Sebanyak tujuh pelukis dari Komunitas Tepi Barat dengan sebagian besar berasal dari Yogyakarta dan satu lainnya dari Magelang itu berlangsung di Galeri Pondok Tingal, sekitar 500 meter timur Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Mereka yang menyuguhkan 27 karya lukis dalam pameran bersama bertajuk "Katresnan" (kecintaan atau kasih sayang) itu, adalah Ashari, Budi Arthe, Ekshan Cleot, Joko Atmaja, Nanang Nurcahyo, Nurfu Ad, dan Taufik Oblonk. Pameran dibuka oleh pengelola Hotel Plataran Borobudur Nigel dengan kurator pameran seorang penulis seni rupa dari Yogyakarta Heri Kris.
Berbagai karya mereka seolah ingin menggelar makna cinta kasih yang memang bersifat universal, bukan sekadar persoalan hubungan lelaki dengan perempuan, apalagi sekadar menyangkut hal ihwal hubungan seksualitas di antara dua kaum berjenis kelamin berbeda, yang sesungguhnya bisa dipahami sebagai relasi suci.
"Tema 'Katresnan' diangkat untuk memberikan tempat yang selayaknya terhadap nilai-nilai cinta kasih yang memang universal melekat dalam kehidupan semua makhluk, lebih-lebih manusia," kata Ketua Panitia Pameran "Katresnan" Galeri Pondok Tingal Borobudur Hatmojo.
Ia mengatakan pameran dengan pembukaan pada 14 Februari itu juga menjadi inspirasi para perupa dalam memutuskan tema agenda mereka, "Katresnan".
Mereka, ujar Hatmojo yang juga pelukis dan pegiat Gabungan Seniman Borobudur (Gasebo) itu, ingin mengatakan bahwa "katresnan" sebagai ihwal lumrah dalam kehidupan manusia.
"Dan tidak disalahpahami, disalahtingkahi menjadi perilaku menyimpang dari norma-norma sosial dan agama apapun. Bahwa setiap manusia memiliki semangat hidup kasih sayang," katanya.
Ikhwal itu, muncul dalam karya yang dipamerkan dengan beragam corak, seperti abstrak, dekoratif, grafis, dan realis.
Salah satu karya yang dipamerkan, terkait dengan soal kesucian hubungan seksualitas yang sakral itupun terlihat hadir dalam lukisan berupa lingga yoni di dalam mangkuk warna putih bergambar seekor ayam jago dan tanaman bunga dengan judul "Mitologi Lingga Yoni".
Dalam ajaran Hindu, lingga dan yoni seperti yang ditemukan dalam berbagai situs cagar budaya di berbagai tempat, dikenal sebagai simbol tentang relasi antara lelaki dan perempuan yang tidak lepas dari nilai kesucian menyangkut hubungan cinta kasih.
Heri Kris yang juga perupa dan alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu, menyebut karya "Mitologi Lingga Yoni" menggambarkan hubungan perkawinan.
"Dalam agama Hindu, hubungan seksual dalam perkawainan adalah sebuah darma bagi manusia," ucapnya.
Sedangkan satu karya Taufik lainnya berjudul "Rumah Kenikmatan" yang berupa lukisan bangunan rumah berasap, disebutnya sebagai sang penulis sedang menyampaikan kritik atas penyimpangan perilaku "katresnan".
Karya tersebut memberikan pesan moral yang kuat melalui simbol rumah di dalam mangkuk bergambar nyaris serupa dengan mangkuk dalam lukisan berjudul "Mitologi Lingga Yoni".
"Perilaku menyimpang telah banyak dilakukan remaja sekarang, di mana mereka melakukan seks bebas di manapun. Tren dogma yang salah telah menghantui kehidupan mereka. Dekadensi moral seperti ini cukup memprihatinkan kita semua," katanya.
Karya grafis oleh pelukis Joko Atmaja dengan komposisi warna-warni pop yang cukup tajam dan apik, berupa lukisan Tugu Yogyakarta dengan enam orang mengenakan pakaian adat Jawa gaya "Ngayogyakarto" (Daerah Istimewa Yogyakarta) juga menunjukkan "katresnan" yang harus terus dilestarikan atas kecintaan terhadap suatu daerah melalui simbol-simbol kebudayaanya.
Satu karya lainnya dari pelukis kelahiran Sleman pada 1980 yang juga alumni Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta pada 1999 itu dengan judul "Katresnan", oleh Heri Kris dipandang sebagai mengangkat budaya lokal.
