Lelaki itu pun kemudian berjalan sambil menggoreskan ujung bambu ke tanah. Torehannya membentuk garis kotak beberapa meter persegi yang tidak simetris dengan posisi deretan beberapa rumah warga dan jalan beraspal kampung tersebut.
Dia adalah Joko Aswoyo, pengajar Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yang bersama istrinya sore itu mengendarai mobil relatif mewah berwarna putih, turut pertemuan lanjutan para petinggi Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang.
Pertemuan di rumah Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto itu untuk membahas rencana Festival Lima Gunung XII dengan lokasi di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, kawasan Gunung Andong. Supadi yang juragan sayuran itu, juga memimpin kelompok para seniman petani Dusun Mantran Wetan bernama, Sanggar Andong Jinawi, dengan kesenian tradisional yang menjadi basis mereka adalah tarian sakral jaran papat.
Festival tahunan oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung XII rencananya pada tanggal 28--30 Juni 2013 dengan masih memegang komitmen kemandirian, tanpa berembuk duit, tanpa bantuan pemerintah, ataupun mengajukan proposal kepada sponsor dan pengusaha.
Garis kotak yang dibuat oleh Joko di atas tanah sebagai rancangan panggung utama pementasan berbagai kesenian yang bakal tampil pada festival mendatang. Tumpukan batu bata dan batu andesit di halaman rumah tersebut disepakati para petinggi komunitas, tidak akan dibongkar untuk dipindah. Namun, ditutup dengan papan untuk dua panggung pementasan bermodel "level" dengan berbagai instalasi berbahan alam.
"Tepat ini, posisi panggungnya juga sungsang seperti tema (Tema Festival Lima Gunung 2013 adalah 'Mulat Kahanan Sungsang', red.)," kata seorang petinggi Komunitas Lima Gunung Arie Kusuma. Kalimat tema itu, kira-kira maksudnya menyimak dan merenungkan sungguh-sungguh atas berbagai keadaan yang saat ini serba tidak wajar atau terbalik dari keadaan normal.
Pembuatan panggung dan instalasi dusun setempat rencananya mulai Kamis (20/6) dengan melibatkan secara gotong royong warga setempat.
Posisi panggung yang dianggap Arie sebagai sungsang itu, mengandaikan para penonton akan mendapat suguhan pemandangan latar belakang puncak Gunung Andong saat menyaksikan berbagai pementasan kesenian, baik tradisional maupun kontemporer desa.
Berbagai kesenian yang telah direncanakan naik panggung selama tiga hari agenda resmi festival tersebut, antara lain, ketoprak, tarian jaran papat, buto ijo, topeng grasak, topeng saujana, topeng ireng ehek, joget bosah-baseh, orkestra tarian gladiator gunung, lengger, kuda lumping, bajidor, dan wayang kulit kontemporer.
Selain itu, masyarakat Dusun Mantran Wetan dipimpin kepala dusun Handoko juga menyelenggarakan ritual kenduri sebagai wujud syukur atas kampung mereka sebagai tuan rumah Festival Lima Gunung XII.
Pembukaan festival, antara lain, ditandai dengan arak-arakan seniman melewati jalan dusun setempat, pemukulan gong oleh para petinggi komunitas, orasi budaya, dan peluncuran buku "Sendang Sungsang". Buku itu, berupa kumpulan tulisan tentang Lima Gunung oleh anggota komunitas dan jejaringnya yang berasal dari beberapa kota.
Tema Festival
Bisa dipastikan, kalau mereka kali ini mengumandangkan tema festival tahunannya, "Mulat Kahanan Sungsang", bukan sebatas hasil olah pikiran dan renungan atas kehidupan yang dianggapnya akhir-akhir ini serba terbalik dari keadaan normal.
Akan tetapi, juga karena seniman petani Komunitas Lima Gunung itu melesakkan dalam olah nurani, agar mewujud daya dorong siapa saja untuk mengelola situasi sungsang itu kembali kepada jalan yang lumrah dan membahagiakan.
Joko Aswoyo yang juga pemimpin kelompok Sahabat Lima Gunung itu mengemukakan kejelian batin para seniman petani Komunitas Lima Gunung membaca keadaan hidup bersama dalam berbagai aspek baik lokal, regional, maupun nasional yang dianggap sungsang.
"Responsif terhadap 'kahanan' (keadaan, red.)," katanya.
