Komnas HAM : Penghayat kepercayaan harapkan adanya kesetaraan
Purwokerto (ANTARA) - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan para penghayat kepercayaan di berbagai daerah mengharapkan adanya kesetaraan dalam pelayanan administrasi kependudukan, pendidikan, dan sebagainya.
"Memang menjadi hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan yang setara dari pemerintah terutama terkait dengan hak administrasi kependudukan, hak atas layanan pendidikan bagi anak-anak mereka," kata Pramono usai Diskusi Publik "Praktik Baik: Mewujudkan Pemenuhan Hak Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa" di Pendopo Si Panji, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.
Dalam hal ini, kata dia, negara berkewajiban memberikan pelayanan publik yang setara kepada warga negara tanpa memandang latar belakang agama, status sosial, bahasa, ras, dan sebagainya.
Oleh karena itu, lanjut dia, forum diskusi publik tersebut menjadi penting bagi komunitas penghayat kepercayaan di berbagai daerah, sehingga bisa mengetahui beberapa daerah lain yang sudah sedemikian maju.
"Salah satunya berkat komunikasi yang baik dari komunitas penghayat itu sendiri, dan di sisi lain dari pemerintah juga menjadi penting karena pemerintah-pemerintah daerah sekitarnya itu bisa belajar 'pemerintah mereka bisa, kenapa kami enggak melakukan hal yang sama'," katanya.
Terkait dengan layanan administrasi kependudukan dan pendidikan, dia menilai belum ada kesetaraan karena masih banyak ketimpangan di beberapa daerah, misalnya dalam pengurusan identitas kependudukan masih mempersyaratkan dokumen-dokumen yang harusnya tidak diperlukan.
Demikian juga di layanan pendidikan, kata dia, belum memberikan dukungan seperti penyediaan pengajar penghayat kepercayaan.
"Kalau ada pengajarnya, lalu nanti jam pelajarannya bagaimana. Itu 'kan sekolah, jadi pihak sekolahnya harus memberikan jam pelajaran, lalu terkait dengan tingkat kesejahteraannya bagaimana, insentif untuk pengajar penghayat kepercayaannya bagaimana," katanya.
Menurut dia, di level Kabupaten Cilacap sudah sampai pada pemberian insentif bagi pengajar penghayat kepercayaan meskipun masih terbatas, namun daerah lain mungkin belum sampai ke arah itu.
Ia mengatakan kesetaraan dalam layanan pendidikan bagi penghayat kepercayaan tidak hanya pada penyediaan pengajarnya, juga berkaitan dengan bahan ajar yang substansinya ada di kurikulum dan teknisnya pada buku pegangan.
"Ini juga harus disediakan agar bahan ajar yang diberikan kepada anak-anak penghayat kepercayaan ini bisa standar, dan itu kewajiban dari pemerintah pusat untuk menyediakan kurikulumnya, lalu soal buku ajarnya secara teknis untuk mencetaknya bisa didistribusikan ke pemerintah daerah," kata Pramono.
Sementara itu, akademisi dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Mahrus Ali mengatakan pihaknya telah bermitra dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi sejak tahun 2011 untuk mengadvokasi isu-isu penghayat kepercayaan, salah satunya di Banyumas.
"Bahkan beberapa juga sempat menjadi salah satu mitra penguat ketika melakukan uji materi, Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 97 Tahun 2016," katanya.
Lebih lanjut, dia mengakui regulasi yang berkaitan dengan pengajar penghayat kepercayaan belum ideal karena saat ini baru penyuluh yang bisa diberikan.
Kendati demikian, dia mengatakan saat sekarang Kemendikbudristek sudah memberikan satu Program Studi Kepercayaan di Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang .
"Salah satu output-nya adalah lulusannya menjadi penyuluh yang setara dengan guru. Jadi sudah tidak penyuluh lagi, tapi sudah menjadi guru penghayat, kita tunggu saja dari Untag lulusannya, mungkin tahun depan," katanya.
Ia mengatakan dalam diskusi publik diketahui bahwa di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap hanya ada penyuluh penghayat kepercayaan, namun sudah mendapatkan beberapa peningkatan kapasitas yang serupa dengan guru melalui bimbingan-bimbingan teknis yang diselenggarakan oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat.
