Semarang (ANTARA) -
"Data Triwulan III Tahun 2021 telah terlaporkan kematian ibu mencapai 867 kasus, sebelumnya ada 530 kasus kematian ibu melahirkan pada 2020," kata Wakil Ketua DPRD Jateng Heri Pudyatmoko di Semarang, Sabtu.
Politikus Partai Gerindra itu menyebut faktor penyebab kematian bayi, antara lain kurangnya asupan gizi bayi selama dalam kandungan yang menyebabkan berat badan lahir rendah, kelainan konginetal pada bayi dan komplikasi kehamilan.
Selain itu juga keterbatasan layanan kesehatan ibu dan anak pada masa pandemi COVID-19.
Menurut dia, hal tersebut membutuhkan perhatian serius dari pemerintah daerah, apalagi selama pandemi COVID-19 banyak masyarakat yang takut mengakses pelayanan kesehatan.
Daerah-daerah yang banyak terjadi kasus kematian ibu dan bayi itu masuk dalam data daerah dengan angka kemiskinan tinggi di Jateng.
"Setiap daerah punya karakteristik yang berbeda-beda, banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian ibu dan anak, terutama penanganan pra dan pasca-ibu melahirkan saat berada di klinik bersalin, puskesmas dan rumah sakit," ujarnya.
Heri mengungkapkan 63 persen kematian ibu dan bayi di Jateng terjadi pada usai 0-42 hari setelah persalinan, sehingga penting dilakukan peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan di klinik, puskesmas dan rumah sakit juga sangat mempengaruhi.
"Penyebab terbesar yang mengakibatkan ibu meninggal setelah melahirkan dikarenakan pendarahan. Jumlahnya sebanyak 33 persen, sedangkan di urutan kedua karena hipertensi sebesar 27 persen. Sisanya karena infeksi, kardiovaskuler dan lain-lain," paparnya.
Angka Kematian Balita (AKABA) di Jateng pada 2021 sampai dengan triwulan III dilaporkan 3.224 kasus, beberapa penyebab kematian balita, antara lain pneumonia, penyakit bawaan, diare, cedera, campak dan malaria di daerah endemis. Selain infeksi penyakit, faktor pola asuh juga menjadi faktor penyumbang kasus kematian balita.
"Masih perlu upaya edukasi dan peningkatan pemahaman orang tua dan pengasuh untuk menerapkan pola asuh secara benar kepada balita," katanya.