambangkan hidup manusia itu merambat menuju besar)," kata Pangadi.
Ia memainkan gerak performa mengelilingi kobaran api yang makin membesar di cobek itu, sebelum langkah kaki perlahannya mengantar ke luar panggung di sisi barat di bawah pepohonan bambu dan pisang.
Dari balik satu patung batu di sudut panggung terbuka itu berkelebat-kelebar kucuran air mengiring tembang instrumentalia lainnya dan pembacaan lirik tentang air oleh Endah Pertiwi, seorang anggota tim Studio Mendut lainnya, dari ujung deretan duduk penonton.
"Banyu mengalir ke bawah, bukan selebriti, keterkenalan, bukan kedudukan dan pangkat, bukan uang receh di kantong profesor yang basah oleh air mata seolah ilmu ilmiah. Banyu hati tidak menawarkan kasta otak, kasta mulut, dan atau paradigma kuping. Sesudah merata baru tidur tenang di samudera tanpa angin," demikian sepenggal narasi air yang dibacakan Endah itu.
Pangadi yang telah mengganti kostum pementasan dari pakaian jubah menjadi telanjang dada dan bercelana panjang warna hitam ala petani memainkan fragmen kedua "banyu".
Melalui fragmen itu ia ingin mengungkap refleksi tentang sifat lumrah air yang mengalir ke tempat lebih rendah sebagai lambang pentingnya kesadaran manusia untuk selalu rendah hati.
"'Banyu miline medhun, manungsa urip e kon padha andhap asor' (Air mengalir turun, hidup manusia harus rendah hati)," katanya.
Keluar panggung dari sisi barat, Pangadi membawa cerek berisi air. Dituangkannya air antara lain di gentong, kendi, kelenting, sejumlah cobek, dan beberapa patung batu di berbagai tempat di panggung itu. Ia pun kemudian dengan langkah perlahan berjalan hingga menghilang di sisi timur panggung studio yang dikelola oleh pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut itu.
Tak berapa lama kemudian, Joko menghidupkan lampu sorot dari atas pohon di ujung studio. Cahayanya menerpa Pangadi yang telah mengenakan caping, berpakaian serba warna serba hitam ala petani. Tangan kanannya memegang sebilah pancing dengan juluran senar tanpa timbel sebagai bandul kail, sedangkan di pinggangnya terikat kepis.
Kadus Pangadi memainkan performa orang desa memancing dari atas jembatan bambu di samping Monumen Lima Gunung di panggung terbuka itu.
"'Pancing tanpa timbel, yen nggo mancing senare mlayu mrana-mrene, ngetutke aruse banyu. Menungsa kuwi pikirane lan lelakune aja gampang diombang-ambingke padha menungsane' (Pancing tanpa bandul mudah terbawa arus air. Pikiran dan perilaku manusia harus kukuh dan tidak mudah terombang-ambing oleh lainnya)," katanya.
Joko si penata suara mengubah lantunan lagu instrumentalia dari irama lembut menjadi lebih dinamis meski tetap dengan volume tak keras malam itu, di bawah mendung putih yang memayungi Studio Mendut.
Pangadi muncul lagi ke panggung dengan mengenakan topeng raksasa yang biasa dikenakan para seniman petani gunung di Magelang untuk mementaskan tarian tradisional "grasak".
Ia bergerak dengan tarian topeng "grasak" itu mengikuti iringan lagu instrumental, mengelilingi properti gentong dan sejumlah tempayan lainnya di tengah panggung, di bawah payung kontemporer raksasa beratap gedhek.
Seorang seniman dari Gunung Prahu, Sukorejo, Kabupaten Kendal, Taufik, mengolaborasi performa "topeng" Pangadi dengan tarian gecul menggunakan tiga topeng panji.
"Jangan hanya melihat dari wajahnya yang buruk karena suara hati manusia selalu menuju kebaikan. Ambillah hatinya supaya mendapatkan kebaikan," kata Pangadi dengan bahasa Jawa usai pementasannya.
Dengan suara perlahan, Endah Pertiwi mengumumkan kepada belasan penonton untuk beranjak dari tempat duduknya, pindah ke ruangan terbuka studio itu yang dinamai "Sendang Pitutur".
"Mas... mas....," kata Rohmiyati sambil menepuk-menepuk pundak kiri Pangadi, suaminya, yang duduk termenung di kursi "Sendang Pitutur". Kadus Pangadi telah mengenakan balutan kain dan surban serba warna putih duduk termenung di kursi rotan di tengah ruangan itu. Kepalanya tertunduk dan sesekali tangan kanannya menyangga kepalanya.
Penonton seakan dibawa ke dalam aura suasana tenang yang dibangun Pangadi melalui fragmen "ati". Penonton terdiam seakan menunggu tuturan yang bakal meluncur dari mulut Pangadi.
Tak ada kalimat yang muncul panjang lebar dari mulut Pangadi yang memainkan performa samadi itu, selain ucapan kata "Ngelangut (sepi)... ngelangut..."
Namun ternyata ia ingin mengungkapkan refleksi hidup manusia yang harus berlandaskan suara hati. Lazimnya dalam suasana tenang dan sepi, suara hati terdengar.
Seorang anggota tim Studio Mendut lainnya, Nana Ayom menembangkan kalimat berbahasa Jawa yang nampaknya mengartikan fragmen "ati" Pangadi.
"'Menungsa kuwi urip e kanthi ati-ati. Ati ora bisa diapusi. Nglambangke menungsa aja gampang nesu, merga atine kuwi diatur karo nepsu. Kudu bisa atine sing ngatur nepsu. Nepsu bisa ndadekke sing barang ora apik'".
Fragmen "Limo Werno" yang dipentaskan Pangadi malam itu seolah memang sebatas capaian refleksi seorang kepala dusun atas kehidupan masyarakat sekitarnya.
Akan tetapi, ketika pesan simbolik performa itu menyentuh nilai hidup manusia seperti perjuangan, kerendahan hati, prinsip hidup, dan suara hati, maka siapa saja barangkali tersapa.
Apalagi untuk sosok pemimpin. Kalimat yang terkesan tak populer meluncur dari mulut Kadus Pangadi, "Kon kudu sabar momong wong akeh" (Harus sabar memimpin banyak orang).