Kalimat pidatonya terkesan menjadi kiriman balasan atas tantangan bernada kekerasan oleh kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) terhadap TNI, Polri, dan terutama Banser yang ditangkapnya melalui media beberapa waktu lalu.
Pidato petinggi Banser itu, terasa menusuk jantung siapapun anggota kelompok radikal dan teroris, Islamic State in Iraq and Syria itu, bukan hanya yang saat ini berada di tanah Timur Tengah, akan tetapi di manapun mereka berada.
"Di sini kami menantang ISIS. Mari menari bersama Banser. Tinggalkan kekerasan. Mari kita tampilkan Islam yang 'rahmatan lil 'alamin' (menjadi rahmat bagi seluruh alam)," katanya.
Pernyataan itu disampaikan dari atas panggung terbuka dengan berbagai instalasi alam di halaman rumah warga Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di kawasan barat Gunung Merbabu, dalam pergelaran kesenian dan kebudayaan secara kolaboratif bernuansa kental spirit kearifan lokal, antara anggota Banser dengan seniman petani Komunitas Lima Gunung.
Wakil Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Dhohir Farisi yang juga menantu Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid menyebut peristiwa kebudayaan itu sebagai percobaan koreografi Nusantara yang dijalani Banser untuk selanjutnya dikembangkan ke daerah lain, termasuk masyarakat internasional, terkait dengan upaya menangkal gerakan radikalisme.
"Yang terjadi sore ini, sulit dijelaskan, melihat Banser dengan corak Nusantara. Kami akan terus meraba secara filosofis. Tetapi harapan kami, kolaborasi ini menjadi bagian juga dari awal melawan kerasnya ideologisasi saat ini, dengan kembali kepada budaya, antropologis berbangsa Indonesia," katanya.
Inspirator utama Komunitas Lima Gunung yang juga penerima Gus Dur Award 2016, Sutanto Mendut, menggarap kolaborasi Nusantara oleh jajaran Banser dengan para seniman petani komunitas tersebut.
"Ini menjadi inisiasi, nantinya ada Banser Saman Aceh, Banser Minang, Banser Leak, Banser Banyuwangi. Warna ini memberi dimensi lain Banser yang tidak sekadar terkesan ketertiban," kata budayawan Sutanto Mendut.
Ia menyebut Banser yang artistik dan kultural menjadi enak "disawang" (dipandang mata hingga merasuk ke hati).
Pada Rabu (10/2) sore hingga menjelang petang itu, kalangan Banser bersama Komunitas Lima Gunung tampil menyuguhkan sejumlah tarian, seperti Soreng, Topeng Ireng, dan Geculan Bocah.
Tatanan wajah, kostum, dan properti mereka, selain tetap berasal dari sejumlah tarian tradisional dan kontemporer desa serta gunung, juga tak melepaskan diri dari performa Banser dengan seragam motif doreng-doreng dan atribut organisasi kepemudaan di bawah bendera Nahdlatul Ulama itu.
Dengan didahului sejumlah orang berselempang kain warna putih yang membawa kemenyan, dan menaburkan bunga mawar warna merah serta putih dari Sanggar Wonoseni, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Sumbing, mereka melakukan kirab budaya dengan berjalan kaki sejauh 200 meter, dari pendopo Padepokan Wargo Budoyo Gejayan menuju halaman rumah warga setempat, yang menjadi tempat pementasan.
Wakil Ketua Umum GP Ansor Dhohir Farisi, Kepala Satkornas Banser Alfa Ismaeni, para pimpinan GP Ansor dan Banser Provinsi Jateng dan Kabupaten Magelang, budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut, dan pimpinan Padepokan Wargo Budoyo Gejayan Riyadi, bersama sejumlah warga setempat, ikut dalam kirab tersebut.
Pada kesempatan itu, hadir pula rohaniwan Katolik dan penggerak budaya masyarakat untuk pengelolaan air hujan berbasis keilmuan dari Pusat Pastoral Sanjaya Muntilan Kabupaten Magelang, Romo Vincentius Kirjito.
