"Oh ya!," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edy Susanto yang hadir pada kesempatan itu dengan santai, tanpa ribet penyelenggara pergelaran harus mengirim undangan resmi kepadanya.
Kelompok musik eksploratif "Jodhokemil" yang terdiri atas 10 personel, yakni Arif Sigit Prasetyo (pimpinan), Andritopo, Budiyono, David Setiawan, Dhona Shintaningrum, Piyu Kamprettu, Asrul Sani, Handoko Sudro, Rizky Junita, dan Begawan Prabu, menyuguhkan hingga hampir tengah malam, nomor-nomor lagu bersyair inspiratif karyanya, saat pergelaran di Pendopo Rumah Buku Dunia Tera, sekitar 500 meter timur Candi Borobudur.
Di sudut pendopo terdapat satu meja kecil dengan sorot lampu agak remang dari bagian dapur rumah tersebut.
Di atas meja tertata dua wadah kopi dan teh hangat, serta sejumlah piring agak besar-besar berisi macam-macam camilan, seperti pisang goreng, tempe goreng, tahu goreng, ketela goreng, kacang rebus, serta satu topeles berisi makanan tradisional setempat "pothil".
Di sudut meja itu pula, terdapat satu topeles tanpa penutup untuk wadah uang dari pembeli camilan dan minuman hangat tersebut. Tidak ada penjaga meja untuk bertugas melayani siapa saja yang hendak mengambil aneka makanan kecil itu.
Sejumlah orang hilir mudik ke meja camilan swalayan untuk mengambil makanan dan minuman. Mereka masing-masing merogoh uang pecahan dua ribu rupiah dari kantong celananya lalu memasukkan ke dalam topeles tersebut.
Beberapa lainnya mengambil sendiri dari topeles itu pula uang pengembalian dengan menghitung sendiri jumlahnya, lalu "ngeloyor" meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kursinya sambil kedua tangannya, masing-masing membawa secangkir teh atau kopi hangat serta camilan gorengan yang dipilihnya.
"Seperti dulu pernah ada di sekolah-sekolah, Kantin Kejujuran ya," kata Edy yang malam itu dalam pidato singkatnya menyatakan terkesan dengan aura kegembiraan yang dibangun para seniman dalam pergelaran FKN.
Forum tersebut didirikan sejak sekitar setahun lalu oleh sekelompok penyair muda Kabupaten Magelang dengan agenda rutin setiap bulan menggelar pementasan berbagai ragam kesenian, tak hanya soal sastra. Pergelaran rutin itu, mereka sajikan secara mandiri.
Dua di antara puluhan penonton yang terutama kalangan seniman dan penikmat seni budaya di daerah itu, berbincang soal traktir-menraktir makanan.
"Saya juga bawa uang banyak, tapi khusus malam ini, saya pengin kamu traktir. Gimana sih rasanya kamu traktir saya. Khusus malam ini saja," tutur seorang yang seakan ingin eksplorasi rasa dan adrenalin dirinya karena ditraktir seorang seniman yang juga staf rendahan di instansi pemkab setempat.
Lawan bicangnya itu pun, seolah-olah juga merespons permintaan itu untuk mengeksplorasi rasa dirinya.
"Ayo! Malam ini aku cuma bawa uang sedikit, tapi pengin nraktir kamu, sesukamu," ucapnya di tengah lantunan nomor-nomor musik suguhan "Jodokemil", antara lain berjudul "Seni Iku", "Mugo-Mugo", "Cancut Taliwanda", "Ayo Renea", "Patang Ndino Patang Wengi", dan "Lali".
Mereka kemudian berdua berjalan dari tempat duduknya, mendekati meja camilan swalayan itu. Masing-masing mengambil segelas kopi dan teh hangat, satu pisang goreng serta singkong goreng.
Seorang merogoh dompetnya, mengambil dua lembar uang pecahan dua ribu rupiah, lalu memasukkan ke dalam topeles, dengan raut wajah terkesan senang.
