Akhir-akhir ini banyak keluhan masyarakat terhadap sajian media, terutama terkait dengan informasi serta opini.
Sebelumnya keluhan itu tertuju pada media sosial (medsos) yang sering tidak jelas akun ataupun portal pengirimnya. Namun, saat ini media arus utama (mainstream) pun ikut-ikutan pula.
Sebut saja misalnya salah satu elite yang menyebut dualisme partai di Indonesia, antara partai "Allah" dan partai "Setan" yang akhirnya banyak dipersoalkan.
Contoh lainnya adalah kritik tanpa data elite lainnya terkait dengan penggelembungan (mark-up) biaya LRT yang ternyata justru paling murah, setidaknya bila dibandingkan dengan di Malaysia dan Filipina. Ada lagi, misalnya elite yang menyebut mudik neraka, padahal kenyataannya tidak demikian, serta sejumlah contoh lainnya.
Pengelola media yang bersangkutan setelah memperoleh berbagai protes pun berdalih bahwa hal tersebut sengaja dilakukan agar masyarakat akhirnya tahu serta memberikan penilaian terhadap para elite yang asal membuat pernyataan belaka.
Mungkin mereka meniru Television Fox yang bermoto "Kami menyajikan, Andalah yang menentukan/menilai". Namun, sebagai pengelola media, mestinya mereka memahami salah satu asas dalam jurnalistik, yaitu asas manfaat.
Dengan fungsi media massa, antara lain, edukasi (mencerdaskan), sangatlah perlu dipertanyakan bagaimana bila data, informasi, serta opini yang mereka sajikan meski berasal dari sumber berita yang kompeten ternyata salah dan sumber datanya tidak jelas sehingga cenderung dapat menyesatkan.
Objektivitas
Apa yang disampaikan Westersthall terkait dengan berita yang objektif, setidaknya mengandung empat unsur: faktualitas, relevansi, netralitas, dan keberimbangan. Pakar lainnya McQuail menambahkan bahwa faktor objektivitas berita tersebut dengan membela kepentingan banyak orang.
Sebagai orang yang paham komunikasi dan jurnalistik, penulis sering memperoleh banyak pertanyaan terkait dengan ketidakakuratan penyajian media karena menyajikan informasi serta opini yang datanya tidak akurat tersebut. Penulis pun selalu menjawabnya bahwa media yang demikian melakukannnya mungkin sengaja, ketidakcermatannya, atau mungkin pula ada motif lain di baliknya.
Yang perlu diingat, terutama pengelola media arus utama, ketatnya persaingan antarmedia tidak serta-merta membolehkannya melakukan sesuatu yang menyimpang dari kaidah, bahkan undang-undang, sekadar mengejar aktualitas.
Kekeliruan fatal yang pernah dilakukan RRI pada era Orde Baru yang memberitakan meninggalnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX tanpa cek dan ricek terlebih dahulu, padahal beliau dalam kondisi segar bugar.
Mungkin, kala itu bisa saja diberikan alasan, teknologi komunikasi belum secanggih saat ini. Oleh karena itu, pada era kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, seyogianya konfirmasi terkait dengan keakurasian data mutlak harus dilakukan.
Sangatlah merugikan bila hanya demi aktualitas, terlebih kepentingan jangka pendek, menyajikan sesuatu yang tidak akurat. Dampaknya akan seperti kata Yale bahwa "character" menjadi taruhan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadapnya. Hal tersebut tentulah tidak mereka harapkan, utamanya bila dibandingkan dengan sulitnya merebut hati atau akses dari masyarakat.
Makin Cerdas
Yang perlu diingat, terutama pengelola media arus utama adalah bahwa pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, makin memudahkan masyarakat memperoleh informasi dari mana pun tanpa batas. Apa yang dikatakan McLuhan bahwa dunia menjadi desa global telah menjadi kenyataan.
Senyampang dengan itu, maka pengelola tidak bisa lagi main-main dalam menyajikan informasi serta opini. Hal ini mengingat masyarakat akan memilih media yang menyajikan informasi serta opini dengan didukung fakta, relevan dengan situasi, netral, berimbang, serta demi kepentingan banyak orang.
Para elite dan intelektual pun sebaiknya juga makin menyadari dan belajar bahwa menyampaikan informasi serta opini tanpa data akurat akhirnya akan menimbulkan efek bumerang, yang akhirnya justru akan merugikannya.
Secara kasatmata, terkait dengan hal tersebut kita bisa mengamati berbagai komentar ataupun tanggapan melalui media arus utama online, bagaimana komentar yang rata-rata berupa kecaman serta cercaan hampir selalu menimpa para elite yang menyampaikan informasi serta opini yang tidak sesuai dengan yang dirasakan masyarakat.
Memang, makin dekat dengan perhelatan lima tahunan pemilihan umum (pemilu), persaingan akan makin mengemuka. Persaingan demi berebut simpati menjadi calon wakil presiden yang mendampingi Joko Widodo pada Pilpres 2019 yang sudah dideklarasikan, ataupun persaingan dalam menggantikannya akan makin intens.
Namun, karena secara ideal muaranya adalah menjaga keutuhan NKRI, menyejahterahkan seluruh rakyat Indonesia, serta hal sejenis lainnya, sangatlah tidak elok bila hal tersebut justru dilakukan dengan menyebarkan fitnah, menggunakan politik identitas yang sangat tradisional paternalistik yang telah usang dan bisa mengusik keutuhan NKRI.
Menggunakan cara-cara dialog sebagai upaya mewujudkan demokrasi Pancasila yang maknanya adalah saling mengalah justru akan sangat diapreasiasi. Ada contoh yang menarik di Jawa Timur bagaimana kedua pasangan calon segera mengapresiasi kemenangan pasangan lainnya, serta janji pasangan pemenang untuk memasukkan program pasangan kalah yang baik adalah contoh simpatik meski kemenangannya baru sebatas berdasar hitung cepat.
Demikian pula yang dilakukan oleh pemenang Pemilihan Gubernur dan Wakil Jawa Tengah yang menyatakan hal yang serupa. Hal ini rasanya justru mengundang rasa simpati dibanding yang masih terlihat ngotot dan belum mengakui kekalahan.
Meski hasil hitung cepat itu bukan sesuatu keputusan resmi, melainkan penggunaan metode ilmiah yang sudah sangat teruji, biasanya hasilnya tidak berbeda dengan yang akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Akhirnya, semua tinggal berharap bahwa ke depan peristiwa rutin lima tahunan yang sebenarnya hanya merupakan ajang kompetisi sekaligus evaluasi, baik kepada eksekutif maupun legislatif, ini tidak berubah menjadi sesuatu yang membahayakan keutuhan NKRI.
Untuk itu, sumbangan media massa dengan menyajikan informasi serta opini yang akurat didasari fakta serta data konkret sangatlah diharapkan. Menyajikan kampanye negatif dengan menunjukkan kelemahan program petahana asal didasari data akurat justru dianjurkan. Sebaliknya, menghindari sajian kampanye hitam yang didasari isu SARA, politik identitas, serta fitnah mutlak harus dihindarkan.
Melalui cara itu, masyarakat akan makin cerdas, serta mampu memilih pemimpin yang secara nyata mereka pandang akan mampu meraihkan kembali kejayaan NKRI sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.