Belakangan ini kondisi politik Indonesia makin memanas menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada tahun 2018 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
Situasi politik nasional yang memang sudah menghangat sejak isu terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dengan sekejap memecah belah persatuan bangsa ini. Hal ini dikarenakan faktor demografis dan geografis Indonesia yang terdiri atas banyak etnis masyarakat yang tersebar di antara ribuan pulau.
Dengan sentuhan tangan-tangan jahat, isu SARA dapat menjadi senjata ampuh untuk memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan mengacaukan tatanan pemerintahan. Isu SARA secara umum diterjemahkan dalam tindakan dan paham yang sifatnya intoleran.
Bukan hanya sekali dua kali saja kita mendengar ocehan jahat dari orang-orang yang dianggap tokoh dan memiliki pengaruh publik lumayan besar.
Pertarungan kekuasaan menyebabkan mudahnya para politikus, tokoh, dan pendukungnya mengeluarkan pernyataan provokatif dengan semangat untuk melemahkan lawan politiknya demi memperoleh kekuasaan.
Propaganda politik adalah hal lumrah dalam perebutan kekuasaan. Namun, apa yang saat ini sedang terjadi di Indonesia menjadi sangat mengkhawatirkan.
Gejolak politik makin memanas ketika Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo mengajak nonton bareng film G-30-S/PKI yang sudah dilarang sejak Orde Baru tumbang.
Berikutnya, polemik soal pengadaan 5.000 pucuk senjata api yang menimbulkan prasangka saling tuduh antara Panglima TNI, Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN). Soal pembelian 5.000 senjata itu Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto sudah menegaskan hal itu hanya terkait dengan komunikasi yang belum tuntas. Namun, di media sosial hal ini terus menjadi perbincangan. Isu yang berkembang di tengah masyarakat seolah ada perpecahan di tubuh TNI, Polri, dan BIN.
Dari isu tersebut, kemudian bergulir di tengah masyarakat menimbulkan spekulasi apakah ini karena keadaan Indonesia yang sudah genting, ada sesuatu kekuatan yang ingin (pemberontakan) seperti tahun-tahun sebelumnyha melakukan aksi yang mengganggu stabilitas dan keamanan nasional?
Isu pembelian senjata yang berujung polemik sebenarnya sudah selesai di tingkatan institusi formal. Menjadi ramai karena ada pihak-pihak yang terus menggoreng isu. Ada pihak ketiga yang mencoba melakukan adu domba antara Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Polri, dan BIN. Dari penelusuran dengan metode open source intelligence atau OSINT, operasi adu domba ini menggunakan media sosial (medsos).
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menggelontorkan isu pembelian 5.000 pucuk senjata oleh institusi nonmiliter di hadapan para purnawirawan. Malam harinya, dia mencatat ada sebuah operasi di media sosial yang meluncurkan tanda pagar #PanglimatantangBIN dengan merujuk sebuah situs berita yang membuat suasana media sosial menjadi gaduh.
Isu makin memanas ketika beredar berita melalui WhatsApp group yang mengutip situs perang bintang.com. Dalam berita itu ada wawancara fiktif seolah-olah Kepala BIN diwawancarai, padahal tidak pernah dan tidak jelas lokasi wawancaranya. Tujuannya jelas fitnah dan menyesatkan.
Selain BIN, akun-akun anonim juga memanaskan situasi dengan seolah-olah menuduh Polri mempunyai senjata ilegal, bahkan dengan gambar-gambar hoaks.
Lagi-lagi hoaks yang ikut memanaskan suasana ini. Adapun tujuannya adalah agar masyarakat terpecah belah satu sama lain. Misalnya, salah satu unggahan di media sosial yang menunjukkan tumpukan gambar senjata AK 47 yang disebut-sebut milik Polri. Namun, setelah ditelusuri di internet, itu gambar tumpukan senjata dalam konflik Yaman pada tahun 2016. Jadi, memang tujuannya adu domba dengan modal gambar hoaks.
Namun, sayangnya keadaan berbahaya ini tidak disadari sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia, terutama para tokoh politik.
