Lokasi tepat di alun-alun itu, adalah yang pada masa lalu menjadi tempat "long besi" ditancapkan permanen untuk menyulut petasan raksasa setiap hari, menjelang buka puasa Ramadhan dalam tradisi umat Islam di Masjid Agung Kauman Kota Magelang.
Dentuman keras petasan yang terdengar sebagai "Dung" terlontar dari "long besi", menembus hingga sekitar 10 kilometer dari Alun-Alun Kota Magelang, selama bertahun-tahun menjadi penanda waktu berbuka puasa.
Berdasarkan pertimbangan pemerintah kota setempat atas risikonya, sejak 1985 tradisi "Dung" tak lagi dilakukan. Namun, memori warga setempat, terutama kalangan orang tua, masih kuat atas tradisi tersebut. Mereka hingga saat ini masih menyebut "Dung" ketika saat berbuka puasa tiba.
Di tempat bekas "long besi" itu, Narwan yang mengenakan tutup kepala "iket" dan pakaian motif lurik, membaca puisi berisi kritik atas eksploitasi kekayaan alam Nusantara oleh pemilik nafsu kapitalisme. Puisinya dengan judul cukup panjang, "Apakah Kau Melihat Negeriku ini Sepotong Roti?".
"Nyanyian mengalun. 'Hutan gunung sawah lautan, simpanan kekayaan'. Makin menikam perasaan. Kau paraukan agar kami tak lagi peduli. Bahwa kami memiliki ibu nan kaya raya. Wahai Hayam Wuruk nan agung. Duhai Sultan Agung nan perkasa. Akankan paduka hidup kembali? Menikam buaya-buaya raksasa. Perampok hutan, tambang mineral, dan isi lautan," begitu dua di antara tujuh bait puisi yang dibacakannya dengan lantang.
Karya puisinya menjadi buah refleksi penting Narwan saat bertekun dalam ibadah puasa Ramadhan 1436 Hijriah. Ia seakan mendapat momentum tepat membaca karya itu karena "Gelar Sastra Jelang Buka Puasa" di Alun-Alun Kota Magelang. Kegiatan yang tahun kelima tersebut, diselenggarakan oleh lembaga budaya, "Nittramaya", pimpinan Bambang Eka Prasetya.
Penyelenggara mencatat 78 orang, baik kalangan penyair maupun masyarakat pecinta sastra, terlibat dalam pembacaan puisi pada Minggu (5/7) sore, menjelang buka puasa di alun-alun, di depan Masjid Agung Kauman Kota Magelang.
Mereka bukan hanya datang dari tempat-tempat di Kota Magelang, tetapi juga daerah sekitar. Bahkan, beberapa lainnya adalah para penyair dari sejumlah daerah di Indonesia yang selama ini menjalin jejaring dengan Nittramaya.
"Menjadi ajang silaturahim para penyair dari berbagai daerah. Kami ambil momentum menjelang buka puasa," kata Bambang Eka yang juga penyair Magelang itu.
Ia bahkan menyatakan menerima kiriman puisi dari sahabatnya yang juga pemimpin Pondok Pesantren Darul Ulum, Karang Pandan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Haidar Hafez, berjudul "Gurihnya Beduk Magrib".
"Ramadan menempuhmu terbebas sengsara. Ramadan bahagia setahun kan digapai. Ramadan bagaimanapun beduk magribmu gurih. Ramadan farhatun, farhatun. Ramadan bahagia saat berbuka. Ramadan bahagia menemui-Nya," begitu bunyi bait terakhir puisi tersebut.
Eka mengatakan pembacaan puisi-puisi tersebut, juga untuk menyemarakkan suasana menunggu berbuka puasa oleh umat Islam di Kota Magelang dan sekitarnya, yang pada masa lalu ditandai dengan tradisi "Dung".
Ribuan masyarakat datang ke Alun-Alun Kota Magelang untuk menunggu saat buka puasa, ratusan orang membuka gerai-gerai yang menjual berbagai menu berbuka. Lainnya menjual layang-layang dan berbagai permainan anak. Juga ada sejumlah kelompok pemuda mengamen di tempat itu. Alun-alun setempat menjadi pusat keramaian orang setiap hari selama Ramadhan.
Tak jauh dari tempat Narwan membaca puisi, seorang pegiat Paguyuban Umat Beriman Magelang (PUBM) Kiai Haji Ahmad Dahlan ditemani pegiat lainnya dari kelompok itu, D. Martama, menyampaikan syair refleksi yang isinya bernada pembaruan janji perdamaian umat manusia. Nampaknya ia terinspirasi oleh lagu karya sahabatnya itu, yang berjudul "Ayo Rukun".
