Semarang (ANTARA) - Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R. Siti Zuhro menyatakan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah tidak seharusnya disatukan menjadi pemilu borongan pada 2024.
"Mengapa? Selain hal itu tidak realistis, juga terkesan trial and error yang tak mempertimbangkan dampak-dampak negatif Pemilu Serentak 2019 dan pilkada serentak yang digelar sejak 2015," kata Prof. Siti Zuhro dalam diskusi secara virtual bertajuk "Pemilu dan Pilkada 2024: Reaslistiskah?", Minggu.
Diskusi yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah yang dimoderatori Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah Titi Anggraini selain menampilkan Prof. Siti Zuhro, juga Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2010—2011 Dr. H.M. Busyro Muqoddas yang memberi kata pengantar dalam diskusi ini.
Narasumber lainnya, yakni Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari, anggota KPU RI Pramono Ubaid Thantowi, Wakil Ketua LHKP PP Muhammadiyah, dan peneliti Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramitha.
Lebih lanjut Prof. Siti Zuhro mengatakan bahwa pemilu borongan ini juga bertentangan dengan mindset dan cultural set new normal yang mensyaratkan desain pemilu/pilkada yang rasional, berkualitas dan berdampak positif terhadap governance sehingga tidak menimbulkan bad governance atau divided government.
"Mendesain pemilu dan pilkada perlu mempertimbangkan filosofi, teks, dan konteks Indonesia," kata Zuhro.
Zuhro menegaskan bahwa pemilu/pilkada tidak boleh sekadar mengedepankan keserentakannya saja, tetapi juga kualitasnya.
Asumsi-asumsi positif dalam Pemilu Serentak 2019 dan alasan efisiensi, misalnya, menurut dia, tidak terbukti.
Ia menekankan bahwa uji coba desain pemilu/pilkada tak hanya tidak menguntungkan, tetapi membuat Indonesia merugi karena roadmap yang terbangun acak dan tidak terukur.
Selain itu, dilihat dari beberapa aspek lainnya, tampaknya tak juga menjanjikan seperti governance, partisipasi masyarakat (kualitas pemilih dalam memilih), kompetisi dan kontestasi (adil, setara), profesionalitas/kapasitas penyelenggara dalam menyelenggarakan pemilu/pilkada, dan kualitas pemilu/pilkada.
Oleh karena itu, dia merekomendasikan pemilu borongan pada tahun 2024 harus dihindari, kemudian pihaknya mengusulkan pemilu presiden didahulukan sebelum pemilu anggota legislatif dengan parliamentary threshold (PT) pilpres nol persen.
"Kalaupun diterapkan, kecil saja. Pasangan calon (paslon) diajukan oleh parpol yang ada di DPR," katanya.
Menyinggung soal pilkada serentak, Zuhro mengatakan bahwa pelaksanaan sesuai dengan jadwal, yaitu pada tahun 2022 sebanyak 101 daerah.
Pilkada 2023 sebanyak 170 daerah, lanjut dia, bisa dipertimbangkan untuk disatukan pada Pilkada Serentak 2022 sehingga jumlahnya menjadi 271 daerah.
Di sisi lain, Zuhro juga memandang perlu ada jeda menjelang pemilu anggota legislatif dan pilpres 2024 agar semua proses tahapan lebih rapi disiapkan sampai terjadinya pencoblosan dan pengumuman hasilnya.
"Oleh karena itu, pada tahun 2023 tak perlu ada pilkada serentak. Artinya, fokus dan energi pemangku kepentingan terkait dengan pemilu lebih pada persiapan pileg dan Pilpres 2024," pungkas Zuhro.
Berita Terkait
Dua komisioner KPU Kota Semarang keluar saat rekapitulasi suara
Kamis, 5 Desember 2024 18:40 Wib
Legislator sebut Generasi Z lebih individual dalam preferensi memilih
Rabu, 4 Desember 2024 20:22 Wib
Pemungutan suara ulang di Karanganyar
Sabtu, 30 November 2024 14:42 Wib
Pemkab Kudus salurkan bantuan keuangan parpol senilai Rp2,42 miliar
Senin, 25 November 2024 16:24 Wib
Jokowi : Semuanya harus tenang, harus tenang..
Senin, 25 November 2024 15:55 Wib
Polres Kudus siapkan 390 personel pengamanan TPS di Pilkada 2024
Senin, 25 November 2024 10:15 Wib
Polres Jepara kawal distribusi logistik Pilkada Jepara 2024
Jumat, 22 November 2024 16:32 Wib
Bawaslu umumkan hasil pemeriksaan video ajakan Prabowo
Rabu, 20 November 2024 17:36 Wib