Jakarta, ANTARA JATENG - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengajak masyarakat berhenti mengkonstruksi Indonesia dalam keadaa gawat setelah Pilkada DKI karena hal itu termassuk membesar-besarkan masalah.
"Mau sampai kapan? Kita sadar terdapat sejumlah masalah lain yang perlu ditangani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Haedar kepada wartawan di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan yang ada dalam pikiran sering membentuk keadaan sehingga yang ringan dianggap berat dan akhirnya menjadi benar berat. Sebaliknya, keadaan normal disebut abnormal sehingga suasana menjadi terasa di luar kewajaran.
"Masalah sedikit ketika dianggap besar, benar-benar terasa besar. Maka, betapa penting menata atau mengkonstruksi pikiran agar tetap positif," kata Haedar.
Dalam pandangan dia, setelah Pilkada DKI, ada upya menggiring kepada pikiran atau pendapat yang digawat-gawatkan. "Ada yang menganggap kemenangan Anies-Sand menjadi titik merebaknya radikalisme agama, intoleransi dan ancaman terhadap kebhinekaan, malah sebagian menyebut hasil kontestasi politik itu memicu mekarnya politik primordialisme atau suku, agama, ras dan antargolongan," kata Haedar.
Haedar menuduh ada pihak yang menggiring opini bahwa Ahok-Djarot mewakili kebhinekaan, toleransi, moderat dan rasionalitas sehingga ketika pasangan ini kalah, muncul pandangan peringatan atas keindonesiaan.
"Pikiran dan pandangan yang mengesankan situasi gawat seperti itu justru dapat berpotensi menciptakan psikologi kegawatan dalam berbangsa dan bernegara saat ini. Jika pendapat-pendapat negatif seperti ini terus diproduksi, boleh jadi malah akan terjadi saling berhadapan atau dihadap-hadapkan antardua pihak warga bangsa yang berbeda," kata dia.
Padahal, menurut dia, jika berpikir lebih jernih dan obyektif maka masalah yang berkembang masih bisa diatasi dan terus didialogkan untuk dicarikan solusi.
Haedar mengajak masyarakat untuk lebih bijak dengan mengkaji peristiwa secara seksama dan komprehensif agar tidak melahirkan pandangan dangkal yang menimbulkan politisasi dalam beragam bentuk, termasuk dramatisasi situasi.
"Bangsa ini telah melewati banyak rintangan dan masalah besar sehingga memiliki modal sosial yang relatif mencukupi untuk melewati masalah-masalah baru. Masalah harus dihadapi, tetapi jangan termakan situasi. Jangan sebarkan virus kecemasan dan kewaspadaan yang berlebihan yang menciptakan psikologi kegawatan melebihi kemestian," kata dia.