Uskup: Pendidikan karakter membentuk peserta didik menjadi berpribadi utuh
Magelang (ANTARA) - Uskup Agung Semarang Monsinyur Robertus Rubiyatmoko mengatakan pendidikan karakter upaya membentuk sikap dasar para peserta didik agar berkembang menjadi pribadi-pribadi utuh yang memiliki kepedulian dan bertanggung jawab terhadap perkembangan sosial masyarakatnya.
"Kita sangat merindukan anak-anak, berkat pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Katolik dan utamanya di keluarga-keluarga Katolik semakin bertanggung jawab, 'ndayani lan migunani' (berdaya dan berguna) bagi masyarakat," tulisnya dalam Surat Gembala Uskup Keuskupan Agung Semarang terkait dengan Hari Pendidikan Nasional 2019 yang diterima di Magelang, Sabtu.
Surat gembala tertanggal 21 April 2019 itu untuk dibacakan atau diterangkan di berbagai gereja di KAS yang wilayahnya meliputi sebagian Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam misa pada 27 dan 28 April 2019. Hari Pendidikan Nasional jatuh setiap 2 Mei.
Ia menjelaskan bahwa pendidikan karakter diarahkan kepada perubahan cara berpikir, bersikap, dan bertindak seseorang sehingga menjadi lebih baik.
Peserta didik diharapkan memiliki dan berkembang dalam berbagai keutamaan iman, nasionalisme, kemandirian, bersemangat gotong-royong, dan berintegritas.
Ia juga mengatakan berbagai lembaga pendidikan dipanggil untuk mempersiapkan peserta didik secara keilmuan dan kepribadian, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang kokoh dalam nilai-nilai moral, spiritual, dan keilmuan.
Salah satu contoh pendidikan karakter yang mendesak dan sangat relevan, kata dia, membangun kesadaran peserta didik untuk lebih mencintai lingkungan hidup melalui gerakan pengurangan penggunaan plastik dan "styrofoam".
Monsinyur Rubi mengutip data Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di mana total jumlah sampah Indonesia pada 2019 akan mencapai 68 juta ton, di mana sekitar 9,52 juta ton atau 14 persennya berupa sampah plastik.
"Memprihatinkan bukan?" ujarnya.
Ia juga mengemukakan tentang masih dijumpai situasi sekolah-sekolah katolik di wilayah keuskupan setempat yang mengalami penurunan kuantitas dan kualitas mitra didik yang didampingi.
Peserta didik yang semakin sedikit membuat beban operasional banyak lembaga pendidikan bertambah berat dan pada gilirannya tutup satu demi satu.
"Kita tetap merindukan hadirnya lembaga pendidikan katolik yang kuat dan bermutu sebagai wujud peran serta gereja dalam masyarakat, tetapi harapan tersebut semakin sulit diwujudkan," katanya.
Ia menyebut permasalahan yang muncul dan dihadapi sebagai beragam, antara lain kurangnya fasilitas, terbatasnya tenaga pendidik, menurunnya daya saing, dan terbatasnya dana untuk penyelenggaraan pendidikan.
Situasi itu, katanya, semakin memperkuat kesadaran bersama untuk ambil bagian dalam mewujudkan harapan gereja dalam bidang pendidikan.
"Kita sadar bahwa perwujudan harapan itu tidak mungkin hanya dibebankan pada para guru dan penyelenggara pendidikan katolik, tetapi juga pada semua umat katolik dan juga masyarakat yang seharusnya turut ambil peran dalam menanggapi keprihatinan tersebut," ujarnya.
Ia juga menyampaikan penghargaan kepada berbagai pihak terkait yang telah berjuang di dunia pendidikan, khususnya para guru, tenaga kependidikan, para pemerhati, dan pejuang pendidikan, lebih-lebih para orang tua selaku pendidik pertama dan utama bagi putera-puterinya.
"Sumbangsih dan peran aktif anda semua telah menjadi bukti nyata betapa penting dan strategisnya pendidikan ini senantiasa kita perjuangkan," ujarnya.
Ia mengemukakan tentang gerakan belarasa dan kepedulian kepada pendidikan di tengah umat keuskupan setempat, di mana banyak keluarga secara mandiri, lingkungan, wilayah, paroki, dan kevikepan telah melakukannya.
