Magelang (ANTARA) - Wilayah hukum Kota Magelang tidak lepas dari bencana alam. Bencana alam seperti tanah longsor berpotensi terjadi di wilayah tersebut pada musim hujan tahun ini.
Untuk itu, Polres Magelang Kota siap menerjunkan 133 personel dan peralatan penanggulangan bencana.
Kabag Operasional Polres Magelang Kota Kompol Sri Hatmo mengatakan wilayah Kota Magelang tidak berpotensi banjir.
Hanya saja, di Kecamatan Bandongan yang masuk wilayah hukum Polres Magelang Kota berpotensi tanah longsor.
Hingga saat ini, Kota Magelang belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Pihaknya telah memetakan lokasi rawan angin ribut di seluruh wilayah hukum Polres Magelang Kota dan tanah longsor di beberapa wilayah Kota Magelang dan Kecamatan Bandongan.
Kapolres Magelang Kota AKBP Idham Mahdi mengatakan rapat koordinasi telah digelar untuk menindaklanjuti dampak perubahan iklim di beberapa wilayah setempat. Rapat tersebut bagian dari kesiapan aparat dan masyarakat dalam mengantisipasi dan menanggulangi bencana.
Dalam buku berjudul Magelang "De Bergstad van Midden Java Middelpunt van den Tuin van Java" (1936) dituliskan bahwa Magelang memiliki iklim yang menyenangkan karena lokasinya di dataran tinggi dengan ketinggian sekitar 400 mdpl (1.400 kaki) dengan dikelilingi cincin pegunungan dan dilindungi dari terpaan angin kencang. Iklimnya seperti di Italia Selatan.
Suhu rata-rata daerah setempat 24,5 derajat Celcius, dengan 20,5 derajat Celscius pada pagi hari dan 24,7 derajat Celcius pada malam hari. Suhu absolut pada 1935, yakni 33,4 derajat Celcius pada Agustus dan 14,2 derajat Celcius pada Juli.
Walaupun sepertinya banjir mustahil terjadi, mengingat Magelang berada di wilayah pegunungan dengan kontur yang tidak rata sebagaimana di wilayah pesisiran, bencana tersebut pernah terjadi.
Baca juga: Pemkot Magelang waspadai luapan air sungai saat hujan deras
Mengutip surat kabar “Het Nieuws van dag voor Nederlansch-Indie” yang terbit pada 22 Januari 1916, air bah pernah terjadi di Magelang. Pada Januari 1916, curah hujan di wilayah Magelang mencapai puncak. Akibatnya saluran irigasi Manggis Leiding yang terletak antara Secang-Magelang longsor.
Tak pelak, ribuan meter kubik tanah dan air sekonyong-konyong menerjang dan merendam pemukiman. Kamp tentara pun ikut terendam dalam waktu singkat.
Menurut pranata mangsa Jawa, Januari merupakan "mangsa kapitu" dengan Candra "wisa kentar ing maruta" dan firasat "akeh lelara, angina gede, kali banjir, wong tani wiwit tandur".
Pada Jumat, 10 September 1915, “Tangsileiding” di Magelang runtuh. Suara gemuruh memecah keheningan malam karena ribuan meter kubik tanah longsor.
Kejadian ini berlanjut esok harinya, Sabtu, 11 September 1915. Penyebab runtuhya saluran air ini karena keretakan sambungan susunan batu batu. Dampaknya, produksi di pabrik es Sanitas dan Chevalier terganggu.
Selain banjir, letusan dahsyat Gunung Merapi menjadi ancaman serius wilayah Magelang. Pada 1930, letusan Merapi mengakibatkan 1.369 penduduk meninggal, 2.100 ternak mati, 22 kilometer persegi lahan pertanian rusak, dan 36 desa hancur.
Selain itu, hampir tiga tahun banjir lahar hujan berlangsung dengan tiga kali tergolong besar, yakni Januari 1931, April 1931, dan April 1932. Bahkan, banjir lahar hujan pada April 1932 mengakibakan kerusakan rel kereta api antara Yogyakarta-Magelang di dekat Kali Batang di daerah Sucen, Krakitan.
Buku "Beschreibung der Insel Java" karya Dr. J. Muller terbitan Berlin pada 1860, mencatat bahwa pada 28, 29, dan 30 Desember 1822 terjadi erupsi besar Merapi diawali dengan gempa bumi. Lahan pertanian seluas 288.000 "kuadrat kaki" di wilayah Distrik Purbolinggo (tenggara Muntilan) rusak.
Untuk memberian perlindungan masyarakat dari bencana alam, perang, atau serangan udara, LBD (Lucht Bestcherming Diens) atau Dinas Perlindungan Udara zaman Hindia Belanda, pada era 1930-an, memberikan imbauan pembuatan bunker-bunker.
Di Magelang, dibangun bunker-bunker di beberapa tempat, seperti rumah pribadi, pemukiman, kawasan pendidikan, dan militer. Misalnya, bunker di Kampung Kwarasan dan Juritan, SMK Pius Jln. Ahmad Yani Kota Magelang dan Pastoran Muntilan, Kabupaten Magelang.
Baca juga: Telaah - Hutan kota Gunung Tidar penenang cuaca ekstrem
Banjir karena curah hujan tinggi pernah menerjang bendungan Kali Elo di Sumberan (sekarang Sumber Agung) di timur Secang.
Awalnya, pada masa Perang Jawa (1825-1830), para pendukung Pangeran Diponegoro melakukan serangan ke wilayah Kota Magelang yang menjadi basis pertahanan Belanda. Serangan dengan cara melumpuhkan akses menuju kota. Misalnya, sabotase dengan menghancurkan jalan, jembatan, dan saluran irigasi. Akibatnya, ketika perang berakhir, wilayah kota lumpuh.
