Badan peradilan khusus harusnya dibentuk sebelum Pilkada 2024
Semarang (ANTARA) - Ingar-bingar Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 mulai terdengar santer di tengah publik meski hingga akhir September 2021 belum ada kepastian kapan hari-H Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden RI dan pemilu anggota legislatif.
Penentuan tanggal pencoblosan Pilpres, Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, serta pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota seolah-olah menenggelamkan ingatan akan amanat undang-undang terkait dengan pembentukan badan peradilan khusus.
Amanat pembentukan badan yang akan menangani perkara perselisihan hasil pemilihan itu jelas tertulis dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota (UU Pilkada). Pasal ini menyebutkan perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus (Ayat 1).
Baca juga: Perhelatan sambut sang pemimpin jangan bebani uang rakyat
Ditegaskan pula pada Ayat (2) bahwa badan peradilan khusus dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional. Namun, dalam Ayat (3) disebutkan bahwa perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Di sisi lain, Pasal 201 Ayat (8) menetapkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 34 provinsi dan di 514 kabupaten/kota pada bulan November 2024. Selanjutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengusulkan tanggal pencoblosan 27 November.
Sebenarnya jika Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tidak ditarik Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2021, pemerintah tidak perlu bentuk badan peradilan khusus.
Pasalnya, dalam draf RUU Pemilu (pemutakhiran November 2020), perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.
Rancangan undang-undang ini menyatukan sekaligus merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Pilkada, termasuk ketentuan pembentukan badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional pada bulan November 2024.
Tata cara penyelesaian perselisihan hasil pemilu dalam draf RUU Pemilu diatur dalam Pasal 640 yang terdiri atas tujuh ayat.
Baca juga: Analis: Pemerintah perlu segera bentuk badan peradilan khusus pemilu
Ayat (1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD, gubernur dan wakil Gubernur, anggota DPRD provinsi, bupati dan wakil bupati/wali kota dan wakil wali kota, dan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud Pasal 639 ayat (1), pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta Pemilu Anggota DPR, calon anggota DPD, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, partai politik peserta pemilu anggota DPRD provinsi, pasangan calon bupati dan wakil bupati/wali kota dan wakil wali kota, dan partai politik peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara kepada Mahkamah Konstitusi.
Ayat (2) Pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu anggota DPR, calon anggota DPD, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, partai politik peserta pemilu anggota DPRD provinsi, pasangan calon bupati dan wakil bupati/wali kota dan wakil wali kota, dan partai politik peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 626 ayat (1) dan ayat (2) paling lama 3 x 24 (enam kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu.
Ayat (3) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diterimanya permohonan.
Ayat (4) Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan hasil Pemilu Presiden/Wakil Presiden paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi.
Ayat (5) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
Ayat (6) Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil penghitungan suara kepada:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b. Presiden;
c. KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota;
d. Pasangan calon; dan
e. Partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon.
Ayat (7) Ketentuan lebih lanjut terkait dengan perselisihan hasil pemilu diatur dengan peraturan Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Akademikus: Negara harus jamin masyarakat tidak golput gegara belum divaksin
Pelanggaran UU Pilkada
Jika tidak ada perubahan UU Pilkada, Pemerintah berpotensi melanggar undang-undang kalau tidak mewujudkan pembentukan badan peradilan khusus. Hal ini jangan sampai terjadi.
Apalagi, peluang untuk merevisi kedua undang-undang itu masih terbuka lebar karena dalam Daftar Perubahan Prolegnas Rancangan Undang-Undang 2020—2024 (pada nomor 129) masih ada RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Begitu pula, terkait dengan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, masih terdapat dalam Daftar Perubahan Prolegnas RUU 2020—2024 pada nomor 160.
Sejarah perubahan UU Nomor 1/2015 sebenarnya sudah tiga kali, yakni UU Nomor 8/2015, UU Nomor 10/2016, dan terakhir UU Nomor 6/2020.
Karena kedua undang-undang itu masih masuk dalam Daftar Perubahan Prolegnas RUU 2020—2024, berarti pembahasannya bisa pada tahun 2022 sampai 2024. Namun, bila revisi itu mendekati 2024, bakal mengganggu penahapan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Hal ini perlu menjadi perhatian pembuat undang-undang, terutama merevisi Pasal 157 UU Pilkada agar Pemerintah konsisten dengan produk hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada perubahan terhadap UU Pilkada, konsekuensinya Pemerintah membentuk badan peradilan khusus.
Apabila tidak ada revisi UU Pemilu dan UU Pilkada, pemerintah, DPR RI, dan penyelenggara pemilu harus cermat dalam penetapan tanggal pencoblosan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR, Pemilu Anggota DPD RI, serta pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota. Kenapa penetapan hari-H pencoblosan pemilu ini penting? Karena berpengaruh pada tahapan-tahapan Pilkada Serentak 2024.
Hal lain yang patut mendapat perhatian pemangku kepentingan pemilu adalah model keserentakan pemilihan umum yang menyatukan pemilu dan pilkada pada tahun yang sama meski bulannya berbeda. Hal ini akan membuat kompleksitas bertambah rumit, bahkan berpotensi membebani penyelenggara pemilu, partai politik, kontestan pemilu/pilkada, dan Mahkamah Konstitusi.
*) D.Dj. Kliwantoro, Ketua Dewan Etik Mappilu PWI Provinsi Jawa Tengah.