Karya itu dipajang persis di pintu masuk Galeri Pondok Tingal sehingga publik yang menyaksikan akan terkesan langsung dibawa kepada tema besar pameran bersama kelompok pelukis dari Komunitas Tepi Barat tersebut, "Katresnan".
Lukisan "Katresnan" karya Joko itu menggambarkan lelaki dan perempuan mengenakan pakaian adat Jawa berupa surjan (laki-laki) dan kebaya (perempuan). Laki-laki dan perempuan sebagaimana sepasang suami isteri sedang berpelukan dengan sikap santun yang secara jelas, pelukisnya tidak hendak menunjukkan dorongan ke arah kesan pornografi.
Sebagai latar belakang karya itu, berupa lukisan dua sosok manusia yang masing-masing mengenakan sayap, seakan serupa dengan malaikat sedang terbang yang disebut Heri Kris sebagai simbol keikutsertaan mereka dalam menjaga sepasang manusia yang sedang kasmaran, supaya tetap terjaga semangat "katresnan" yang sakral tersebut.
"Karya Joko mengangkat budaya lokal sebagai salah satu kekuatan identitas," ujarnya.
Memasuki bagian tengah galeri, penonton antara lain mendapat suguhan sejumlah karya pelukis kelahiran Wonosobo pada 1967, Budi Arthe. Karya lukisannya dalam ukuran relatif besar, umumnya berupa kisah pewayangan. Dengan menyimak lukisan tentang cerita wayang tersebut, penonton seakan dibawa untuk tidak lepas dari tema "katresnan" selama berada di tempat pameran.
Kisah pewayangan dalam lukisan 145X200 centimeter berjudul "Karno Tanding" itu memberi pesan tentang pentingnya kecintaan terhadap Tanah Air. Peperangan antara Karno dan Arjuno dalam kisah pewayangan Bharatayuda dikenal sebagai masing-masing membawa misi membela negerinya.
Pelukis Nurfu Ad berasal dari kawasan Candi Borobudur yang juga warisan budaya dunia di Kabupaten Magelang, Jateng, dengan salah satu di antara tujuh karya yang dipajang dalam pameran itu, berjudul "Penerangan Insan". Ia seolah-olah hendak menunjukkan spiritualitas ajaran Buddha tentang cinta kasih.
Salah satu karyanya itu, berupa sikap "Abhayamudra Buddha", berupa posisi tangan Sang Buddha dalam pemahaman sedang menolak bahaya. Sikap mudra itu terlihat jelas dalam wujud patung-patung Buddha di Candi Borobudur yang menghadap ke utara. Pelukis dapat dipastikan mendapatkan inspirasi dari patung Buddha di candi tersebut.
Sikap meditasi Sang Buddha itu, dilukiskan secara kontemporer oleh senimannya sebagai berada dalam sebungkus daun jati. Bagian lainnya dari kanvasnya berupa sejumlah dedaunan jati membungkus lilin-lilin yang menyala. Lukisan lilin menyala sebagai kekuatan penanda simbol penerangan jiwa. Heri Kris menyebut karya Nurfuad tersebut sebagai membawa kepada suasana surealis.
"Sikap mudra itu, menolak bahaya, menolak kejahatan, menolak keburukan, kejelekan, dan hal-hal negatif lainnya. Landasan hakikatnya adalah 'katresnan', cinta kasih kepada manusia, alam semesta, dan segala makhluk, supaya kehidupan terbangun dan berkembang secara harmonis," ujar Nurfu Ad.
Melalui karya itu, Heri menilai bahwa seniman hendak menegaskan tentang spiritualitas Candi Borobudur yang menebarkan ajaran universal tentang budi pekerti luhur dan kasih sayang antarsesama manusia dan kepada semua makhluk.
Menikmati puluhan lukisan dalam pameran bersama mereka, memang penonton sepertinya hendak dibawa kepada penegasan pemahaman bahwa "katresnan" atau semangat kasih sayang berada pada posisi netral dan bermakna universal, melekat dalam jati diri dan nurani setiap manusia.
"Yang tidak lumrah itu karena keributan menginterpretasi arti 'katresnan', menjadi pro dan kontra, dan bahkan kemudian menjadi perilaku penyimpang dari norma. Kalau 'katresnan' sendiri itu menurut kami netral dan bahkan lumrahnya ada dalam jiwa setiap insan," kata Hatmojo.