Untuk mengatasi kelangkaan air, Pemerintah Belanda terpaksa turun tangan dengan membiayai pembangunan bendungan permanen di Kali Elo pada 1831. Para perangkat desa diminta mengerahkan tenaga kerja. Bendungan dibangun agak ke bawah dari bendungan lama di Gunung Saren ke Desa Sumberan.
Pada Oktober 1858, bendungan Kali Elo (Gunung Saren dan Sumberan) rusak diterjang banjir. Pemerintah menganggap pemulihan dan pemeliharaan rutin harus dilakukan oleh pemilik lahan pertanian dan perkebunan, serta masyarakat dengan bergotong-royong.
Salah satu organisasi kebencanaan pada masa Hindia Belanda adalah Roode Kruis atau Palang Merah. Organisasi ini di Magelang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda meskipun belum diketahui mulai kapan lahirnya. Meski demikian, kiprahnya memiliki arti penting bagi pemerintahan dan masyarakat.
Artikel surat kabar "De Locomotief" menyebut Roode Kruis Magelang telah mengadakan demonstrasi Palang Merah pada 20 April 1936. Beberapa kegiatan telah dilakukan dengan cara yang sangat baik. Berbagai kursus diadakan di gedung Palang Merah di Bajemanweg (kini Jln. Tentara Pelajar Bayeman).
Para peserta terlihat sangat antusias mengikuti kegiatan dengan hasil sangat memuaskan. Mayoritas peserta berasal dari kalangan perempuan dewasa.
Kursus-kursus tersebut diselenggarakan dalam berbagai program, seperti kursus perawatan dasar, P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan), dan kolone transportasi dengan para pelatih, seperti dr. Van den Burg, dr. Krijnen, dr. Dragten, sersan perawat Roesman, dr. Sunder, dr. Heijstek, dr. Soehadi, dan dr. Ong Tiong Liat.
Selain diadakan di gedung Palang Merah, pelatihan diadakan di kompleks makam Kerkhof dan Lapangan Tidar.
Belum diketahui alasannya, beberapa materi kursus dilakukan di makam Kerkhof. Selain dilakukan di Magelang, dua kursus diberikan di Societeit Cina di Temanggung dipimpin dr. Marcaban dari Purworejo.
Pada 21 Oktober 1873, pemerintah kolonial Belanda mendirikan organisasi Roode Kruis atau Palang Merah di Hindia Belanda dengan nama Nederland Indische Roode Kruis (NIRK) yang kemudian namanya menjadi Nederlands Roode Kruis Afdeling Indie.
Di Magelang, kiprah Roode Kruis mendapatkan perhatian serius jajaran petinggi kota ini. Bupati Magelang R.A.A. Danusugondo bersama Residen Kedu Linck dan Burgemeester/Wali Kota Magelang Nessel van Lissa melakukan kunjungan ke tempat Roode Kruis Magelang yang sedang melakukan pelatihan.
Bahkan, Nyonya Linck tak sungkan-sungkan turut membantu dan mendukung kegiatan-kegiatan Roode Kruis Magelang.
Saat kunjungan tersebut, Bupati Danusugondo memakai pakaian unik, berupa jas berdasi dan belangkon, tetapi bercelana pendek dan bersepatu lars warna hitam, sedangkan Residen Linck dan Burgemeester Nessel van Lissa memakai pakaian putih-putih.
Pakaian uniform Roode Kruis berwarna putih-putih alias putih "memplak". Pakaian dengan warna ini pernah mengakibatkan kesalahpahaman dengan masyarakat pada 1936 karena dianggap berhubungan dengan agama Kristen. Pakaian tersebut persis seperti dikenakan para rahib (monnik) perempuan. Apalagi pada topi terdapat tanda silang (kruis) berwarna merah.
Bukan itu saja, masyarakat juga mengira Roode Kruis mengarah ke kemiliteran karena beberapa proses pelatihan mirip dengan militer. Misalnya, saat proses penyelamatan korban dan para pelatih yang diambil dari kalangan militer.
Roode Kruis didirikan bukan hanya untuk menolong tentara yang menjadi korban perang, tetapi juga masyarakat ketika terjadi bencana alam, seperti banjir, gempa, gunung meletus, dan kebakaran.
Itulah sebabnya, Roode Kruis mengadakan pelatihan-pelatihan dan kursus-kursus kepada relawan anggotanya. Tujuannya, meningkatkan keterampilan relawan. Salah satu kursus tersebut bernama "Cursus EHBO". EHBO singkatan Eerste Hulp Bij Ongelukken atau pertolongan pertama pada orang-orang yang mengalami kecelakaan.
Pada era 1930-an Roode Kruis sudah memiliki mobil ambulans untuk mengangkut dan mengobati pasien serta mereka yang membutuhkan pertolongan darurat. Sayangnya, ketika Jepang menguasai Hindia Belanda, Roode Kruis mengalami kevakuman.
Bencana alam memang tak dapat diprediksi. Tetapi kesiapsiagaan masyarakat dan lembaga terkait dalam menanggulangi bencana menjadi kebutuhan teramat penting.
Dengan kondisi Magelang sebagai wilayah berpotensi bencana, dibutuhkan koordinasi yang baik dan tepat antara berbagai pihak. (hms).
*) Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang
Baca juga: Wali Kota Magelang: Pimpinan OPD wajib atasi dampak hujan ekstrem
Baca juga: Hujan es guyur Kota Magelang