Cilacap (ANTARA) - Hamparan lahan sawah yang mengering akibat musim kemarau itu masih banyak terlihat di Desa Kalijaran, meskipun sebagian area persawahan di sejumlah desa yang masuk wilayah Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, telah terairi oleh saluran irigasi.
Saluran irigasi yang berada di Daerah Irigasi (DI) Serayu sudah dibuka sejak pertengahan September atau lebih awal dari yang dijadwalkan sebelumnya, yakni 1 Oktober 2023.
Akan tetapi, aliran irigasi tersebut hingga saat ini belum menjangkau seluruh area persawahan di DI Serayu, karena baru dapat mengairi wilayah hulu maupun lahan sawah yang dekat dengan saluran irigasi.
Dengan demikian, area persawahan yang sudah terairi dari saluran irigasi itu pun telah ditanami padi dengan usia tanam berkisar 20-30 hari setelah tanam.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Cilacap, area persawahan di DI Serayu yang telah ditanami padi hingga akhir Oktober diperkirakan mencapai 2.000 hektare, terutama di wilayah Kecamatan Maos dan Sampang, yang berada di wilayah timur Cilacap.
Sementara untuk area persawahan lainnya masih menunggu terairi oleh irigasi ataupun menunggu datangnya musim hujan yang diprakirakan oleh BMKG akan berlangsung mulai November.
Sebagian besar area persawahan di Desa Kalijaran, terutama yang berada di sisi selatan jalur rel kereta api Surabaya-Bandung, hingga saat ini masih dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya karena tidak terjangkau oleh irigasi teknis.
Kendati demikian, di antara hamparan sawah yang mengering itu terdapat beberapa petak lahan yang terlihat hijau oleh tanaman sayuran, seperti kangkung, kedelai, dan cabai. Bahkan, beberapa petak kolam ikan pun dapat ditemui di antara hamparan sawah yang mengering itu.
Pemandangan seperti itu terlihat pada lahan sawah milik beberapa petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) "Mergo Sugih" Desa Kalijaran yang memanfaatkan teknologi "solar home system" (SHS) berupa pompa air tanah berenergi listrik dari tenaga surya.
Meskipun air tanah yang disedot dari kedalaman 20-30 meter dan ditampung dalam tandon air itu tidak bisa dimanfaatkan untuk mengairi lahan sawah, paling tidak teknologi SHS tersebut dapat membantu petani untuk tetap berproduksi saat musim kemarau, yakni dengan menanam sayuran maupun budi daya ikan.
Ketua Gapoktan "Mergo Sugih" Priyatno kepada ANTARA mengaku bersyukur dengan adanya pompa air tanah berteknologi SHS yang merupakan program tanggung jawab sosial lingkungan (TJSL) dari PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU IV Cilacap yang sudah beroperasi lebih dari 1,5 tahun.
Sebelum adanya teknologi SHS, yang merupakan inovasi Tim Politeknik Negeri Cilacap (PNC), hamparan sawah nonirigasi teknis di Desa Kalijaran itu dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya ketika musim kemarau.
Program ini banyak mendapat sambutan positif karena petani yang sawahnya dekat dengan titik SHS tetap bisa berkarya dengan menanam sayuran pada musim kemarau, seperti saat ini yang benar-benar kering.
Saat teknologi SHS tersebut mulai berjalan, banyak petani yang menyangsikan keberhasilannya karena waktu itu, pompa air bertenaga surya tersebut hanya dipasang di satu titik, yakni di lahan milik Priyatno, sebagai percontohan.
Dalam perkembangannya, banyak petani yang tertarik untuk mendapatkan bantuan program SHS tersebut. Hingga saat ini, teknologi SHS telah telah terpasang di enam titik, meskipun salah satu unit di antaranya belum dioperasikan.
Bahkan, panel surya untuk teknologi SHS yang terpasang di salah satu titik, mampu menghasilkan energi listrik hingga 5.000 volt ampere (VA), sehingga ke depan diproyeksikan bisa dimanfaatkan untuk empat hingga lima sumur, karena saat ini baru digunakan untuk dua sumur.
Selain untuk bercocok tanam sayuran, kelebihan air dari teknologi SHS juga dimanfaatkan untuk budi daya ikan lele dengan membuat kolam di lahan sawah. Rencananya akan dikembangkan untuk mina padi, terutama ketika telah memasuki musim hujan.
Tanggul-tanggul di sekitaran sawah juga akan menggunakan bioflok agar airnya bisa masuk ke kolam, sehingga semuanya bisa dimanfaatkan.
Tidak hanya mina padi, Gapoktan "Mergo Sugih" juga berencana mengembangkan wisata edukasi teknologi pertanian di lahan persawahan yang telah dilengkapi dengan teknologi SHS serta membudidayakan padi organik.
Dengan demikian, masyarakat, termasuk petani, bisa mempelajari teknologi pertanian dan budi daya padi organik maupun ikan.
Apalagi Pertamina yang merupakan perusahaan di bawah BUMN itu telah melengkapi lahan persawahan dengan saung yang bisa dimanfaatkan untuk temu petani.
PT Kilang Pertamina Internasional RU IV Cilacap menyatakan teknologi SHS yang diterapkan untuk petani di Desa Kalijaran, ke depan tidak hanya memanfaatkan energi surya, tapi juga energi angin.
Secara kebetulan, salah seorang putra daerah Kalijaran merupakan seorang pensiunan PT Dirgantara Indonesia (Persero) dan memiliki keahlian dalam membuat baling-baling yang nantinya akan digunakan untuk melengkapi teknologi SHS.
Sosok yang dimaksud, tidak lain adalah Siswaji, yang merupakan kakak dari Priyatno.
Saat ditemui ANTARA, Siswaji mengaku teknologi SHS yang dikembangkan Pertamina bersama PNC itu sangat bermanfaat karena dia sebagai salah seorang penerima manfaat program tersebut tetap bisa bercocok tanam saat musim kemarau.
Bahkan, teknologi tersebut tetap bermanfaat ketika musim hujan karena petani bisa menyiram tanamannya ketika kondisi cuaca sedang tidak hujan.
Sebelum adanya teknologi SHS tersebut, petani menggunakan pompa berbahan bakar minyak untuk menyedot air dari sungai. Hanya saja, menyedot air dari sungai membutuhkan banyak biaya untuk membeli BBM maupun sewa mesin pompa, dan kadang airnya terasa payau.
Terkait dengan baling-baling berbahan baku pipa paralon yang sedang dibuat Siswaji, alat itu hanya sekadar membantu mahasiswa PNC yang berencana mengombinasikan tenaga surya dan angin sebagai energi yang digunakan pada perangkat SHS tersebut.
Kolaborasi antara Pertamina, PNC, dan petani di Desa Kalijaran, merupakan praktik baik dalam pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan untuk pengembangan pertanian dan ke depan dapat diproyeksikan dapat menjadi wisata edukasi teknologi pertanian.
Jika penggunaan teknologi SHS tersebut dapat diterapkan di berbagai daerah yang memiliki sawah tadah hujan atau nonirigasi teknis, niscaya tidak akan ada sawah yang menganggur ketika musim kemarau, karena petani bisa memanfaatkan lahannya untuk menanam sayuran, sehingga tetap ada penghasilan ketika sedang musim kering.