"Mengupayakan tumbuh kembang sekolah katolik yang kuat dan unggul merupakan tanggung jawab kita bersama. Kita jadikan lembaga pendidikan katolik kita sebagai saluran warta gembira agar budaya kasih menjadi sikap dasar masyarakat kita dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia ini," kata Monsinyur Rubiyatmoko.
"Kita sangat merindukan anak-anak, berkat pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Katolik dan utamanya di keluarga-keluarga Katolik semakin bertanggung jawab, 'ndayani lan migunani' (berdaya dan berguna) bagi masyarakat," tulisnya dalam Surat Gembala Uskup Keuskupan Agung Semarang terkait dengan Hari Pendidikan Nasional 2019 yang diterima di Magelang, Sabtu.
Surat gembala tertanggal 21 April 2019 itu untuk dibacakan atau diterangkan di berbagai gereja di KAS yang wilayahnya meliputi sebagian Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam misa pada 27 dan 28 April 2019. Hari Pendidikan Nasional jatuh setiap 2 Mei.
Ia menjelaskan bahwa pendidikan karakter diarahkan kepada perubahan cara berpikir, bersikap, dan bertindak seseorang sehingga menjadi lebih baik.
Peserta didik diharapkan memiliki dan berkembang dalam berbagai keutamaan iman, nasionalisme, kemandirian, bersemangat gotong-royong, dan berintegritas.
Ia juga mengatakan berbagai lembaga pendidikan dipanggil untuk mempersiapkan peserta didik secara keilmuan dan kepribadian, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang kokoh dalam nilai-nilai moral, spiritual, dan keilmuan.
Salah satu contoh pendidikan karakter yang mendesak dan sangat relevan, kata dia, membangun kesadaran peserta didik untuk lebih mencintai lingkungan hidup melalui gerakan pengurangan penggunaan plastik dan "styrofoam".
Monsinyur Rubi mengutip data Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di mana total jumlah sampah Indonesia pada 2019 akan mencapai 68 juta ton, di mana sekitar 9,52 juta ton atau 14 persennya berupa sampah plastik.
"Memprihatinkan bukan?" ujarnya.
Ia juga mengemukakan tentang masih dijumpai situasi sekolah-sekolah katolik di wilayah keuskupan setempat yang mengalami penurunan kuantitas dan kualitas mitra didik yang didampingi.
Peserta didik yang semakin sedikit membuat beban operasional banyak lembaga pendidikan bertambah berat dan pada gilirannya tutup satu demi satu.
"Kita tetap merindukan hadirnya lembaga pendidikan katolik yang kuat dan bermutu sebagai wujud peran serta gereja dalam masyarakat, tetapi harapan tersebut semakin sulit diwujudkan," katanya.
Ia menyebut permasalahan yang muncul dan dihadapi sebagai beragam, antara lain kurangnya fasilitas, terbatasnya tenaga pendidik, menurunnya daya saing, dan terbatasnya dana untuk penyelenggaraan pendidikan.
Situasi itu, katanya, semakin memperkuat kesadaran bersama untuk ambil bagian dalam mewujudkan harapan gereja dalam bidang pendidikan.
"Kita sadar bahwa perwujudan harapan itu tidak mungkin hanya dibebankan pada para guru dan penyelenggara pendidikan katolik, tetapi juga pada semua umat katolik dan juga masyarakat yang seharusnya turut ambil peran dalam menanggapi keprihatinan tersebut," ujarnya.
Ia juga menyampaikan penghargaan kepada berbagai pihak terkait yang telah berjuang di dunia pendidikan, khususnya para guru, tenaga kependidikan, para pemerhati, dan pejuang pendidikan, lebih-lebih para orang tua selaku pendidik pertama dan utama bagi putera-puterinya.
"Sumbangsih dan peran aktif anda semua telah menjadi bukti nyata betapa penting dan strategisnya pendidikan ini senantiasa kita perjuangkan," ujarnya.
Ia mengemukakan tentang gerakan belarasa dan kepedulian kepada pendidikan di tengah umat keuskupan setempat, di mana banyak keluarga secara mandiri, lingkungan, wilayah, paroki, dan kevikepan telah melakukannya.
"Mengupayakan tumbuh kembang sekolah katolik yang kuat dan unggul merupakan tanggung jawab kita bersama. Kita jadikan lembaga pendidikan katolik kita sebagai saluran warta gembira agar budaya kasih menjadi sikap dasar masyarakat kita dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia ini," kata Monsinyur Rubiyatmoko.