Dalam hal ini, kata dia, penyuluh tersebut menjadi perantara hingga adanya guru penghayat yang merupakan sarjana (S1).
"Memang menjadi hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan yang setara dari pemerintah terutama terkait dengan hak administrasi kependudukan, hak atas layanan pendidikan bagi anak-anak mereka," kata Pramono usai Diskusi Publik "Praktik Baik: Mewujudkan Pemenuhan Hak Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa" di Pendopo Si Panji, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis.
Dalam hal ini, kata dia, negara berkewajiban memberikan pelayanan publik yang setara kepada warga negara tanpa memandang latar belakang agama, status sosial, bahasa, ras, dan sebagainya.
Oleh karena itu, lanjut dia, forum diskusi publik tersebut menjadi penting bagi komunitas penghayat kepercayaan di berbagai daerah, sehingga bisa mengetahui beberapa daerah lain yang sudah sedemikian maju.
"Salah satunya berkat komunikasi yang baik dari komunitas penghayat itu sendiri, dan di sisi lain dari pemerintah juga menjadi penting karena pemerintah-pemerintah daerah sekitarnya itu bisa belajar 'pemerintah mereka bisa, kenapa kami enggak melakukan hal yang sama'," katanya.
Terkait dengan layanan administrasi kependudukan dan pendidikan, dia menilai belum ada kesetaraan karena masih banyak ketimpangan di beberapa daerah, misalnya dalam pengurusan identitas kependudukan masih mempersyaratkan dokumen-dokumen yang harusnya tidak diperlukan.
Demikian juga di layanan pendidikan, kata dia, belum memberikan dukungan seperti penyediaan pengajar penghayat kepercayaan.
"Kalau ada pengajarnya, lalu nanti jam pelajarannya bagaimana. Itu 'kan sekolah, jadi pihak sekolahnya harus memberikan jam pelajaran, lalu terkait dengan tingkat kesejahteraannya bagaimana, insentif untuk pengajar penghayat kepercayaannya bagaimana," katanya.
Menurut dia, di level Kabupaten Cilacap sudah sampai pada pemberian insentif bagi pengajar penghayat kepercayaan meskipun masih terbatas, namun daerah lain mungkin belum sampai ke arah itu.
Ia mengatakan kesetaraan dalam layanan pendidikan bagi penghayat kepercayaan tidak hanya pada penyediaan pengajarnya, juga berkaitan dengan bahan ajar yang substansinya ada di kurikulum dan teknisnya pada buku pegangan.
"Ini juga harus disediakan agar bahan ajar yang diberikan kepada anak-anak penghayat kepercayaan ini bisa standar, dan itu kewajiban dari pemerintah pusat untuk menyediakan kurikulumnya, lalu soal buku ajarnya secara teknis untuk mencetaknya bisa didistribusikan ke pemerintah daerah," kata Pramono.
Sementara itu, akademisi dari Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM) Mahrus Ali mengatakan pihaknya telah bermitra dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi sejak tahun 2011 untuk mengadvokasi isu-isu penghayat kepercayaan, salah satunya di Banyumas.
"Bahkan beberapa juga sempat menjadi salah satu mitra penguat ketika melakukan uji materi, Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 97 Tahun 2016," katanya.
Lebih lanjut, dia mengakui regulasi yang berkaitan dengan pengajar penghayat kepercayaan belum ideal karena saat ini baru penyuluh yang bisa diberikan.
Kendati demikian, dia mengatakan saat sekarang Kemendikbudristek sudah memberikan satu Program Studi Kepercayaan di Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang .
"Salah satu output-nya adalah lulusannya menjadi penyuluh yang setara dengan guru. Jadi sudah tidak penyuluh lagi, tapi sudah menjadi guru penghayat, kita tunggu saja dari Untag lulusannya, mungkin tahun depan," katanya.
Ia mengatakan dalam diskusi publik diketahui bahwa di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap hanya ada penyuluh penghayat kepercayaan, namun sudah mendapatkan beberapa peningkatan kapasitas yang serupa dengan guru melalui bimbingan-bimbingan teknis yang diselenggarakan oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat.
Dalam hal ini, kata dia, penyuluh tersebut menjadi perantara hingga adanya guru penghayat yang merupakan sarjana (S1).