Lagu Mars Ansor dan Mars Banser pun mereka kumandangkan bersama-sama secara gegap gempita dari atas panggung model level, sebagai tempat meletakkan berbagai alat musik dan tabuhan pengiring kesenian tradisional dan kontemporer desa serta gunung itu.
Para anggota Banser lainnya yang bersama masyarakat berdiri mengelilingi arena pementasan, berdiri dengan tegap selama dua mars itu berkumandang, seakan mereka sambil menikmati rahmat Allah SWT yang berupa gerimis rintik-rintik dan kabut yang menyaput lembut kawasan Gunung Merbabu sore itu.
"Hari ini Banser yang indah," ujar Tanto Mendut yang juga pengajar Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.
Performa yang indah sebagaimana disebut Tanto Mendut itu, meminggirkan kesan kemiliteran atas Banser.
Penonton seolah-olah dibawa kepada arus pemikiran jauh ke depan yang inspiratif, bahwa semangat kenusantaraan menjadi pijakan penting Banser dalam mengampanyekan antiradikalisme dan berkiprah lebih bermakna dalam kehidupan masyarakat.
Banser menjadi kekuatan Nusantara karena keberadaannya mengakar dalam nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia yang plural.
"Banser menampilkan sisi budayanya, humanismenya. Islam tidak tampil garang, keras, menjelek-jelekkan pihak lain, mengafirkan orang lain. Kita NU, Banser, Ansor menolak itu, kita tampil dengan senyum dan moderat, 'nderek' (mengikuti) kiai dan ulama. Lain kali ada Banser Pasundan, Banser Sumatera. Di situ bentuk jawaban mendukung Islam yang Nusantara," kata Alfa Isnaeni.
Ia mengemukakan radikalisme membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan semangat kenusantaraan dengan Islam yang "rahmatan lil 'alamin" memperkuat keutuhan NKRI.
Gerakan Pemuda Ansor dan Banser, katanya, menerima kebhinnekaan sebagaimana diajarkan oleh Gus Dur.
"Kita harus bersatu padu dengan aneka ragam budaya Nusantara, untuk menjaga NKRI, karena kita orang Indonesia yang beragama Islam," ujarnya.
Dalam keragaman kehidupan budaya Nusantara, kata Dhohir yang suami salah satu putri Gus Dur, Yenny Zannuba Arifah Chafsoh Rahman atau Yenny Wahid itu, Ansor dan Banser tidak kehilangan sikap kritisnya.
Hal itu, katanya, demi mengembangkan peranan positif organisasi kemasyarakatan dan pemuda tersebut dalam membangun kemajuan kehidupan plural masyarakat Indonesia
"Banser mendukung budaya Nusantara dengan tidak menghilangkan sikap kritis, melihat tantangan ke depan, bukan hanya mengikuti di belakang," ucapnya.
Untuk mengembangkan peranan penting, terutama terkait dengan kenusantaraan Banser itu, Dhohir mengungkapkan kesadaran keharusan anggota organisasi tersebut, terus-menerus belajar, sebagaimana kaum nahdliyin lainnya yang mewarisi tradisi berguru kepada para kiai dan ulama.
Di tengah maraknya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang bisa dimanfaatkan sebagai sarana belajar secara dalam jaringan, katanya, berguru melalui pertemuan langsung atau tatap muka antara murid dengan guru, tetap menjadi kebutuhan yang tidak bisa dielakkan.
"Kami tidak mau berguru pada guru FB (Facebook) karena tidak ada tatap muka. Kalau mau berguru memang ada pelajaran secara 'online", tapi berguru dengan tetap bertemu langsung, seperti melukis, menari, tetap tidak bisa ditinggalkan," katanya.
Berguru kepada ulama dan kiai, katanya, tetap harus dilakukan melalui tatap muka secara langsung.
"Karena selalu ada hal-hal yang tidak bisa diajarkan dengan instan. Kami selalu hormati guru, ulama. Kami ikuti para sesepuh, kiai, karena di sana tetap menjadi tempat mencari rida," katanya.