Baca juga: Perhelatan sambut sang pemimpin jangan bebani uang rakyat
Baca juga: Hamdan Zoelva: Pandemi COVID-19 tidak bisa jadi alasan tunda Pemilu 2024
Penentuan tanggal pencoblosan Pilpres, Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, serta pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota seolah-olah menenggelamkan ingatan akan amanat undang-undang terkait dengan pembentukan badan peradilan khusus.
Amanat pembentukan badan yang akan menangani perkara perselisihan hasil pemilihan itu jelas tertulis dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota (UU Pilkada). Pasal ini menyebutkan perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus (Ayat 1).
Baca juga: Perhelatan sambut sang pemimpin jangan bebani uang rakyat
Ditegaskan pula pada Ayat (2) bahwa badan peradilan khusus dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional. Namun, dalam Ayat (3) disebutkan bahwa perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Di sisi lain, Pasal 201 Ayat (8) menetapkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 34 provinsi dan di 514 kabupaten/kota pada bulan November 2024. Selanjutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengusulkan tanggal pencoblosan 27 November.
Sebenarnya jika Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tidak ditarik Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2021, pemerintah tidak perlu bentuk badan peradilan khusus.
Pasalnya, dalam draf RUU Pemilu (pemutakhiran November 2020), perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi.
Rancangan undang-undang ini menyatukan sekaligus merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Pilkada, termasuk ketentuan pembentukan badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional pada bulan November 2024.
Tata cara penyelesaian perselisihan hasil pemilu dalam draf RUU Pemilu diatur dalam Pasal 640 yang terdiri atas tujuh ayat.
Baca juga: Analis: Pemerintah perlu segera bentuk badan peradilan khusus pemilu
Ayat (1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPD, gubernur dan wakil Gubernur, anggota DPRD provinsi, bupati dan wakil bupati/wali kota dan wakil wali kota, dan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud Pasal 639 ayat (1), pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta Pemilu Anggota DPR, calon anggota DPD, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, partai politik peserta pemilu anggota DPRD provinsi, pasangan calon bupati dan wakil bupati/wali kota dan wakil wali kota, dan partai politik peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara kepada Mahkamah Konstitusi.
Ayat (2) Pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu anggota DPR, calon anggota DPD, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, partai politik peserta pemilu anggota DPRD provinsi, pasangan calon bupati dan wakil bupati/wali kota dan wakil wali kota, dan partai politik peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 626 ayat (1) dan ayat (2) paling lama 3 x 24 (enam kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu.
Ayat (3) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diterimanya permohonan.
Ayat (4) Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan hasil Pemilu Presiden/Wakil Presiden paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi.
Ayat (5) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.
Ayat (6) Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil penghitungan suara kepada:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b. Presiden;
c. KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota;
d. Pasangan calon; dan
e. Partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon.
Ayat (7) Ketentuan lebih lanjut terkait dengan perselisihan hasil pemilu diatur dengan peraturan Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Akademikus: Negara harus jamin masyarakat tidak golput gegara belum divaksin
Pelanggaran UU Pilkada
Jika tidak ada perubahan UU Pilkada, Pemerintah berpotensi melanggar undang-undang kalau tidak mewujudkan pembentukan badan peradilan khusus. Hal ini jangan sampai terjadi.
Apalagi, peluang untuk merevisi kedua undang-undang itu masih terbuka lebar karena dalam Daftar Perubahan Prolegnas Rancangan Undang-Undang 2020—2024 (pada nomor 129) masih ada RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Begitu pula, terkait dengan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 1/2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang, masih terdapat dalam Daftar Perubahan Prolegnas RUU 2020—2024 pada nomor 160.
Sejarah perubahan UU Nomor 1/2015 sebenarnya sudah tiga kali, yakni UU Nomor 8/2015, UU Nomor 10/2016, dan terakhir UU Nomor 6/2020.
Karena kedua undang-undang itu masih masuk dalam Daftar Perubahan Prolegnas RUU 2020—2024, berarti pembahasannya bisa pada tahun 2022 sampai 2024. Namun, bila revisi itu mendekati 2024, bakal mengganggu penahapan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Hal ini perlu menjadi perhatian pembuat undang-undang, terutama merevisi Pasal 157 UU Pilkada agar Pemerintah konsisten dengan produk hukumnya. Sebaliknya, jika tidak ada perubahan terhadap UU Pilkada, konsekuensinya Pemerintah membentuk badan peradilan khusus.
Apabila tidak ada revisi UU Pemilu dan UU Pilkada, pemerintah, DPR RI, dan penyelenggara pemilu harus cermat dalam penetapan tanggal pencoblosan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR, Pemilu Anggota DPD RI, serta pemilu anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota. Kenapa penetapan hari-H pencoblosan pemilu ini penting? Karena berpengaruh pada tahapan-tahapan Pilkada Serentak 2024.
Hal lain yang patut mendapat perhatian pemangku kepentingan pemilu adalah model keserentakan pemilihan umum yang menyatukan pemilu dan pilkada pada tahun yang sama meski bulannya berbeda. Hal ini akan membuat kompleksitas bertambah rumit, bahkan berpotensi membebani penyelenggara pemilu, partai politik, kontestan pemilu/pilkada, dan Mahkamah Konstitusi.
*) D.Dj. Kliwantoro, Ketua Dewan Etik Mappilu PWI Provinsi Jawa Tengah.
Baca juga: Perhelatan sambut sang pemimpin jangan bebani uang rakyat
Baca juga: Hamdan Zoelva: Pandemi COVID-19 tidak bisa jadi alasan tunda Pemilu 2024