Pergolakan politik dalam tatanan pemerintahan memiliki dampak yang panjang bagi masyarakat. Bahkan, seluruh lapisan masyarakat akan terkena dampaknya tidak peduli kaya atau miskin.
Perubahan kestabilan tatanan pemerintah dapat menyebabkan tertundanya sejumlah agenda prioritas pembangunan pemerintah, salah satu yang paling terasa dampaknya adalah proyek infrastruktur.
Indonesia saat ini sedang berada dalam tahap waspada. Waspada akan isu yang bisa memecah belah kesatuan bangsa ini, isu yang sudah pernah digunakan dan terbukti berhasil dalam menggulingkan pemerintahan.
Ulah Intelijen Asing
Beragai isu dan kegaduhan politik yang dapat memecah belah masyarakat tersebut bisa saja memang diciptakan oleh kelompok-kelompok kepentingan yang menghendaki perpecahan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Isu-isu dan kegaduhan politik tersebut adalah upaya memecah belah untuk kepentingan asing agar Indonesia terus gaduh. Tujuannya agar masyarakat saling curiga, termasuk personel di dalam kepolisian, BIN, dan TNI.
Operasi intelijen asing yang sangat berbahaya karena mengadu domba para bhayangkari negara. Kita mesti ingat bahwa kehancuran Orde Lama pada masa pemerintahan Soekarno tumbang tidak lepas dari campur tangan agen asing, terutama AS dan sekutunya. Demikian pula, kejatuhan Orde Baru pada masa pemerintahan H.M. Seharto, tidak lepas dari upaya dan rekayasa agen asing yang terlibat di dalamnya.
Pihak asing ingin menciptakan kegaduhan agar pembangunan di Indonesia terganggu. Masyarakat dibuat tidak tenang oleh isu-isu sehingga resah dan tak percaya pada pemerintah.
Respons Menkopolhukam dalam menenangkan suasana sudah tepat dan terukur. Kalau setelah ini terus memanas, ada kepentingan asing yang tidak ingin Indonesia akur, rukun, dan damai.
Memang, persoalan adu domba ini bukan hal baru di Indonesia. Sejak zaman penjajahan Belanda telah menggunakan sistem politik adu domba untuk menguasai wilayah Nusantara. Taktik adu bomba dipercaya sebagai taktik yang paling jitu untuk memecah belah dan menghancurkan kelompok lain. Taktik ini tidak membutuhkan biaya banyak, tetapi amat efektif untuk melemahkan lawan. Dia menjadi taktik utama dari berbagai penguasa absolut di sepanjang sejarah manusia untuk menjajah dan menaklukan. Tingkat keberhasilannya pun nyaris sempurna.
Politik adu bomba sudah begitu sering digunakan di dalam sejarah oleh para penjajah di berbagai belahan dunia. Mereka ingin memperluas kekuasaan dan mengeruk keuntungan ekonomi secara tidak adil dari bangsa-bangsa lain. Begitu banyak orang mati akibat taktik ini. Begitu banyak kerajaan dan bangsa hancur, akibat taktik ini.
Namun, taktik dan logika adu domba bisa dilawan dengan membangun sikap kritis dan membangun kesadaran pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan sehingga kita tidak mudah dipecah oleh beragam isu dan berita bohong.
Sikap kritis berarti kita berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara rasional tentang berbagai berita yang kita dengar, terutama berita-berita yang menimbulkan kecurigaan dan perpecahan.
Kita juga perlu belajar dari sejarah kita sendiri, Indonesia dijajah negara-negara Eropa selama ratusan tahun akibat taktik adu domba.
Sejarah kelam tumbangnya Orde Lama dan Orde baru yang banyak membawa korban jiwa akibat diadu domba antaranak bangsa.
Kita tidak boleh mengulang kesalahan yang sama, harganya terlalu mahal, yakni hancurnya bangsa Indonesia dan hilangnya nyawa jutaan orang menjadi korban, seperti yang terjadi pada masa silam, jika kita jatuh kembali pada lubang yang sama.
*) Penulis adalah dosen Komunikasi Politik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang.