Upaya mewujudkan ketangguhan terhadap bencana secara berkelanjutan
Purwokerto (ANTARA) - Rangkaian acara Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) Tahun 2022 yang berlangsung di Bali pada 23-28 Mei, telah menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk ketangguhan berkelanjutan.
Karen Reivich dan Andrew Shatte dalam buku berjudul "The Recilience Factor" mengatakan bahwa ketangguhan merupakan kemampuan individu untuk mengatasi serta beradaptasi terhadap suatu kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan.
Selain itu, buku tersebut juga menyebutkan bahwa individu memiliki kapasitas untuk merespons kondisi yang tidak menyenangkan atau trauma dengan cara yang sehat dan produktif, termasuk dalam mengendalikan tekanan-tekanan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, dalam buku berjudul Resiliensi Menghadapi COVID-19 yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), resiliensi diartikan sebagai suatu ketahanan atau ketangguhan.
Dalam buku itu juga disebutkan bahwa dalam konteks bencana, ketahanan atau ketangguhan sering diartikan sebagai kemampuan individu, masyarakat, organisasi atau suatu daerah untuk beradaptasi dan memulihkan diri dari ancaman, guncangan, atau tekanan-tekanan.
Dengan adanya ketangguhan terhadap bencana, maka diharapkan masyarakat akan memiliki kemampuan untuk bertahan dan kembali pulih kembali ke keadaan sebelum terjadinya bencana.
Bahkan, jika pada kemudian hari terjadi bencana yang sama, maka masyarakat diharapkan mampu menghadapi bencana tersebut dengan berdasar pada pengalaman yang dimiliki saat menghadapi bencana sebelumnya.
Presiden RI Joko Widodo saat menghadiri upacara pembukaan GPDRR menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia menawarkan kepada dunia empat konsep ketangguhan berkelanjutan yang diharapkan bisa menjadi solusi untuk menjawab tantangan risiko sistemik terhadap semua bentuk kebencanaan.
Pertama, dengan memperkuat budaya siaga bencana. Kedua, berinvestasi dalam sains, teknologi dan inovasi. Ketiga, infrastruktur yang tangguh bencana. Keempat, mengimplementasikan kesepakatan-kesepakatan global.
Sementara itu, akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Indra Permanajati mengatakan penyelenggaraan GPDRR akan mendorong penguatan program mitigasi pada masa yang akan datang.
Hal tersebut, kata Indra, sesuai dengan tujuh rekomendasi yang dihasilkan dalam GPDRR, yakni pertama, transformasi mekanisme tata kelola pengurangan risiko bencana yang diintegrasikan dengan pencapaian agenda 2030.
Kedua, mendorong perubahan sistemik untuk memastikan pembiayaan dan investasi dalam program mitigasi. Ketiga, menghormati kesepakatan COP26, dan keempat, menerapkan pendekatan partisipatif dalam program mitigasi.
Kelima, pengembangan sistem peringatan dini. Keenam, pembelajaran transformatif dari pandemi COVID-19 dan ketujuh, adalah pelaporan yang komprehensif terhadap target kerangka Sendai.
Indra yang merupakan koordinator bidang bencana geologi pada Pusat Mitigasi (Pusmit) Unsoed itu menambahkan ketangguhan masyarakat pada tahap prabencana maupun pascabencana dapat dibangun dengan strategi pengurangan risiko bencana atau mitigasi yang menyeluruh.
Mitigasi, ujar dia, merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui peningkatan pemahaman atau kesadaran masyarakat terkait kemampuan menghadapi ancaman bencana ataupun melalui pembangunan-pembangunan infrastruktur.
Dia juga mengatakan bahwa program mitigasi dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yang dikelompokkan menjadi mitigasi struktural dan non-struktural.
Selama ini, kata Indra, Indonesia memiliki program mitigasi yang sangat baik, sehingga langkah pasti Indonesia dalam upaya pengurangan risiko bencana bisa menjadi salah satu model mitigasi di tingkat global, mengingat GPDRR merupakan pertemuan untuk berbagi pengalaman tentang kebencanaan.
Rekomendasi agenda Bali untuk ketangguhan berkelanjutan yang dihasilkan dalam GPDRR, kata dia, merupakan sebuah konsep yang berisikan berbagai solusi untuk pengurangan risiko bencana yang dibahasakan dan ditetapkan secara ilmiah dan terukur.
Ketangguhan berkelanjutan yang digagas dalam GPDRR, menurut dia, juga akan menjadikan program mitigasi, khususnya di Tanah Air, pada masa yang akan datang akan semakin baik dan fokus. Kendati demikian, rekomendasi tersebut tidak hanya mendorong penguatan program mitigasi di Tanah Air, namun juga di tingkat global.
