Unicef: Pandemi dapat perberat masalah kesehatan jiwa anak
Jakarta (ANTARA) - Spesialis perlindungan anak Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) Ali Aulia Ramly mengatakan pandemi COVID-19 dapat memperberat masalah kesehatan jiwa pada anak yang telah ada sebelumnya.
"Pandemi berkontribusi terhadap peningkatan gangguan stres baru bagi banyak orang," kata Ali dalam bincang media yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak secara daring yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Ali mengatakan meskipun sebagian besar akan menunjukkan ketahanan di tengah pandemi, anak dan remaja cenderung mengalami depresi dan kemungkinan kecemasan selama dan setelah isolasi sosial berakhir.
Menurut Ali, kecemasan, kehilangan harapan, atau kelelahan psikis pada anak dapat muncul sebagai akibat dari dampak pandemi COVID-19 dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, keterpisahan, tekanan ekonomi, keterbatasan kegiatan, dan lain-lain.
Padahal, data menunjukkan sebelum pandemi COVID-19 terjadi, sebagian anak-anak Indonesia sudah mengalami beberapa permasalahan kesehatan mental.
"Menurut Survei Nasional Kesehatan Berbasis Sekolah di Indonesia 2015, sebanyak 6,16 persen siswa hampir atau selalu merasa kesepian, sebanyak 4,57 siswa hampir setiap saat atau selalu mengkhawatirkan sesuatu sehingga tidak bisa tidur malam, dan sebanyak 5,4 persen siswa memikirkan ingin bunuh diri," tuturnya.
Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar 2018 menemukan tujuh persen rumah tangga memiliki anggota rumah tangga dengan gangguan jiwa skizofrenia atau psikosis dan 6,1 persen prevalensi depresi terjadi pada penduduk usia di bawah atau sama dengan 15 tahun.
Ali mengatakan beberapa gejala gangguan kesehatan jiwa antara lain selalu merasa cemas atau takut yang berlebihan sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari; mengalami sakit kepala, sakit perut, sulit bernafas, atau gejala fisik lain tanpa alasan yang jelas; gangguan tidur; mudah merasa sedih, marah, atau khawatir; tidak bersemangat, atau malah terlalu aktifl; dan merasa pesimis.
Untuk menjaga kesehatan mental di tengah pandemi COVID-19, Ali menyarankan beberapa tips, antara lain sadari bahwa measa khawatir adalah suatu hal yang normal dan buat rutinitas untuk mempertahankan perasaan normal.
"Cari pengalihan yang positif dan tetap berkomunikasi dengan teman-teman. Fokus pada diri sendiri dan selami perasaan. Berbaik hatilah pada diri sendiri dan orang lain, serta jaga kesehatan fisik dengan makan makanan yang sehat dan berolahraga," katanya.
Bila ingin tahu tentang pandemi COVID-19 atau tentang situasi terkini, cari informasi dari sumber yang terpercaya. Lebih baik batasi penggunaan media bila terlalu banyak memberikan informasi yang negatif.
Baca juga: Kapolres Kudus prihatin orang tua yang aniaya terhadap anak tirinya
Baca juga: Komnas PA Temanggung mediasi kasus kekerasan anak
"Pandemi berkontribusi terhadap peningkatan gangguan stres baru bagi banyak orang," kata Ali dalam bincang media yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak secara daring yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Ali mengatakan meskipun sebagian besar akan menunjukkan ketahanan di tengah pandemi, anak dan remaja cenderung mengalami depresi dan kemungkinan kecemasan selama dan setelah isolasi sosial berakhir.
Menurut Ali, kecemasan, kehilangan harapan, atau kelelahan psikis pada anak dapat muncul sebagai akibat dari dampak pandemi COVID-19 dan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap anak, keterpisahan, tekanan ekonomi, keterbatasan kegiatan, dan lain-lain.
Padahal, data menunjukkan sebelum pandemi COVID-19 terjadi, sebagian anak-anak Indonesia sudah mengalami beberapa permasalahan kesehatan mental.
"Menurut Survei Nasional Kesehatan Berbasis Sekolah di Indonesia 2015, sebanyak 6,16 persen siswa hampir atau selalu merasa kesepian, sebanyak 4,57 siswa hampir setiap saat atau selalu mengkhawatirkan sesuatu sehingga tidak bisa tidur malam, dan sebanyak 5,4 persen siswa memikirkan ingin bunuh diri," tuturnya.
Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar 2018 menemukan tujuh persen rumah tangga memiliki anggota rumah tangga dengan gangguan jiwa skizofrenia atau psikosis dan 6,1 persen prevalensi depresi terjadi pada penduduk usia di bawah atau sama dengan 15 tahun.
Ali mengatakan beberapa gejala gangguan kesehatan jiwa antara lain selalu merasa cemas atau takut yang berlebihan sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari; mengalami sakit kepala, sakit perut, sulit bernafas, atau gejala fisik lain tanpa alasan yang jelas; gangguan tidur; mudah merasa sedih, marah, atau khawatir; tidak bersemangat, atau malah terlalu aktifl; dan merasa pesimis.
Untuk menjaga kesehatan mental di tengah pandemi COVID-19, Ali menyarankan beberapa tips, antara lain sadari bahwa measa khawatir adalah suatu hal yang normal dan buat rutinitas untuk mempertahankan perasaan normal.
"Cari pengalihan yang positif dan tetap berkomunikasi dengan teman-teman. Fokus pada diri sendiri dan selami perasaan. Berbaik hatilah pada diri sendiri dan orang lain, serta jaga kesehatan fisik dengan makan makanan yang sehat dan berolahraga," katanya.
Bila ingin tahu tentang pandemi COVID-19 atau tentang situasi terkini, cari informasi dari sumber yang terpercaya. Lebih baik batasi penggunaan media bila terlalu banyak memberikan informasi yang negatif.
Baca juga: Kapolres Kudus prihatin orang tua yang aniaya terhadap anak tirinya
Baca juga: Komnas PA Temanggung mediasi kasus kekerasan anak