Persempit Ruang Gerak Botoh dalam Pilkada
"Sejarah botoh sangat panjang, mulai dari pemilihan kepala desa hingga sekarang," kata Ketua Komisi A (Bidang Pemerintahan dan Hukum/Perundang-undangan) DPRD Provinsi Jawa Tengah Fuad Hidayat, S.Sos., M.Si. dalam focus group discussion (FGD) atau diskusi kelompok terarah bertajuk "Mewaspadai Botoh dalam Pilkada Serentak" di Gedung Pers Semarang, Kamis.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menyebutkan botoh lokal yang berbasis pada teritori kecil, misalnya desa, kecamatan, atau bahkan tempat pemungutan suara (TPS). Botoh lokal ini biasanya karena memang hobi. Mereka taruhan tidak hanya uang, tetapi juga barang. "Efeknya terbatas di teritori tertentu," kata Wakil Ketua I DPW PKB Jawa Tengah itu.
Botoh profesional, kata Fuad Hidayat, menggunakan sistem kerja yang sangat terstruktut sehingga bisa dikatakan mirip konsultan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Mereka menggunakan metode survei, baik yang dibiayai sendiri maupun oleh kandidat. Pembiayaan oleh peserta pilkada ini, menurut Fuad, bertujuan mengukur keseriusan, potensi logistik, dan potensi kemenangan.
"Botoh profesional akan menggunakan hasil survei untuk melakukan kerja pemenangan, mulai dari menyusun isu atau tema, menyusun struktur, sampai dengan melakukan eksekusi akhir untuk pemenangan," katanya.
Fuad mengungkapkan bahwa botoh yang berdiri sendiri akan mendapatkan keuntungan finansial dari kemenangan taruhan. Akan tetapi, botoh yang langsung mengadakan kesepakanan dengan calon tentunya akan mendapatkan imbal jasa lebih apabila menang.
"Selain uang taruhan, dia akan mendapatkan konsensi uang balik karena dianggap piutang," ujarnya.
Dalam konteks pilkada serentak di 21 kabupaten/kota di Jawa Tengah, 9 Desember 2015, menurut Fuad, perlu diwaspadai kerja pragmatis tim sukses calon yang menggunakan "baju botoh".
"Sangat terbuka kemungkinan politik uang dilakukan dengan mengatasnamakan kepentingan judi para botoh," ungkapnya.
Sementara itu, analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. mengemukakan bahwa botoh bisa bermain di dalam dengan kandidat maupun di luar dengan cara taruhan politik.
Keberadaan mereka dalam pilkada karena sistem dan kultur demokrasi yang belum mapan. "Botoh, hidup dalam kerangka 'underground' politik, politik di bawah permukaan," kata alumnus Flinders University Australia itu.
Sanksi terhadap Botoh
Sanksi terhadap botoh ini sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Pasal 303 bis KUHP (tindak pidana perjudian) ancaman hukumannya 4 tahun penjara dan denda sebanyak-banyaknya Rp10 juta, sedangkan Pasal 303 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal 10 tahun.
Jika melakukan perjudian (gambling) melalui media sosial, pelaku terancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam konteks pilkada, boleh jadi para botoh melakukan segala macam cara, termasuk menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih agar memilih peserta pilkada tertentu.
Padahal, subjek hukum yang melakukan pelanggaran Pasal 69 PKPU Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota adalah pasangan calon dan/atau tim kampanye, atau tidak termasuk para botoh.
Jika pasangan calon dan/atau tim kampanye terbukti menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, KPU Kabupaten/Kota membatalkan yang bersangkutan sebagai pasangan calon setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Menginggung soal sanksi terhadap botoh, Koordinator Divisi Pencegahan dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Teguh Purnomo, S.H., M.Hum. mengatakan bahwa UU Nomor 8 Tahun 2015 belum mengatur mengenai hal itu.
Kendati demikian, Teguh Purnomo berpendapat bahwa sanksi sosial dan moral terhadap peserta pilkada yang melibatkan botoh lebih mengena. Pasalnya, akan berpengaruh terhadap pemilih ketika akan menentukan pilihannya.
Oleh karena itu, dia memandang perlu memublikasikan terkait dengan temuan, termasuk perjudian atau gambling dalam pilkada.
Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah Amir Machmud N.S. sependapat bahwa pers perlu memberitakan temuan pelanggaran dalam pilkada.
"Mulai pilkada hingga pilpres belum pernah secara spesifik mengungkap botoh secara tuntas," kata Amir.
Oleh karena itu, dia memandang perlu pers melakukan kegiatan investigatif guna membongkar praktik perjudian dalam pilkada. Pemberitaannya pun harus kontinu hingga tuntas sehingga tidak akan ada lagi botoh dalam setiap pesta demokrasi.
Menurut Teguh Yuwono, perlu penguatan pemilih cerdas, rasional, dan loyalis sehingga mereka tidak mempan iming-iming botoh.
Fuad memandang perlu secara terus-menerus melakukan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat pentingnya memilih calon terbaik. "Artinya, memilih karena alasan rasional, bukan karena konsensi pragmatis," katanya.
