Sutarmi, ibu rumah tangga di Desa Kebonsari, sekitar empat kilometer barat Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, wajahnya berseri-seri, sementara tangannya menenteng satu keranjang berisi aneka sayuran.
Sejumlah perempuan desa lainnya juga demikian. Raut muka mereka tak kalah semringah dari Sutarmi. Masing-masing juga membawa sayuran dalam keranjang dari anyaman bambu itu, berjalan menuju rumahnya.
Mereka mengira rombongan orang memakai pakaian kesenian tradisional dengan menumpang sejumlah mobil bak terbuka dan truk, serta bersepeda motor, yang melewati jalan desa setempat itu, hendak menuju Balai Ekonomi Desa Kebonsari untuk menghibur wisatawan.
Ternyata rombongan yang peserta Safari Budaya Borobudur dalam rangkaian agenda kebudayaan bertajuk "14 Tahun Ruwat-Rawat Borobudur" itu, datang ke Desa Kebonsari di dekat mata air Kali Sibendho, untuk membagikan paket sayuran.
Setiap keranjang berisi berbagai sayuran, seperti loncang, tomat, wortel, kubis, sawi, cabai, dan seledri. Harganya saat ini sekitar Rp75.000 per keranjang.
"Kebetulan kok pas mau ngirim," kata Sutarmi yang maksudnya dia di rumah sedang menyiapkan makan siang untuk dikirim kepada para tetangga yang sedang bekerja di ladang. Karena beroleh paket sayuran gratis itu, pengeluaran biaya makan siang untuk para pekerja di ladangnya menjadi lebih enteng.
Mereka yang membawa paket sayuran dalam Safari Budaya Borobudur tersebut adalah perwakilan masyarakat dari sejumlah desa dan gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang, yang bergiat dalam Yayasan Brayat Panangkaran Borobudur dan menjadi penyelenggara agenda budaya "14 Tahun Ruwat-Rawat Borobudur".
Kawasan desa dan gunung-gunung di Kabupaten Magelang, seperti Merapi, Merbabu, dan Sumbing sebagai daerah berbasis pertanian hortikultura. Panenan sayuran petani setempat biasa dipasok ke berbagai pasar besar di sejumlah kota, baik di Pulau Jawa maupun luar pulau itu.
Candi Borobudur yang juga warisan budaya dunia dibangun sekitar abad ke-8 Masehi, masa pemerintahan Dinasti Syailendra itu, notabene dikelilingi daerah pertanian subur yang oleh masyarakat petani setempat hingga saat ini dikembangkan untuk budi daya aneka sayuran.
"Kami bawa sayuran untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitar Borobudur dalam acara Safari Budaya ini," kata seorang pemimpin kelompok kesenian rakyat dari Kajoran di kawasan Gunung Sumbing yang juga anggota panitia 14 Tahun Ruwat-Rawat Borobudur, Epen Widodo.
Sekitar 250 keranjang sayuran, hasil panenan petani, antara lain dari Gunung Sumbing, Merbabu, dan Merapi, digunakan sebagai sarana utama Safari Budaya Borobudur, dalam rangkaian agenda budaya selama tiga bulan ke depan itu (9 Maret hingga 21 Mei 2017).
Tema "14 Tahun Ruwat-Rawat Borobudur" adalah "Memetri Candi, Nguri-Uri Tradisi" yang terjemahannya kira-kira "Merawat Candi Melestarikan Tradisi".
Agenda kebudayaan itu, antara lain berupa pementasan kesenian rakyat, safari budaya, seminar budaya dan pariwisata, lokakarya seni tradisi, kirab budaya memperingati Hari Warisan Budaya, pementasan Sendratari Kidung Karmawibangga, dan pawai budaya sebagai puncak acara "14 Tahun Ruwat-Rawat Borobudur".
Dalam Safari Budaya Borobudur pada Kamis (9/3), paket sayuran itu mereka bawa dengan menggunakan mobil bak terbuka, dijaga serta dibagikan kepada masyarakat sekitar Candi Borobudur oleh para seniman petani dengan mengenakan pakaian kesenian tradisional, seperti tarian jatilan, campur, dan ndolalak.
Selain ke Kebonsari, para peserta safari juga ke beberapa desa lainnya di kawasan Candi Borobudur, seperti Desa Ringin Putih, Giri Tengah, dan Sambeng.
Rombongan Safari Budaya Borobudur memulai kegiatan mereka dari pelataran barat daya Candi Borobudur, dilepas oleh Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo.
Masyarakat desa-desa sekitar Candi Borobudur menyambut kedatangan peserta safari dengan wajah-wajah yang terkesan gembira. Suasana desa juga menjadi semarak, antara lain ditandai dengan pementasan kesenian tradisional, dialog budaya, dan ritual budaya setiap desa.
Acara Safari Budaya Borobudur menjadi keramaian masyarakat desa dan ajang silurahim para pegiat serta pelestari tradisi, budaya, dan kesenian tradisional di kawasan Candi Borobudur.
Pendiri Yayasan Brayat Panangkaran Borobudur yang juga penggagas Ruwat-Rawat Borobudur, Sucoro, mengatakan agenda itu merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan karena melalui nenek moyang Bangsa Indonesia, Dia telah menghadirkan mahakarya berupa Candi Borobudur.
"Kami ingin mengajak masyarakat, generasi bangsa ini, ikut memiliki Candi Borobudur. Tidak hanya memanfaatkan, mengambil keuntungan dari Candi Borobudur, tetapi juga melestarikan dan merawatnya," katanya.
Dengan jalan bertani yang sungguh-sungguh dan beroleh panenan yang melimpah, katanya, hal itu telah turut pula menjadi bagian dari usaha masyarakat melestarikan Candi Borobudur dengan kawasannya.
"Bukankah Candi Borobudur ini dikelilingi daerah pertanian subur?," kata Sucoro yang siang itu mengenakan pakaian surjan dan tutup kepala, iket.
Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo menyebut Safari Budaya Borobudur sebagai ungkapan syukur para petani yang sekaligus pegiat seni tradisional di daerah setempat.
"Mereka ingin berbagi rejeki berupa panenan sayuran. Hasil panenan bukan hanya dirasakan sendiri, tetapi mereka berbagi dengan orang lain. Di kampung ada istilah `ter-ter` (mengantar, red.), itu salah satu bentuk silaturahmi. Pengemasan Safari Budaya seperti ini wujud nyata `nguri-uri` (melestarikan, red.) tradisi budaya masyarakat kita," katanya.
Sebelum meninggalkan pelataran Borobudur untuk menjalani safari ke sejumlah desa di sekitar candi itu, Sucoro mengajak rombongannya untuk membaca basmalah.
"Bismillahirrohmanirrohim," begitu mereka secara saksama bersama-sama mengucapkan kalimat doa itu.