Unsur Pentahelix
Sementara itu, pakar hidrologi dan sumber daya air Unsoed Yanto, Ph.D menambahkan GPDRR mendorong pengelolaan program mitigasi untuk mengurangi risiko bencana, termasuk juga mitigasi bencana banjir dan mitigasi perubahan iklim.
Selain itu, rekomendasi yang dihasilkan dalam GPDRR, menurut dia, juga akan mendorong penanganan bencana yang melibatkan lima unsur dalam masyarakat yang disebut dengan pentahelix serta pengembangan teknologi. Pentahelix dimaksud adalah terdiri dari pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi atau pakar dan media massa.
Hal ini akan mendorong konsep ketangguhan yang nantinya terus dikembangkan di tengah masyarakat, dengan melibatkan peran aktif masyarakat sesuai konsep gerakan tangguh bencana yang terus disosialisasikan oleh pemerintah.
Kendati demikian, Yanto mengingatkan bahwa kejadian bencana terkadang bersifat sangat lokal, baik dari jenis, mekanisme maupun risikonya.
Terkait hal itu, maka upaya pengurangan risiko bencana juga perlu dilakukan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan dalam tingkat lokal. Oleh karena itulah, diperlukan upaya lanjutan.
Sebagai contoh, setelah pelaksanaan GDPRR, maka pemerintah perlu mengoordinasikan terbentuknya kolaborasi di tingkat daerah guna meningkatkan upaya perencanaan dan implementasi program mitigasi risiko bencana.
Rekomendasi dari GPDRR dapat menjadi pedoman untuk meningkatkan program mitigasi, mulai dari tingkat pusat hingga tingkat lokal, di masing-masing daerah.
Harapannya, akan terus berkembang aksi-aksi nyata dari berbagai pihak, sesuai konsep pentahelix dan pelibatan masyarakat tentu menjadi prioritas utama.
Dari narasi di atas, pelibatan semua pihak, termasuk masyarakat, menjadi kunci dalam mewujudkan ketahanan dan ketangguhan serta bergerak bersama membangun dan mewujudkan ketangguhan terhadap bencana secara berkelanjutan.
Penguatan ketahanan berkelanjutan saat ini memang sangatlah penting, mengingat ancaman bencana masih terus terjadi. Keberlanjutan di sini artinya kontinuitas, terus menerus, upaya yang dilakukan jangan berhenti hanya di hari ini.
Karena bagaimanapun, ketangguhan itu membutuhkan peran seluruh pihak, termasuk seluruh masyarakat. Ketangguhan bisa muncul dari masing-masing individu. Mari membangun daya tahan, mulai dari diri sendiri.
Karen Reivich dan Andrew Shatte dalam buku berjudul "The Recilience Factor" mengatakan bahwa ketangguhan merupakan kemampuan individu untuk mengatasi serta beradaptasi terhadap suatu kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan.
Selain itu, buku tersebut juga menyebutkan bahwa individu memiliki kapasitas untuk merespons kondisi yang tidak menyenangkan atau trauma dengan cara yang sehat dan produktif, termasuk dalam mengendalikan tekanan-tekanan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, dalam buku berjudul Resiliensi Menghadapi COVID-19 yang diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), resiliensi diartikan sebagai suatu ketahanan atau ketangguhan.
Dalam buku itu juga disebutkan bahwa dalam konteks bencana, ketahanan atau ketangguhan sering diartikan sebagai kemampuan individu, masyarakat, organisasi atau suatu daerah untuk beradaptasi dan memulihkan diri dari ancaman, guncangan, atau tekanan-tekanan.
Dengan adanya ketangguhan terhadap bencana, maka diharapkan masyarakat akan memiliki kemampuan untuk bertahan dan kembali pulih kembali ke keadaan sebelum terjadinya bencana.
Bahkan, jika pada kemudian hari terjadi bencana yang sama, maka masyarakat diharapkan mampu menghadapi bencana tersebut dengan berdasar pada pengalaman yang dimiliki saat menghadapi bencana sebelumnya.
Presiden RI Joko Widodo saat menghadiri upacara pembukaan GPDRR menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia menawarkan kepada dunia empat konsep ketangguhan berkelanjutan yang diharapkan bisa menjadi solusi untuk menjawab tantangan risiko sistemik terhadap semua bentuk kebencanaan.
Pertama, dengan memperkuat budaya siaga bencana. Kedua, berinvestasi dalam sains, teknologi dan inovasi. Ketiga, infrastruktur yang tangguh bencana. Keempat, mengimplementasikan kesepakatan-kesepakatan global.
Sementara itu, akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Indra Permanajati mengatakan penyelenggaraan GPDRR akan mendorong penguatan program mitigasi pada masa yang akan datang.
Hal tersebut, kata Indra, sesuai dengan tujuh rekomendasi yang dihasilkan dalam GPDRR, yakni pertama, transformasi mekanisme tata kelola pengurangan risiko bencana yang diintegrasikan dengan pencapaian agenda 2030.