Hal lain yang mempersempit ruang gerak para botoh adalah gerakan secara kontinu untuk menolak politik uang, di samping membongkar nalar atau budaya masyarakat yang sangat mempercayai presisi hitungan botoh.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menyebutkan botoh lokal yang berbasis pada teritori kecil, misalnya desa, kecamatan, atau bahkan tempat pemungutan suara (TPS). Botoh lokal ini biasanya karena memang hobi. Mereka taruhan tidak hanya uang, tetapi juga barang. "Efeknya terbatas di teritori tertentu," kata Wakil Ketua I DPW PKB Jawa Tengah itu.
Botoh profesional, kata Fuad Hidayat, menggunakan sistem kerja yang sangat terstruktut sehingga bisa dikatakan mirip konsultan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Mereka menggunakan metode survei, baik yang dibiayai sendiri maupun oleh kandidat. Pembiayaan oleh peserta pilkada ini, menurut Fuad, bertujuan mengukur keseriusan, potensi logistik, dan potensi kemenangan.
"Botoh profesional akan menggunakan hasil survei untuk melakukan kerja pemenangan, mulai dari menyusun isu atau tema, menyusun struktur, sampai dengan melakukan eksekusi akhir untuk pemenangan," katanya.
Fuad mengungkapkan bahwa botoh yang berdiri sendiri akan mendapatkan keuntungan finansial dari kemenangan taruhan. Akan tetapi, botoh yang langsung mengadakan kesepakanan dengan calon tentunya akan mendapatkan imbal jasa lebih apabila menang.
"Selain uang taruhan, dia akan mendapatkan konsensi uang balik karena dianggap piutang," ujarnya.
Dalam konteks pilkada serentak di 21 kabupaten/kota di Jawa Tengah, 9 Desember 2015, menurut Fuad, perlu diwaspadai kerja pragmatis tim sukses calon yang menggunakan "baju botoh".
"Sangat terbuka kemungkinan politik uang dilakukan dengan mengatasnamakan kepentingan judi para botoh," ungkapnya.
Sementara itu, analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. mengemukakan bahwa botoh bisa bermain di dalam dengan kandidat maupun di luar dengan cara taruhan politik.
Keberadaan mereka dalam pilkada karena sistem dan kultur demokrasi yang belum mapan. "Botoh, hidup dalam kerangka 'underground' politik, politik di bawah permukaan," kata alumnus Flinders University Australia itu.
Sanksi terhadap Botoh
Sanksi terhadap botoh ini sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Pasal 303 bis KUHP (tindak pidana perjudian) ancaman hukumannya 4 tahun penjara dan denda sebanyak-banyaknya Rp10 juta, sedangkan Pasal 303 KUHP yang ancaman hukumannya maksimal 10 tahun.
Jika melakukan perjudian (gambling) melalui media sosial, pelaku terancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam konteks pilkada, boleh jadi para botoh melakukan segala macam cara, termasuk menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih agar memilih peserta pilkada tertentu.
Padahal, subjek hukum yang melakukan pelanggaran Pasal 69 PKPU Nomor 7 Tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota adalah pasangan calon dan/atau tim kampanye, atau tidak termasuk para botoh.
Jika pasangan calon dan/atau tim kampanye terbukti menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, KPU Kabupaten/Kota membatalkan yang bersangkutan sebagai pasangan calon setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Menginggung soal sanksi terhadap botoh, Koordinator Divisi Pencegahan dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Teguh Purnomo, S.H., M.Hum. mengatakan bahwa UU Nomor 8 Tahun 2015 belum mengatur mengenai hal itu.
Kendati demikian, Teguh Purnomo berpendapat bahwa sanksi sosial dan moral terhadap peserta pilkada yang melibatkan botoh lebih mengena. Pasalnya, akan berpengaruh terhadap pemilih ketika akan menentukan pilihannya.
Oleh karena itu, dia memandang perlu memublikasikan terkait dengan temuan, termasuk perjudian atau gambling dalam pilkada.
Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah Amir Machmud N.S. sependapat bahwa pers perlu memberitakan temuan pelanggaran dalam pilkada.
"Mulai pilkada hingga pilpres belum pernah secara spesifik mengungkap botoh secara tuntas," kata Amir.
Oleh karena itu, dia memandang perlu pers melakukan kegiatan investigatif guna membongkar praktik perjudian dalam pilkada. Pemberitaannya pun harus kontinu hingga tuntas sehingga tidak akan ada lagi botoh dalam setiap pesta demokrasi.
Menurut Teguh Yuwono, perlu penguatan pemilih cerdas, rasional, dan loyalis sehingga mereka tidak mempan iming-iming botoh.
Fuad memandang perlu secara terus-menerus melakukan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat pentingnya memilih calon terbaik. "Artinya, memilih karena alasan rasional, bukan karena konsensi pragmatis," katanya.
Hal lain yang mempersempit ruang gerak para botoh adalah gerakan secara kontinu untuk menolak politik uang, di samping membongkar nalar atau budaya masyarakat yang sangat mempercayai presisi hitungan botoh.