Kabut pada Senin (26/10) malam, membuat tubuh gunung berapi yang meletus hebat lima tahun lalu, berupa erupsi eksplosif, tak terlihat dari Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, yang hanya terletak sekitar tujuh kilometer dari puncak Gunung Merapi.
Letusan pertama 2010 Gunung Merapi terjadi pada 26 Oktober, beberapa saat sebelum magrib, sedangkan erupsi besarnya terjadi pada puncak malam hari bertepatan dengan pergantian tanggal 4 ke 5 November. Rentetan letusan gunung itu, berupa banjir lahar secara bertubi-tubi selama beberapa waktu kemudian, hingga 2011.
Potensi banjir lahar masih terjadi hingga sekarang, karena puluhan juta meter kubik material erupsi 2010 masih menumpuk di puncak Merapi. Kewaspadaan terhadap ancaman bencana banjir lahar masih terus didengungkan berbagai pihak berwenang kepada masyarakat Merapi, terutama saat musim hujan.
Udara dingin malam itu, saat komunitas seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor menjalani rangkaian tradisi perayaan tahun baru, Sura, dalam penanggalan Jawa, yang kemudian dikenal sebagai "Suran Tutup Ngisor", persis lima tahun setelah erupsi besar Merapi 2010, terasa tak begitu menyengat sebagaimana beberapa bulan lalu.
Tradisi "Suran Tutup Ngisor" secara turun-temurun dijalani keluarga besar padepokan yang didirikan pada 1937 oleh sesepuh desa dan pelaku spiritual Romo Yososudarmo (1885-1990). "Suran Tutup Ngisor", satu di antara empat tradisi yang wajib mereka jalani setiap tahun. Sebanyak tiga tradisi wajib lainnya, yakni perayaan hari kemerdekaan RI, Idul Fitri, dan Maulud Nabi Muhammad.
Padepokan tersebut berbasis kesenian wayang orang. Namun anak-anak dan para cucu Romo Yoso sebagai penerus padepokan dengan sentuhan jejaringannya di berbagai kota saat ini, mengembangkan khasanah berolah seni mereka menjadi aneka wujud, seperti tarian, gending, teater, kesastraan Jawa, ritual, seni instalasi, seni rupa, dan performa gerak.
Rangkaian "Suran Tutup Ngisor" selama 25-28 Oktober 2015 sebagai pelaksanaan ke-80 tradisi tersebut, sedangkan puncaknya berupa pentas wayang orang dengan lakon yang dianggap sakral, "Lumbung Tugu Mas" pada Selasa (27/10) malam hingga Rabu (28/10) dini hari. Lakon tersebut berkisah tentang permohonan warga setempat kepada Tuhan untuk kesuburan dan kemakmuran bumi Merapi.
Selagi mulai terdengar lantunan tabuhan gamelan malam itu, bertepatan dengan lima tahun lalu mulai terjadi letusan Gunung Merapi, Sitrasi Anjilin, penerus kepemimpinan padepokan yang juga bungsu dari tujuh anak Romo Yoso, berbincang dengan sejumlah orang di ruang tamu rumahnya di samping panggung prosenium padepokan. Sejumlah orang itu datang dari berbagai desa di sekitar Tutup Ngisor.
Banyak ihwal ringan-ringan mereka perbincangkan sambil menyeruput teh hangat dan menikmati aneka camilan yang disuguhkan di atas meja, seperti tentang perjalanan hidup selagi muda, persoalan tanaman sayuran yang mereka budidayakan dengan perkembangan terkini atas harga panenan, berbagai berita yang mereka dapatkan dari media massa, penambangan pasir Merapi, cerita-cerita tentang letusan Merapi dan banjir lahar hujan, termasuk informasi ramalan cuaca.
Dengan mengacu kepada penanggalan Jawa tahun ini, Sitras yang malam ini mengenakan pakaian adat Jawa dengan bebet, surjan hitam, belangkon, dan keris di pinggangnya, juga mengemukakan kepada tamunya bahwa perkiraan awal musim hujan jatuh pada sekitar pertengahan November mendatang.
"Di almanak dinding tertulis 'Mongso kelimo, pancuran mas sinawur ing jagat' (Masa atau bulan kelima dalam pola hitungan Jawa, di bumi turun hujan, red.)," ujar Sitras yang juga salah satu petinggi seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang itu.
Ia menyebut bahwa tahun ini perhitungan awal musim hujan relatif lebih tepat ketimbang tahun lalu yang awal turun hujan terjadi pada pertengahan September. Setidaknya hal itu sesuai dengan amatannya secara awam dalam menghadapi perubahan musim di kawasan Merapi.