Forum Kilometer Nol Borobudur memang akhirnya memutuskan membuka meja swalayan camilan itu tanpa penjaga. Hal tersebut, untuk ikut menebarkan inspirasi nilai-nilai kejujuran melalui kehadiran setiap orang dalam setiap pergelaran.
"Bukankah kejujuran sekarang menjadi barang mahal. Melalui meja camilan swayalan itu, kami ingin membuat kejujuran menjadi lumrahnya manusia, bukan barang langka. Bukan pula sebatas praktik pendidikan untuk anak-anak sekolah," ujar Koordinator FKN Borobudur yang juga pengajar ekstra kurikuler teater di sejumlah sekolah di Magelang dan seniman musik puisi, Munir Syalala.
Total modal setiap membuka meja camilan swayalan dalam FKN antara Rp60.000-Rp70.000, sedangkan omzet berkisar Rp100.000-Rp150.000.
Aneka gorengan dibeli secara langsung oleh pengurus FKN dari pembuatnya di desa sekitar Rumah Buku Dunia Tera Borobudur. Keuntungan dari penjualan aneka gorengan dalam pementasan, dimanfaatkan untuk mendukung biaya pergelaran rutin berikutnya.
Mereka yang membeli gorengan dan minuman hangat itu, ada yang membayar sesuai harga yang tertera di kertas tertempel di dinding dekat meja. Ada pula yang membayar dengan uang lebih dan tidak mengambil pengembalian. Tetapi, ada juga yang tidak membayar sama sekali, alias "ngeloyor" begitu saja sambil mencangking camilan pilihannya.
"Ada yang 'ngeloyor' begitu saja. Tidak apa-apa. Semua bisa menikmati eksplorasi diri dari meja swalayan. Kami pun sebagai penyelenggara juga menikmati eksplorasi ini," imbuhnya.
Peran guru
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan saat berkunjung ke SMP Negeri 1 Kota Magelang beberapa waktu lalu, berbicara panjang lebar dan mendalam tentang pentingnya membangun kepribadian manusia yang jujur sejak usia dini.
Peranan guru sebagai hal penting untuk menebarkan inspirasi kejujuran kepada para muridnya bukan saja sebatas dalam proses belajar mengajar di sekolah, akan tetapi juga dalam perilaku kehidupan sehari-hari.
Demikian halnya dengan kehidupan dalam keluarga yang sesungguhnya juga menjadi kunci penting dalam berbagai upaya orang tua untuk menanamkan kepribadian jujur kepada anak-anak karena sikap dan perilaku orang tua menjadi suri teladan bagi anak-anak mereka.
Ia pun berbicara tentang kegiatan belajar mengajar pada sekitar 10 tahun lalu yang kental diwarnai dengan contek-mencontek oleh para siswa sebagai aksi tidak terpuji, ketidakjujuran dalam ranah praktik di sekolah.
Namun, pada kesempatan itu, dia tidak terdengar berbicara persoalan ijazah palsu yang sedang menjadi perbicangan hangat di negeri ini.
Mungkin saja karena kasus ijazah palsu yang dimaksud, bukan ranah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dipimpinnya saat ini, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Permasalah ijazah palsu ditangani oleh Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi Muhammad Nasir.
"Dimulai dari keteladanan dalam keluarga, lalu dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kita buat jujur itu normal, yang tidak jujur tidak normal, bermasalah," ucap Anies.
Kejujuran memang bukan norma baru dalam kehidupan manusia, baik secara personal maupun komunal.
Di tengah kehidupan yang penuh dengan silang-sengkarut kepentingan dan konflik, ketidakjujuran menjadi seakan berkuasa. Manusia pun hidup dalam ketidaknyamanan, kesedihan, gelisah, dan was-was. Padahal, setiap orang tentu tak ingin hidup dalam lembah kelam itu.
Untuk membangun kebahagiaan manusia, kejujuran harus berangkat dari "kilometer nol". Kejujuran seakan-akan menjadi norma baru, sehingga Sang Menteri pun menyerukan, "Sebarkan semangat kejujuran!".