Sepak terjang Ketua DPR RI Setyo Novanto mulai dari beberapa kali mangkir panggilan KPK sampai drama kecelakaan menabrak tiang listrik menghiasi di hampir semua media massa selama 3 pekan terakhir sehingga menyita perhatian publik.
Kecaman, cibiran, cemoohan, bahkan desakan publik mundur hingga pemecatan Setya Novanto sebagai Ketua DPR RI menggema, baik di media massa maupun di dunia maya.
Berbagai skandal yang menyeret nama Setya Novanto, mulai dari kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, penyelundupan beras Vietnam 60.000 ton, penyelundupan limbah beracun di Batam, Korupsi Proyek PON Riau 2012, sampai kasus pencatutan nama Presiden RI Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla yang kemudian dikenal dengan "Papa Minta Saham" terkait pembahasan perpanjangan kontrak PT Freeport.
Kasus yang saat ini sedang ditangani KPK, yaitu perkara dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektronik menjadikan Setyo Novanto ditetapkan kembali sebagai tersangka setelah penetapan yang pertama dibatalkan oleh hakim tunggal Cepi Iskandar.
Dennis F. Thompson dalam "Political Ethics and Public Office" (1987) mengungkapkan pejabat negara haruslah mempertanggungjawabkan kebijakan dan tindakan politisnya kepada masyarakat yang memilihnya.
Dengan demikian, dalam melaksanakan kekuasaan diperlukan etika politik. Oleh karena itu, memperhatikan perkembangan terakhir kasus Setya Novanto sebagai pejabat negara, sudah seharusnya MKD DPR RI segera membuka persidangan kasus ini untuk diambil tindakan tegas.
Hal ini merupakan bentuk pertanggungjawaban DPR secara institusi kepada publik dalam menegakkan aturan bagi anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran etika.
Kedua, dengan adanya kasus Setya Novanto, seharusnya menjadi pembelajaran dan mendorong bagi pejabat negara untuk bertindak secara profesional dengan menjaga etikanya sebagai pejabat negara.
Menjaga etika dan profesionalisme pejabat negara merupakan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Pejabat negara tidak dapat lagi bertindak atas dasar kepentingan pribadi maupun hanya menguntungkan segelintir orang saja. Pejabat negara haruslah bertindak sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Etika Politik
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain" (Paul Ricoeur, 1990). Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warga negara.
Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan pribadi dan/atau golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.
Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas.
Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan politik yang diukur dari keutamaan moral. Hal itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan "fair" di antara para pelaku.
Pemahaman etika politik semacam ini belumlah mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus, karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia akan makmur".
Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Akan tetapi, dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis) (Paul Ricoeur, 1990).
Lebih tegas Paul menambahkan bahwa tujuan etika politik adalah mengarahkan "ke hidup baik", bersama, dan untuk orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil.
Definisi etika politik tersebut membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada.
Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara.
Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warga negara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan.
Sebaliknya, kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil.
Etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu, bisa langsung diwujudkan dalam tindakan.
Dalam etika politik yang merupakan etika sosial untuk dapat mewujudkan pandangannya, dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut tindakan kolektif.
Maka, hubungan antara pandangan hidup seseorang dan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif.
Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya.
Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warga negara agar menerima pandangannya sehingga mendorong pada tindakan bersama. Maka, politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan.
Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Dia berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
Etika politik yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak memperhitungkanl real politic, cenderung mandul. Namun, bukankah realpolitik, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan.
Masyarakat bukan terdiri atas individu-individu subjek hukum, melainkan terdiri atas kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan.
Bagi Machiavelli, politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum, kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu.
Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan.
Relevansi etika politik terletak pada kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.
Budaya Mundur
Kasus Novanto hanyalah sebagian dari kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara yang jelas-jelas melanggar etika politik. Masih banyak kasus lain yang merugikan negara melibatkan para pejabat negara.
Sebut saja kasus BLBI, kasus Century, Hambalang, dan lain-lain yang sampai saat ini belum jelas nasibnya. Dari berbagai kasus tersebut tidak ada satu pun pejabat yang terlibat korupsi mengundurkan diri.
Dalam kasus KTP-el banyak nama/pihak yang disebut dalam surat dakwaan kasus korupsi tersebut juga tidak ada satu pun pejabat/pihak yang secara sadar mengundurkan diri, mulai dari anggota Komisi II DPR RI periode 2009 s.d. 2014 yang disebut menerima "fee" dari uang yang dianggarkan dalam proyek KTP-el sampai pejabat di lingkungan eksekutif maupun pihak yang lain.
Di sejumlah negara, pejabat negara biasanya menutuskan untuk melepaskan jabatan sebelum pengadilan mengetok palu dan membacakan vonis. Pada tahun 2012, Ketua Parlemen Singapura Michael Palmer, misalnya, mundur akibat kasus perselingkuhan.
Pada tahun yang sama, Ketua Parlemen Korea Selatan Park Hee-tae yang meletakkan jabatan karena tersangkut kasus suap.
Pada tahun 2016, Wakil Ketua Parlemen Prancis Denis Baupin mundur karena perkara pelecahan seksual, sedangkan Perdana Menteri Islandia Sigmundur Gunnlaugsson juga mengundurkan diri pada tahun lalu karena namanya masuk dalam daftar Panama Papers, dokumen yang mengungkapkan orang-orang yang memiliki rekening di luar negeri untuk menghindari pajak.
Banyak pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun."
Ada pula yang menyatakan, "Etika politik itu nonsens."
Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk pada apa yang seharusnya.
Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik elite politik Indonesia bisa berbicara?
*) Penulis adalah pengajar Komunikasi Politik pada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.
Berita Terkait
Akademisi: Hasil survei "memaksa" kontestan Pilpres 2019 bekerja keras
Rabu, 27 Maret 2019 9:22 Wib
Telaah - Pencitraan dan kehadiran pemilih di TPS
Selasa, 12 Maret 2019 10:05 Wib
Akademisi: Masyarakat saatnya pegang kontrol kekuasaan
Senin, 11 Maret 2019 9:04 Wib
Dosen STIKOM: Paslon seyogianya tawarkan solusi dalam Debat Pilpres 2019
Sabtu, 26 Januari 2019 7:25 Wib
Kampanye hitam dan partisipasi Pemilu 2019
Minggu, 13 Januari 2019 15:20 Wib
Dosen STIKOM: Peserta Pilpres 2019 kedepankan perdebatan gagasan
Minggu, 13 Januari 2019 8:50 Wib
Dosen STIKOM: Politik saling menjatuhkan turunkan tingkat partisipasi masyarakat
Sabtu, 12 Januari 2019 11:36 Wib
Refleksi tahun politik 2019
Kamis, 3 Januari 2019 13:36 Wib