Perbincangan pun kemudian merembet kepada masalah panenan tembakau dan perkiraan harga panenan cabai yang diperkirakan kurang baik di terima kalangan petani, alias merugi, sedangkan tak jauh dari tempat itu para penabuh gamelan terus memainkan nomor-nomor iramanya.
Uyon-Uyon Candi
Mereka menyebut tradisi menabuh gamelan di makam Romo Yoso itu sebagai acara Uyon-Uyon Candi. "Candi" yang mereka maksudkan untuk sebutan makam di atas kolam, di belakang Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor itu. Gamelan Uyon-Uyon Candi mereka tabuh dalam tradisi itu, sehari menjelang puncak Suran Tutup Ngisor.
Oleh keluarga besar padepokan, gamelan slendro dan pelog yang merupakan warisan pendiri padepokan itu, ditabuh di dalam cungkup, di tepi areal pertanian dekat alur Sungai Senowo di dusun setempat yang aliran airnya berhulu di Gunung Merapi. Alur sungai tersebut dengan letak padepokan, seakan mengapit makam Romo Yoso.
Suasana cungkup makam, malam itu terkesan semarak dengan instalasi seni seperti kain warna putih, puluhan dian dalam bungkus gedebok, rangkaian janur berupa kembar mayang, taburan bunga mawar warna merah dan putih di lantai makam, serta sesaji kemenyan di bawah nisan berwarna hitam.
Gamelan Uyon-Uyon Candi yang ditabuh dalam irama perlahan-lahan bagaikan nyanyian senandung itu, boleh jadi membawa imajinasi pendengarnya bahwa iramanya sedang turut bersama kabut di langit setempat membalut tubuh Gunung Merapi yang sedang lelap di peraduannya.
"'Sri dandang sri kenaka, banyu zam-zam sari rasa. Sri dandang sri kenaka, banyu suci tumuruna' (Sri dandang sri kenaka, air zam-zam menjadi inti sari dalam segala rasa, Sri dandang sri kenaka, turunlah air suci, red.)," demikian salah satu penggalan syair berbahasa Jawa dengan judul "Sri Dandang" ciptaan Romo Yoso dalam langgam kinanti yang malam itu mereka lantunkan dengan pesinden Sulastri dan Martijah, sedangkan wirasuara Marmujo dan Hari.
Sitras membolehkan siapa saja yang hendak memaknai syair tembang itu sebagai doa pengharapan agar segera turun hujan, sebagai berkah kepada manusia, agar bumi yang selama berbulan-bulan terakhir kering karena musim kemarau, menjadi basah sehingga petani menjadi berkecukupan air dalam mengolah pertaniannya.
Di tengah tabuhan gamelan Uyon-Uyon Candi, seorang anggota padepokan, Parwito, menaiki tangga makam secara takzim lalu duduk bersila untuk tafakur sejenak. Sejumlah orang lainnya yang juga mengenakan pakaian adat Jawa, duduk bersila di lantai depan pintu cungkup, seakan turut mengalirkan lantunan gamelan itu menjadi ujub-ujub doa. Malam di kawasan Gunung Merapi di tempat itu, seakan menjadi khusyuk dan hening.
Mereka yang memainkan gamelan itu, antara lain Siswo Prawito (kendang), Madarjo (rebab), Sanar (slentem), Antok (gender), Yahya (gambang), Sugiyono (saron), Mojo (saron penerus), Markayun (demung), Bambang (gong), dan Prayitno (kenong).
Para penabuh gamelan Uyon-Uyon Candi hingga menjelang tengah malam itu, antara lain mengalirkan tembang-tembang Jawa lainnya yang disebut Sitras sebagai karya para pujangga pada masa lampau, seperti "Sri Slamet", "Subakastawa", "Sri Kacarios", "Sri Rejeki", "Sri Katon", dan "Puspowarno".
Secara umum, ucapnya, syair tembang "Sri Katon" sebagai ungkapan memohon keselamatan atau tolak balak, "Subakastawa" wujud kerendahan hati manusia sehingga memiliki kebutuhan untuk selalu menghadap dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta menghargai peninggalan leluhur.
Selain itu, tembang "Sri Kacarios" sebagai pengakuan masyarakat bahwa pusat kebudayaan disimbolkan dalam posisi raja dengan kedudukannya di keraton, "Sri Rejeki" sebagai permohonan doa warga agar selalu lancar dalam mencari rejeki untuk kehidupan sehari-hari, sedangkan "Puspowarno" melambangkan keragaman kehidupan dijalani manusia karena berbagai latar belakangnya sehingga mereka harus saling menghormati.
"Intinya kira-kira mengingatkan manusia agar selalu berdoa dan bersabar, untuk mencapai hidup yang tenteram dan beroleh berkah," ujar Sitras.