Magelang, Antara Jateng - Pengakuan beberapa mantan pengusaha penambangan pasir tentang betapa mubazirnya usaha mereka menumpuk harta dengan mengeruk kekayaan material vulkanik Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, diungkapkan oleh seorang tokoh Nahdlatul Ulama setempat.
Tentu saja sang pemuka Majelis Wakil Cabang NU Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Bambang Santosa itu tidak menyebut nama-nama mereka yang telah "curhat" (menyampaikan pengakuan hati) kepada dirinya.
"Tidak barokah kalau usaha pasir dan batu Merapi ini untuk menumpuk kekayaan. Kalau untuk membangun rumah, jalan, masih lumrah. Tetapi kalau untuk menumpuk harta, mereka terkena laknat," katanya.
Ihwal itu dikemukakan dalam rangkaian aksi warga dan performa seni oleh para seniman, pemerhati budaya, pegiat lembaga sosial kemasyarakatan, dan elemen masyarakat kawasan Gunung Merapi bertajuk "Seslamet Gunung" (Untuk keselamatan Gunung Merapi), Sabtu (4/6) siang.
Aksi beberapa eleman warga yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat untuk Merapi (Semmut Merapi) digelar secara apik di dekat reruntuhan Candi Asu Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, di tepian Kali Tringsing yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi. Aparat kepolisian menjaga keamanan selama aksi massa tersebut.
Di bawah pepohonan rindang dekat candi tersebut, para seniman memasang belasan instalasi dari daun kelapa, sejumlah ancak tempat sesaji. Mereka juga meletakkan di atas tikar berbagai sesaji seperti nasi tumpeng dan sayur kuluban, buah-buahan, jajanan pasar, dan minuman yang masing-masing di atas tampah.
Seniman Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Desa Sumber, Kecamatan Dukun Sitras Anjilin memulai performa gerak seni dengan memasang dua batang hio di atas Candi Asu. Ia sejenak waktu menangkupkan kedua telapak tangan, seakan menjadi tanda sedang berdoa.
Sejumlah tulisan di beberapa lembar kertas terpampang di pagar kawat di depan Candi Asu. Isinya pada intinya tentang penolakan terhadap penambangan material vulkanik Gunung Merapi dengan menggunakan alat berat atau backhoe.
Massa juga melepaskan ribuan bibit ikan di saluran irigasi Dusun Ngampel, Desa Sengi sebagai simbol komitmen mereka menjaga kelestarian lingkungan alam kawasan Gunung Merapi.
Disebut oleh Iwan Hermawan (pegiat Gemasika) dan Sapari (Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Magelang), sejumlah tempat di kawasan Gunung Merapi yang marak oleh aktivitas penambangan menggunakan backhoe, antara lain di Kecamatan Srumbung, Sawangan, dan Dukun. Aktivitas penambangan berlangsung selama 24 jam dengan truk-truk pengangkut pasir dan batu yang lalu lalang di kawasan tersebut.
"Hentikan penambangan dengan alat berat, karena lebih banyak tidak bermanfaat, merugikan warga," kata Sapari.
Iwan menyebut kegiatan penambangan dengan alat berat sebagai "kucing-kucingan" dengan aparat yang melakukan razia, sedangkan mereka yang memegang izin dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, diduga mengurus izin tersebut melalui proses yang tidak beres.
"Yang terjadi adalah kerusakan lingkungan. Harusnya izin tambang untuk penambangan manual terbatas," ucapnya.
Ia menyebut aktivitas penambangan pasir di kawasan Gunung Merapi selama ini tidak didukung secara memadai dengan pembangunan dan perbaikan berbagai infrastruktur lingkungan.
Pada kesempatan itu, seniman dari kelompok Gadung Mlati Dusun Ngampel, Desa Sengi, Ismanto, membacakan pernyataan sikap berbagai elemen masyarakat tentang penolakan penambangan dengan alat berat di kawasan Gunung Merapi.
Isi pernyataan yang ditandatangani para pegiat itu, terdiri dari tujuh poin, antara lain terkait kerusakan lingkungan, menuntut moratorium izin tambang, peninjauan ulang izin tambang yang sudah turun, permintaan kepada Pemkab Magelang untuk tidak mengeluarkan rekomendasi izin penambangan.
Mereka juga menuntut Pemprov Jateng menetapkan Merapi sebagai kawasan pertambangan rakyat atau secara manual, kaji ulang rencana tata ruang dan tata wilayah Kabupaten Magelang terkait dengan peruntukan penambangan, dan audit lingkungan terhadap usaha tambang.
"Ini ikhtiar untuk menyelamatkan lingkungan, petani, dan jalan evakuasi dengan tidak memberikan ruang bagi penambangan dengan alat berat," demikian pernyataan tersebut dibacakan Ismanto.
Selagi pernyataan tersebut dibacakan dengan lantang oleh Ismanto sambil berperforma mimik serius dan memelintirkan ucapan kata "backhoe" menjadi "bego lu" (bodoh kamu) berkali-kali, Sitras Anjilin berperforma gerak sambil melantunkan tembang Jawa.
Ia juga menaburkan bunga mawar kepada para seniman lainnya yang bersila berjajar di atas tikar dan sikap tafakur di depan Candi Asu.
Kegiatan penambangan juga merugikan petani karena mereka menjadi sulit mendapatkan air yang berkualitas untuk berolah pertanian. Kawasan Gunung Merapi sebagai lahan pertanian subur, terutama diolah petani untuk berbagai komoditas hortikultura.
"Air yang mengalir ke areal pertanian menjadi keruh, tidak baik untuk pertanian. Air itu penting untuk pertanian," kata Sitras yang juga salah satu pemimpin penting kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.
Penambangan pasir dengan alat berat di Merapi sebagai kenyataan tentang betapa rakusnya manusia dalam mendapatkan harta dan kekayaan materiil.
"Orang yang suka uang tidak menghiraukan keindahan alam. Itu menyakitkan," katanya.
Rohaniwan Katolik yang juga budayawan Romo Kirjito mengemukakan pentingnya terus dibangun semangat peduli terhadap lingkungan alam Gunung Merapi, antara lain melalui penambangan pasir yang dilakukan secara saksama, bijaksana, dan tidak berlebihan.
Pasir dan batu Merapi, ucapnya, memang berharga untuk pembangunan ekonomi, akan tetapi tidak boleh ditambang secara berlebihan.
Ia menyebut bahwa penambangan pasir menggunakan alat berat di kawasan Gunung Merapi telah mengakibatkan kerusakan besar infrastruktur untuk masyarakat umum.
"Penolakan terhadap penambangan dengan alat berat karena dengan alat berat membuat tidak tertib, tidak adil, mengganggu masyarakat umum, dan merusak infrastruktur, merusak lingkungan," katanya.
Bambang Santosa yang turut menandatangi pernyataan penolakan penambangan dengan alat berat di kawasan Gunung Merapi itu, mengemukakan tentang pentingnya melestarikan alam agar alam ciptaan Tuhan tidak membalas melalui terpaan musibah bagi manusia.
Lingkungan alam Merapi, katanya, bergerak dengan caranya sendiri ketika dizalimi sehingga sekecil apapun alam harus dirawat karena ia bermanfaat untuk kehidupan manusia.
"'Ngeman alam, ngeman Merapi' (Lestarikan alam, lestarikan Merapi, red.). Penambangan pasir dengan alat berat, membuat ngilu, membuat nestapa," katanya.