Jakarta, ANTARA JATENG - Ahli hukum pidana Universitas Soedirman Noor
Aziz Said mengatakan anggota DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S
Haryani memenuhi unsur perbuatan korupsi yaitu dengan memberikan
keterangan tidak benar.
"Karena Pasal 22 itu perumusannya dititikberatkan pada rumusan
perbuatan bukan pada terjadinya akibat maka yang bersangkutan memberikan
keterangan tidak benar dan tahu dia memenuhi unsur-unsur pasal 242 KUHP
yang bila dilakukan dalam perkara tindak pidana korupsi maka perbuatan
itu dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi," kata Noor dalam
sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Noor diperiksa sebagai ahli untuk terdakwa anggota DPR dari fraksi
Partai Hanura Miryam S Haryani yang didakwa memberikan keterangan yang
tidak benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut
semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan dalam
kasus korupsi KTP-e.
Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur mengenai
orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang
tidak benar dengan ancaman pidana paling singkat 3 tahun dan paling
lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak
Rp600 juta.
Sedangkan pasal 242 ayat 1 KUHP menurut Noor adalah barang siapa
dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan
di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang
demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik
dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang
khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7
tahun.
"Memberikan keterangan yang tidak benar bisa disampaikan di depan
pengadilan dan di luar pengadilan, yang penting dia memberikan
keterangan di atas sumpah, tidak terbatas di pengadilan tapi juga di
luar pengadilan seperti di penyidikan," ungkap Noor.
"Jadi terdakwa ini memberikan keterangan tidak benar beri keterangan
di depan sidang atau di luar?" tanya hakim anggota Anwar.
"Di depan sidang," jawab Noor.
"Apakah terdakwa memberikan keterangan dengan paksaan karena penyidik memaksa?" tanya jaksa penuntut umum (JPU) KPK.
"Yang disampaikan penyidik bahwa mereka tidak merasa memaksa pada
terperiksa dan penyidik menyerahkan untuk dibaca kembali sebelum ditanda
tangan bahkan ditanya apa ada yang keliru atau ditambahkan sebelum
tanda tangan. Maka itu bukan daya paksa bila diberikan waktu itu membaca
kembali kalau memang seperti itu tidak ada paksaaan," jawab Noor.
Menurut Noor berdasarkan pasal 48 KUHP ada tiga jenis daya paksa
yaitu bersifat absolut, bersifat relatif dan yang merupakan suatu
keadaan daruruat.
"Daya paksa itu ada apabila ada tekanan yang begitu kuat oleh karena
itu doktrin hukum pidana, absolut tidak bisa dilawan, atau relatif yaitu
bisa dilawan," jawab Noor.
"Bagaimana dengan terdakwa?" tanya JPU.
"Menurut pendapat saya apabila mengacu kepada penyidik malah tidak
ada daya paksa, absolut, relatif, maupun biasa," jawab Noor.
Dalam perkara ini, Miryam didakwa memberikan keterangan yang tidak
benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua
keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan yang
menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan
alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh
tiga orang penyidik KPK padahal alasan yang disampaikan terdakwa
tersebut tidak benar. Pencabutan BAP itu terjadi dalam sidang pada
Kamis, 23 Maret 2017.
Selanjutnya pada Kamis, 30 Maret 2017 JPU menghadirkan kembali Miryam
di persidangan bersama tiga penyidik yaitu Novel Baswedan, MI Susanto
dan A Damanik. Ketiga penyidik itu menerangkan bahwa mereka tidak pernah
melakukan penekanan dan pengancaman saat memeriksa terdakwa sebagai
saksi, lebih lanjut diterangkan dalam empat kali pemeriksaan pada 1, 7,
14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017 kepada terdakwa diberi kesempatan
untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keerangannya pada setiap akhir
pemeriksaan sebelum diparaf dan ditandatangani Miryam.
Setelah mendengar keterangan tiga penyidik KPK, hakim kembali
menayakan kepada Miryam terhadap keterangan tersebut. Atas pertanyaan
hakim, Miryam tetap pada jawaban yang menerangkan bahwa dirinya telah
ditekan dan diancam penyidik KPK saat pemeriksaan dan penyidikan serta
dipaksa mendatangani BAP sehingga Miryam tetap menyatakan mencabut semua
BAP termasuk keterangan mengenai penerimaan uang dari Sugiharto.
Terhadap perbuatan tersebut, Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal
35 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU no. 20 tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP
yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama
12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.
Berita Terkait
May Day 2024, BPJS Ketenagakerjaan Cilacap serahkan santunan ke ahli waris peserta
Selasa, 14 Mei 2024 13:52 Wib
Pj Bupati Cilacap serahkan santunan kematian ke ahli waris KPPS Bunton Adipala
Jumat, 5 April 2024 13:43 Wib
Ahli waris perangkat RT/RW di Semarang Utara terima santunan BPJS Ketenagakerjaan
Jumat, 5 April 2024 12:37 Wib
BPJAMSOSTEK Semarang Pemuda serahkan santunan ke ahli waris perangkat RT
Kamis, 4 April 2024 18:01 Wib
UIN Walisongo lantik sejumlah pejabat baru dan asisten ahli
Selasa, 19 Maret 2024 13:02 Wib
Ahli gizi Unsoed berikan kiat untuk memenuhi standar gizi selama puasa
Minggu, 10 Maret 2024 17:12 Wib
Ahli mikrobiologi Unsoed ingatkan pemahaman ke masyarakat konsep penyakit X
Selasa, 5 Maret 2024 8:55 Wib
Staf Ahli Menkominfo ingatkan pentingnya keadaban komunikasi
Sabtu, 24 Februari 2024 21:23 Wib