Kedua, mendorong perubahan sistemik untuk memastikan pembiayaan dan investasi dalam program mitigasi. Ketiga, menghormati kesepakatan COP26, dan keempat, menerapkan pendekatan partisipatif dalam program mitigasi.
Kelima, pengembangan sistem peringatan dini. Keenam, pembelajaran transformatif dari pandemi COVID-19 dan ketujuh, adalah pelaporan yang komprehensif terhadap target kerangka Sendai.
Indra yang merupakan koordinator bidang bencana geologi pada Pusat Mitigasi (Pusmit) Unsoed itu menambahkan ketangguhan masyarakat pada tahap prabencana maupun pascabencana dapat dibangun dengan strategi pengurangan risiko bencana atau mitigasi yang menyeluruh.
Mitigasi, ujar dia, merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui peningkatan pemahaman atau kesadaran masyarakat terkait kemampuan menghadapi ancaman bencana ataupun melalui pembangunan-pembangunan infrastruktur.
Dia juga mengatakan bahwa program mitigasi dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yang dikelompokkan menjadi mitigasi struktural dan non-struktural.
Selama ini, kata Indra, Indonesia memiliki program mitigasi yang sangat baik, sehingga langkah pasti Indonesia dalam upaya pengurangan risiko bencana bisa menjadi salah satu model mitigasi di tingkat global, mengingat GPDRR merupakan pertemuan untuk berbagi pengalaman tentang kebencanaan.
Rekomendasi agenda Bali untuk ketangguhan berkelanjutan yang dihasilkan dalam GPDRR, kata dia, merupakan sebuah konsep yang berisikan berbagai solusi untuk pengurangan risiko bencana yang dibahasakan dan ditetapkan secara ilmiah dan terukur.
Ketangguhan berkelanjutan yang digagas dalam GPDRR, menurut dia, juga akan menjadikan program mitigasi, khususnya di Tanah Air, pada masa yang akan datang akan semakin baik dan fokus. Kendati demikian, rekomendasi tersebut tidak hanya mendorong penguatan program mitigasi di Tanah Air, namun juga di tingkat global.
Unsur Pentahelix
Sementara itu, pakar hidrologi dan sumber daya air Unsoed Yanto, Ph.D menambahkan GPDRR mendorong pengelolaan program mitigasi untuk mengurangi risiko bencana, termasuk juga mitigasi bencana banjir dan mitigasi perubahan iklim.
Selain itu, rekomendasi yang dihasilkan dalam GPDRR, menurut dia, juga akan mendorong penanganan bencana yang melibatkan lima unsur dalam masyarakat yang disebut dengan pentahelix serta pengembangan teknologi. Pentahelix dimaksud adalah terdiri dari pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi atau pakar dan media massa.
Hal ini akan mendorong konsep ketangguhan yang nantinya terus dikembangkan di tengah masyarakat, dengan melibatkan peran aktif masyarakat sesuai konsep gerakan tangguh bencana yang terus disosialisasikan oleh pemerintah.
Kendati demikian, Yanto mengingatkan bahwa kejadian bencana terkadang bersifat sangat lokal, baik dari jenis, mekanisme maupun risikonya.
Terkait hal itu, maka upaya pengurangan risiko bencana juga perlu dilakukan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan dalam tingkat lokal. Oleh karena itulah, diperlukan upaya lanjutan.
Sebagai contoh, setelah pelaksanaan GDPRR, maka pemerintah perlu mengoordinasikan terbentuknya kolaborasi di tingkat daerah guna meningkatkan upaya perencanaan dan implementasi program mitigasi risiko bencana.
Rekomendasi dari GPDRR dapat menjadi pedoman untuk meningkatkan program mitigasi, mulai dari tingkat pusat hingga tingkat lokal, di masing-masing daerah.
Harapannya, akan terus berkembang aksi-aksi nyata dari berbagai pihak, sesuai konsep pentahelix dan pelibatan masyarakat tentu menjadi prioritas utama.
Dari narasi di atas, pelibatan semua pihak, termasuk masyarakat, menjadi kunci dalam mewujudkan ketahanan dan ketangguhan serta bergerak bersama membangun dan mewujudkan ketangguhan terhadap bencana secara berkelanjutan.
Penguatan ketahanan berkelanjutan saat ini memang sangatlah penting, mengingat ancaman bencana masih terus terjadi. Keberlanjutan di sini artinya kontinuitas, terus menerus, upaya yang dilakukan jangan berhenti hanya di hari ini.
Karena bagaimanapun, ketangguhan itu membutuhkan peran seluruh pihak, termasuk seluruh masyarakat. Ketangguhan bisa muncul dari masing-masing individu. Mari membangun daya tahan, mulai dari diri sendiri.