"Ayo bersatu. Mungkin itu dirasa sudah usang. Tapi imbauan itu penting adanya. Kalau kita masih ingin negara ini ada. Ayo rukun, ayo rukun. Ayo rukun bersatu. Tetapi yang berteriak itu, hanyalah orang-orang pinggiran. Tidak sebagai penentu kebijaksanaan. Karena mereka yang berkuasa, lupa tujuan didirikan negara ini," katanya tatkala bersyair dengan latar belakang kemegahan Masjid Agung Kauman.
Tentang penggalan memori sejarah Kota Magelang (saat ini berumur 1109 tahun) disampaikan penyair dari Kota Semarang, Widiartono, yang hadir bersama keluarganya dalam "Gelar Sastra Jelang Buka Puasa" di alun-alun setempat sore itu.
Melalui karya puisinya, ia bagaikan hendak bercerita tentang Kota Magelang yang menjadi tempat penting dalam sejarah perjuangan bangsa melawan penjajahan melalui Perang Jawa (1825-1830) dipimpin Pangeran Diponegoro.
"Dari pekarangan rumah tua itu, kepyur angin menggoyang dedaun beringin, ada kijang merumput yang sejenak bagai terlongong, memandang hitam. Di pelataran luas gedung tua ini, sejarah mencatat waktu yang terus berganti. Kursi dengan luka gores jemari dan jubah yang menggantung sendu, adalah lintasan sejarah dan waktu. Pahlawan sang pemberani, di gedung tua ini dikhianati, ditangkap, dan dibuang ke Sulawesi. Dan kursi di dalam ruang ini, serta jubah yang kian kelabu, adalah saksi bisu. Kota ini punya nilai sejarah tinggi," begitu bagian dari puisinya.
Tentang Kota Magelang yang telah melahirkan orang-orang dalam jagat seni dan budaya, juga disebutkan dalam penggalan lain puisi yang dibacanya di dekat bekas "long besi" dalam masa lalu tradisi "Dung".
"Orang-orang besar datang dari sini. Suzana, Krisbiantoro, Maria Hardi, Andreas Effendi, dan Hesti, Bambang Eka Prasetya, E.S. Wibowo, Ki Mbilung Sarawita. Mereka meramaikan jagat seni negeri ini. Aku bangga pernah numpang lewat, walau buat kota dan negeri ini, aku belum banyak berkontribusi. Semoga masih ada waktu buat mengisi," demikian bait akhir puisi Widiartono yang disimpan di gawainya.
Lain lagi dengan Ustadz Muhammad Ihzan yang juga penikmat puisi. Di bawah "Water Torn" (Menara air setinggi 21,2 meter dibangun pada 1916), ikon Kota Magelang di pojok alun-alun setempat, ia membacakan puisi yang dibuat bersama sahabatnya bernama Zainuddin.
Puisi berjudul "Perjalanan Hidup yang Singkat" tersebut, isinya tentang pentingnya manusia menyadari akan kehidupan di alam fana yang riuh dengan berbagai tantangan, namun ternyata hanya berkala sesaat, karena selanjutnya manusia harus menjalani kehidupan di alam baka hingga kiamat.
Ia menyebut dalam salah satu bait karya itu bahwa hari kiamat sebagai saat penantian panjang di "padang masyar", di mana Allah menggelar pengadilan, meminta pertanggungjawaban manusia.
"Apa yang telah engkau siapkan untuk itu? Jika atap kubur memeluk jasadmu yang lemah. Jika malaikat mencecarmu dengan tanya. Jika engkau sendiri dikelam barzakh tanpa siapa. Apa yang telah kau lakukan. Taubat tak lagi berguna. Sujud tak lagi berdaya. Istiqfar tak lagi bisa terlantun. Bergegaslah bersimpuh. Menangislah dalam pertaubatanmu. Karena tidak lagi ada waktu yang cukup. Mungkin esok perjalananmu berakhir di sini. Di dunia yang rapuh ini," demikian baris demi baris di akhir puisi yang merefleksikan perjalanan hidup manusia.
Terkait dengan hajatan sepanjang 2015 diselenggarakan Pemerintah Kota Magelang dalam tema besar "Ayo ke Magelang", Widiartono yang juga Komite Hubungan Masyarakat Dewan Kesenian Jawa Tengah, menyebut "Gelar Sastra Jelang Buka Puasa" sebagai "pariwisastra" yang maksudnya kegiatankepariwisataan dalam kemasan sastra.
Pihak instansi terkait dengan kepariwisataan dan kebudayaan, katanya, mestinya hadir dan bahkan bisa terlibat secara aktif dalam kegiatan semacam itu. Tampak hadir terlambat pada kesempatan tersebut, Ketua Dewan Kesenian Kota Magelang Susilo Anggoro.
"Kegiatan sastra bisa mendatangkan banyak orang dan menghidupkan kota. Saya salut dengan gagasan untuk menggiatkan sastra seperti ini. Ini pariwisastra," katanya.
"Gelar Sastra Jelang Buka Puasa" seakan-akan menjadi bagian dari upaya kebudayaan, menitiskan tradisi "Dung" lagi di Kota Magelang.