Kematian Yesus Kristus diimani umat Kristiani sebagai jalan penebusan dosa-dosa manusia dan dikenang sebagai peristiwa Jumat Agung. Perayaan itu bagian dari Tri Hari Suci Paskah, yakni Kamis Putih saat Yesus melakukan perjamuan terakhir bersama para rasul, Jumat Agung ketika Yesus wafat disalib, dan Minggu Paskah sebagai peringatan kebangkitan Yesus dari kematian.
Umat Katolik Paroki Santo Ignatius Kota Magelang, Jawa Tengah, dengan dukungan utama para siswa SMP Tarakanita setempat menjalani doa perenungan atas sengsara hingga kematian Yesus disalib pada Jumat pagi melalui drama bertajuk "Aku Haus".
Pementasan dan skenario drama digarap Ignasius Haryadi, Gregorius Adik Wijayanto, dan Budi Winarto. Mereka adalah para guru sekolah tersebut. Pergelaran berdurasi sekitar satu jam dilanjutkan renungan tentang "Paskah Hijau" oleh rohaniwan gereja paroki di pusat Kota Magelang itu, Romo A.R. Yudono Suwondo.
Turut menyimak pementasan drama dan refleksi tentang "Aku Haus" di depan bangunan gereja pada zaman penjajahan Belanda, di bawah rindang pepohonan mahoni itu, adalah Kepala Kevikepan Kedu Romo F.X. Krisno Handoyo dan para biarawati.
"Pada mula dunia tercipta. Semua indah dan baik adanya. Tetapi ketika manusia tak mampu kendalikan nafsunya. Hutan kau hancurkan sawah kau ratakan. Laut kau kotori sungai pun kau cemari. Bukit hijau kau tebas mata air tandas. Satwa punah tambang pun musnah sudah. Inikah caramu jadi wakil Allah, khafilah sejati di bumi? Kau kuasai alam, kau hancurkan semua seenak perut sendiri".
Itu syair tembang pembuka dan penutup pementasan yang dilambungkan sekelompok anak dengan iringan musik keyboard dipadu tabuhan pemusik lainnya yang memainkan,antara lain kendang, kentongan, dan rebana.
Pemeran utama drama dengan beberapa bagian skenario sebagai rekaan itu, adalah Maria (Gaby) dan Yohanes (Nathan) yang disertai sejumlah pengiring (Olivia, Alvin, dan Dwiki).
Salib setinggi sekitar 2,5 meter terbuat dari ikatan potongan-potongan ranting kayu terpasang di antara dua pohon mahoni besar di panggung terbuka beralas rerumputan halaman gereja setempat, menjadi simbol penyaliban Yesus.
Dikisahkan bahwa Maria mendengar kalimat pendek "Aku haus" yang diucapkan Yesus di salib, sementara para prajurit Romawi yang mengarak Yesus dari Kota Yerusalem hingga Bukit Golgota dan menyalibnya, mengatakan bahwa daerah itu dilanda kekeringan sehingga tidak ada air lagi.
Maria, Yohanes, dan sejumlah orang kemudian mencari air untuk Yesus yang haus itu. Air yang harus mereka cari, adalah air yang masih suci, jernih, dan murni.
Pencarian air oleh mereka diceritakan sampai ke "tempat jauh" dengan menjumpai berbagai persoalan perusakan lingkungan dan pemanfaatan alam oleh manusia dan kekuasan yang salah kaprah dan tidak adil.
Beberapa babak drama itu, bercerita tentang pengusiran terhadap Maria dan rombongan pencari air suci, jernih, dan murni untuk Yesus, oleh mandor proyek pemerintah Romawi. Dikisahkan suatu sungai dalam proyek itu telah menjadi milik Maximus, air terjun telah dibeli Hexogonus untuk dijadikan tempat wisata, dan hutan di kaki bukit dengan padang rumput telah milik Archemus.
"Semua sudah dikapling dan dibeli dengan harga mahal. Semuanya sah secara hukum," kata seorang mandor proyek (Yohan) sambil menunjuk papan bertulis "Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk".
Maria, Yohanes, dan pengikut kemudian melanjutkan pencarian air. Saat ingat tentang Sungai Yordan, tempat Yesus dibaptis, mereka pun kemudian bergegas mendatangi untuk mengambil air.
Akan tetapi, yang mereka jumpai adalah air itu telah dikelola kaum Farisi (Nico) dan Imam Kepala (Bagus) dengan diperdagangkan untuk upacara pembersihan dosa seharga 500 dinar per botol.
"Ayo kita pergi! Tak mungkin kita mendapatkan air itu di tempat ini," kata Yohanes yang diceritakan sambil menggandeng Maria mengajak rombongan itu meninggalkan sungai tersebut.
Dalam keputusasaan mereka setelah juga diusir oleh para penebang pohon hutan secara ilegal (Deva, Kevin, Gregorius), mereka mendengar suara gemercik air sungai di suatu dusun yang asri dengan pohon lebat. Mereka pun menemukan air yang dicarinya, yang ternyata berada di dusun itu.
Warga dusun setempat (Gitta dan Resty) yang selama ini menjaga sumber air itu menyilakan Maria, Yohanes, dan para pengikut untuk mengambil dan membawa air dari tempat itu dengan menggunakan guci, untuk segera dipersembahkan kepada Yesus disalib.
"Putraku, kami datang membawakan air untuk-Mu. Air ini adalah tanda bahwa dunia masih bisa diselamatkan, terutama dari kerusakan akibat dosa terhadap sesama ciptaan," kata Maria kepada Yesus.
Setelah mencecap air itu, dikisahkan bahwa Yesus berseru, "Ya Bapa ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku". Yesus pun kemudian mangkat.
Tembang "Sengsara-Mu Oh Yesus" berkumandang dilagukan umat, dengan penggalan baitnya, "Kristus kurban cinta-Nya taat sampai mati. Yesus tebusan kita yang nilainya tinggi. Lihatlah anak domba yang tlah dikorbankan. Supaya dosa kita diampuni Tuhan".
Narator drama itu, Haryadi, menceritakan bahwa darah dan air dari tubuh Yesus setelah ditikam oleh seorang prajurit, merembes ke tanah keras dan batu padas, mengubah salib kematian menjadi pohon yang asri, hingga terlahir kehidupan baru.
"Air yang dijaga dengan sikap hormat oleh manusia bersatu dengan darah penebusan Kristus, menjadi daya hidup yang mengubah dunia," katanya.
Sejumlah anak dengan mahkota rangkaian daun menari-nari lalu meletakkan rangkaian dedaunan ke salib, para pemain drama dan umat kemudian meletakkan puluhan bibit tanaman di bawah salib Yesus itu.
"Ini (pementasan, red.) bukan sekadar performa, tetapi doa dan renungan. Anda baru saja berdoa, diajak menyadari bahwa bumi layak dicintai bersama, menjaga alam dan air agar selalu tercipta suasana hijau," kata Romo Suwondo.
Jumat Agung mengajak umat beriman menanggapi Tuhan Yesus yang haus, dengan membangun kesadaran tentang pentingnya merawat air kehidupan dan melestarikan alam.