Pengukuhan Guru Besar dipimpin Rektor UIN Walisongo Prof.Dr. Imam Taufiq,M.Ag. dan dihadiri oleh keluarga, kolega, guru besar dari sejumlah universitas dan tokoh agama seperti K.H. Ali Muhlis, K.H. Ahmad Daroji, K.H. Ubaidillah Shodaqoh, PWNU Jawa Tengah, Baznaz Indonesia, Ketua Kalam UIN Walisongo Lukman Hakim, dan beberapa Masayikh juga kyai.
Dalam Orasi ilmiahnya Prof Imam Yahya menyampaikan Fiqh Digital: Implementasi Digitalisasi Agama dalam Fiqh Kontemporer. Ia membahas tentang digitalisasi agama yang bukan hanya fenomena transformasi sosial budaya tapi juga sebagai tantangan transformasi bidang keagamaan.
“Digitalisasi agama juga dapat memberikan banyak manfaat, seperti memudahkan akses informasi keagamaan, memfasilitasi komunikasi, dan interaksi antara umat Islam dari berbagai negara dan budaya, serta membantu mempercepat penyebaran dakwah dan pengajaran agama. Komunikasi antar-masyarakat yang semula bersifat komunal, sekarang ini berubah menjadi pola komunikasi online, di mana antar-individu bisa menjalin komunikasi intensif tanpa melakukan pertemuan langsung," katanya.
Baca juga: UIN Walisongo kukuhkan Imam Yahya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Fikih
Ia mengatakan digitalisasi menimbulkan konflik karena hoax, namun transformasi di bidang keagamaan menjadikan aktifitas keagamaan lebih efisien dan efektif. Berbagai kajian keagamaan dan ritual keagamaan sekarang ini marak berlangsung secara online di tengah masyarakat muslim.
Kajian agama virtual, doa bersama virtual, tahlil virtual, bahkan Sholat Jumat virtual, lanjutnya, menjadi alternatif dalam melakukan berbagai kegiatan keagamaan selama masa pandemi. Munculnya banyak tokoh-tokoh ulama, kyai, atau ustadz virtual, menambah marak kegiatan keagamaan di ranah virtual.
"Di tengah maraknya penggunaan digitalisasi agama, ada penolakan dari kaum muslim terhadap digitalisasi agama yang disinyalir akan mengubah eksistensi agama dan tokoh-tokoh agama," katanya.
Ia menegaskan peran para ulama dan cendekiawan muslim yang memahami teknologi digital dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama Islam dapat membantu umat Islam dalam memahami penggunaan digitalisasi agama secara benar dan sesuai dengan ajaran Islam.
Baca juga: Dies Natalis Ke-53, UIN Walisongo kukuhkan tiga guru besar
Digitalisasi, lanjutnya, telah mengubah transfigurasi teknologi media dan komunikasi. Digitalisasi dakwah, menjadikan akses pengetahuan keagamaan dengan mudah didapatkan dan dilakukan dengan media sosial. Aplikasi Al Qur'an yang memudahkan pengaksesan kitab suci, namun hal ini berdampak pada kesakralan kitab suci yang telah bercampur dengan hal-hal profan, di mana, terdapat pesan percakapan di dalam smarthphone yang cenderung vulgar.
Di sisi lain, device seperti smartphone telah menghadirkan kultur baru bagi prilaku beragama yang tidak lagi privasi antara tuhan dengan manusia. Semua hal di era digital yang mulanya bersifat privat berubah menjadi tabu ketika didisplay ke publik, dalam artian semua orang dapat mengakses dan menikmati dinamika kehidupan individu.
Kontroversi terhadap digitalisasi agama akan membawa tiga ancaman yang serius terhadap eksistensi agama. Pertama, agama akan kehilangan otentisitasnya manakala sumber sumber ajaran Islam dimediakan dalam bentuk digital.
Kedua, ulama atau kyai klasik yang mengajarkan agama secara manual, akan tertinggalkan oleh hingar bingar ustadz ustadz milenial, karena kaum muslim lebih mengenal tokoh agama yang berbasis media digital. Ketiga, melalui digitalisasi agama, nilai-nilai sakralitas agama akan tergantikan dengan realitas media.Tokoh-tokoh agama seperti ustadz, kyai, dan ulama dalam menerima digitalisasi agama sebagai sebuah solusi problem keagamaan di era pandemi.
Baca juga: 19.418 peserta mendaftar UIN Walisongo lewat jalur SPAN PTKIN
Penolakan yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat terjadi akibat digitalisasi agama khususnya pada digitalisasi aspek ibadah mahdoh, seperti Sholat Jumat virtual yang dijadikan solusi menghadapi era pandemi.
Beberapa lembaga keagamaan mainstream yang mewakili umat Islam Indonesia, Sholat Jumat virtual tidak diperbolehkan secara syar’i. Di samping itu, digitalisasi agama juga akan berimplikasi terhadap eksistensi ritual keagamaan, seperti gagasan haji metaverse sebagai ganti ibadah haji. Dengan demikian, digitalisasi agama justru akan membuat resistensi sosial di tengah umat Islam terhadap perkembangan digitalisasi agama.
Rektor UIN Walisongo Prof.Dr. Imam Taufiq,M.Ag. dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa Profesor Imam Yahya merupakan sosok yang penuh cinta kasih, membahana rasa senyum, sikapnya menyenangkan.
Kontribusinya di UIN Walisongo luar biasa di antaranya, sebagai dekan dengan masa jabatan dan pengalaman paling banyak. Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Walisongo Semarang tahun 2010-2013, Dekan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Walisongo Semarang Tahun 2014-2015, Dekan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo Semarang 2015-2019 dan Direktur RMB UIN Walisongo sampai sekarang," kata Rektor UIN Walisongo Prof.Dr.Imam Taufiq,M.Ag.
“Kita meneguhkan bibit keunggulan, cendekiawan yang ulung, dan memberikan gagasan yang jernih. Ketika semua online dan digital termasuk dalam putusan agama. Sholat online, akad nikah online dan haji metaverse. Beliau memberikan gambaran, religion online itu dilakukan karena bagian dari respon kita di dunia digital. UIN Walisongo ingin memberikan khidmah yg terbaik di tengah dies natalis," tutupnya.
Baca juga: Dies Natalis Ke 53, Fakultas Dakwah dan Komunikasi adakan stadium general