Tema "Mulat Kahanan Sungsang" untuk festival tersebut, bahkan telah melahirkan turunan melalui pergelaran kolosal yang dijalani 329 seniman petani Komunitas Lima Gunung untuk memeriahkan puncak peringatan "150 Tahun Van Lith" di Muntilan, Kabupaten Magelang, pada 26 Mei 2013, berupa performa seni dengan tajuk "Pancandriya Kuwalik".
Pekerja seni yang juga pemimpin Sanggar Tapak Liman Jogowisan, Kecamatan Candi Mulyo, Kabupaten Magelang, Eka Pradhaning berpendapat bahwa tema itu sebagai cermin hati untuk berkaca siapa saja.
"Bahwa apa yang ada dalam diri dan sekitar kita, ternyata sudah tidak beraturan, lepas dari tatanan semula, baik mental, perilaku, maupun sistem kehidupan bersama. Korupsi menjalar ke berbagai persendian dan lapisan, hukum dibelokkan, surutnya perilaku ketulusan, dan besarnya rasa pamrih," katanya.
Ibarat hutan yang rusak, gundul, dan terbakar, kata dia, harus dihijaukan kembali melalui berbagai upaya dengan proses relatif lama dan tanpa lelah disertai kesadaran, kesabaran, kepekaan, kepedulian, dan tekad bersama.
Inspirator utama gerakan kebudayaan seniman petani Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut mengemukakan bahwa tema itu tak lepas dari pengalaman empiris menyangkut proses kelahiran bayi yang sungsang.
"Kata tersebut (sungsang, red.) bermakna proses lahir yang tidak wajar, tidak alami, dan tentu tidak normal, dan jadi kekhawatiran. Apalagi bagi ibu yang terkena risiko keselamatan dirinya sekaligus buah cinta yang ditunggu hadirnya di dunia sebagai buah kebahagiaan keluarga. Ini momentum kecemasan bagi siapa pun," katanya.
Ia menyebut pemberitaan melalui berbagai media massa menyangkut kemanusiaan, kasus-kasus ketatanegaraan yang makin membutuhkan "lembaga plus" memperjelas adanya banyak hal yang tidak normal, baik soal hukum, politik, ekonomi, sosial, manajemen keuangan, kejahatan narkoba, maupun kriminalitas anak dan perempuan.
"Dan, tentu kita bisa mengumpulkan banyak masalah dengan perbandingan terukur dengan banyak negara lain. Istilah sublokal 'sungsang' bolehlah paralel setara soal nasional. Atau, siapa pun boleh menyangkalnya dengan berkata bahwa semua normal-normal saja. Syukur kalau realitasnya memang normal saja," kata Sutanto Mendut yang juga budayawan Magelang itu.
Melalui Festival Lima Gunung XII, para seniman petani komunitas itu ingin menyampaikan kesaksian dan pesan berhati-hati atas situasi kehidupan bersama yang serba tidak normal akhir-akhir ini.
Bahkan, alam pun telah menunjukkan anomalinya, melalui perputaran roda musim yang seakan tidak wajar saat ini, yang tentunya juga memengaruhi irama tanam komoditas pertanian yang digeluti para petani Komunitas Lima Gunung selama ini.
"Apakah ini sensitivitas kosong? Semoga demikian. Dan, itu harapan semua orang. Kalau itu menjadi kegelisahan dari kepekaan zaman dari insan-insan yang masih sehat naluri alamiahnya, seperti pesan leluhur, 'Hamenangi (mengalami, red.) zaman edan'," katanya.
Dengan mengusung tema "Mulat Kahangan Sungsang" dalam festivalnya tahun ini, Komunitas Lima Gunung agaknya ingin menyumbang harap bahwa peringatan "sungsang" itu terbaca sejak awal, sebelum siapa saja kaget terkena anomali keadaan di belakangan hari, karena tanpa sikap hati-hati.
Sebagaimana bayi sungsang sehingga kelahirannya harus ditolong secara hati-hati, maka "Mulat Kahanan Sungsang" pun kiranya perlu direnungkan secara saksama agar lahir keadaan baru yang membahagiakan hingga lubuk batin setiap orang.
"Melalui festival tahun ini, kami berdoa bagi kebahagiaan kami, Anda, dan mereka," kata Sutanto Mendut.