Sang Camat yang dengan pakaian dinas pegawai negeri sipil itu pun kemudian keluar dari mobilnya diikuti isterinya yang mengenakan jilbab.
Mereka kemudian berjalan mendekati puluhan warga Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, yang sedang bergotong-royong menyiapkan arena pementasan kesenian dalam rangkaian tradisi "Saparan Mantran" di kawasan Gunung Andong.
Sehari menjelang pelaksanaan tradisi saparan, pada Rabu Pahing (19/12), bulan Sapar dalam kalender Jawa, sepanjang tepi kanan dan kiri jalan itu telah berhias berbagai penjor dari tatanan jerami.
Masing-masing satu instalasi berbentuk atap bertingkat, mirip pura, dan satu lainnya instalasi berbentuk payung terbuat dari tatanan jerami, juga menghiasi jalan dusun setempat di ketinggian sekitar 1.200 meter dari permukaan air laut di sebelah tenggara Gunung Andong.
Dusun setempat berpenduduk sekitar 140 kepala keluarga atau sekitar 900 jiwa dengan udara sejuk di antara Gunung Andong dengan Gunung Merbabu, Kabupaten Magelang, dipimpin kepala dusun Handoko. Hampir semua warga setempat hidup sehari-hari dari pertanian hortikultura.
"Ini tadi dari melayat di Temanggung, mampir di sini karena warga sedang gotong-royong. Besok jam berapa acaranya (tradisi Suran, red.)," tanya Singgih kepada sejumlah tokoh masyarakat dusun setempat yang menemuinya sesaat.
Arena pementasan di halaman rumah warga setempat seluas 150 meter persegi di bawah tenda ukuran cukup besar, sedangkan panggung pementasan seluas sekitar 30 meter persegi dengan berbagai instalasi antara lain tatanan "rigen" (papan dari anyaman bambu untuk menjemur tembakau) dan puluhan hiasan berbentuk matahari dibuat dari rajutan kembang dan daun jagung.
Lebih dari 50 "ancak" (tempat memasang sesaji dari bambu) masih diletakkan di halaman rumah seorang warga lainnya. Rencananya "ancak" itu di pasang berderet di tengah jalan utama dusun setempat untuk dipasangi berbagai sesaji saat hari "H" pelaksanaan tradisi saparan kampung setempat.
Seorang pemuka warga setempat yang juga pimpinan seniman petani Sanggar Andong Jinawi, Supadi Haryanto, menjelaskan tentang rencana pementasan kesenian tradisional yang bakal digelar terkait dengan tradisi saparan itu kepada Camat Singgih.
"Kalau malam (18/12) ini sudah dimulai dengan pentas musik "Yanen", rebana Jawa, sampai dengan dini hari," katanya.
Sedangkan pementasan pada hari puncak tradisi, antara lain tarian Topeng Ireng, Kuda Lumping, Drama Tari Gunung, Jaran Sari, dan Topeng Saujana, sedangkan saat pelaksanaan tradisi saparan berupa kenduri di rumah kepala dusun ditandai dengan pentas ritual tarian "Jaran Kepang Papat". Tarian itu hanya dimainkan oleh empat penari secara turun temurun.
Grup kesenian yang menggelar pementasan tak hanya dari dusun setempat, akan tetapi juga dusun tetangga. Penonton pun juga masyarakat dari berbagai dusun di kawasan itu, khususnya mereka yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengan warga Dusun Mantran Wetan.
"'Ditengga rawuhipun (Ditunggu kedatangannya, red.) Pak'," kata Supadi ketika melepas kepergian Camat Ngablak itu dari dusun setempat.
Berbarengan dengan kepergian Camat Singgih, satu mobil warna hitam dengan penumpang sejumlah petinggi Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) berhenti di depan rumah Supadi.
Mereka antara lain pemimpin tertinggi Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut, dengan sejumlah tokoh komunitas seniman petani itu seperti Riyadi, Andreas Darmanto, dan Handoko. Seniman petani Sanggar Andong Jinawi, bagian dari Komunitas Lima Gunung.
Ayam Jago
Beberapa saat setelah azan zuhur, terlihat para warga keluar dari rumah masing-masing sambil membawa ayam jago yang kakinya telah diikat dengan tali. Dua di antara mereka adalah Topik (7) dan Dian (7). Suara ayam yang mereka bawa terdengar berkotek-kotek cukup keras.
Mereka berjalan kaki sambil membawa ayam masing-masing, menembus kabut tipis yang telah turun di kawasan itu, untuk menuju halaman rumah Kadus Handoko.
Ratusan ekor ayam terkumpul di tempat itu. Setelah kaum dusun setempat, Muhammad Thohir, memimpin doa secara islami selama beberapa saat, dia pun kemudian memotong ayam jago itu satu per satu untuk kemudian dibawa pulang pemiliknya. Daging ayam itu menjadi piranti utama tumpeng setiap keluarga, yang akan dibawa dalam tradisi saparan.
"Saparan Mantran" sebagai tradisi warga setempat merti dusun setiap tahun, bertepatan dengan hari Rabu Pahing, bulan Sapar. Sejak Minggu (16/12), warga bergotong-royong menginstalasi dusunnya dengan berbagai bahan alami, untuk memeriahkan pelaksanaan tradisi itu. Gerimis dan sesekali hujan deras setiap hari, seakan menemai gotong-royong warga setempat itu.
"'Naluri' (tradisi, red.) ini untuk warga bersyukur kepada Tuhan karena selama ini warga menjalani hidup pertaniannya dengan lancar. Juga berdoa agar besok-besoknya juga lancar mengolah pertanian, hasil panenan kubis, tomat, dan cabai, dan sayuran lainnya juga bagus. Juga untuk selalu rukun hidup bersama dan menguatkan kekeluargaan," kata Kadus Handoko.
Tradisi Saparan Mantran dimulai pukul 07.00 WIB dengan arak-arakan warga yang masing-masing membawa tumpeng dengan ingkung ayam dari jalan di ujung dusun setempat menuju halaman rumah kadus.
Mereka kemudian juga akan berdoa bersama dan dilanjutkan santap tumpeng bersama, untuk kemudian menggelar pentas kesenian tradisional hingga malam hari. Selama sehari semalam bertepatan dengan hari tradisi itu, seakan mereka menghentikan semua aktivitas hariannya mengolah lahan pertanian.
Saparan adalah saat mereka menumpahkan syukur atas perjalanan hidup sehari-hari sebagai petani sayuran, saat menguatkan spiritualitas mereka sebagai petani, dan ungkapan terima kasih atas alam pertanian yang menghidupi mereka.
Maka, mereka terkesan sungguh-sungguh dengan gembira hati memusatkan perhatian untuk menjalani tradisi saparannya.

