Festival Lima Gunung XX menyuguhkan dokumen foto seni budaya KLG
Magelang (ANTARA) - Putaran keenam Festival Lima Gunung XX/2021 di Studio Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu, menyuguhkan dokumen foto-foto aktivitas seni budaya seniman petani Komunitas Lima Gunung.
Komunitas itu mengemas lanjutan festival mereka dengan menyajikan pameran foto dan diskusi "Serba-Serbi Disrupsi Kamera Medsos" di salah satu ruangan terbuka bernama "Sendang Pitutur" di Studio Mendut, sekitar 300 meter timur Candi Mendut Kabupaten Magelang yang dikelola budayawan dan perintis KLG, Sutanto Mendut.
Sekitar 30 peserta, kalangan pegiat KLG dan jejaringnya di beberapa daerah sekitar Magelang, mengikuti acara yang menghadirkan foto-foto kegiatan KLG, karya dua pewarta foto, yakni Ferganata Indra Riatmoko (Kompas) dan Anis Efizudin (Kantor Berita ANTARA).
Baca juga: Festival Lima Gunung bersiasat tak bocor
Indra menyuguhkan sembilan karya foto aktivitas seni budaya KLG, baik terkait dengan FLG maupun kegiatan seni budaya di dusun basis komunitas itu selama dua tahun terakhir, sedangkan Anis menghadirkan 38 foto aktivitas KLG sejak 2006 hingga 2021. Mereka menyajikan foto-foto jurnalistik itu, melalui "slide show" dan sejumlah lainnya dalam wujud cetak.
Penari dari Subang (Jawa Barat) Venny A.H. menyuguhkan performa tari dalam pembukaan acara, sedangkan sejumlah seniman "Sedalu Art and Culture Community Boyolali" (Jateng) pimpinan Novi, menyajikan teatrikal pendek tentang disrupsi kamera dan koran.
Secara virtual, Anis berbicara tentang foto-fotonya terkait dengan ingatan aktivitas seni budaya KLG di kawasan lima gunung mengelilingi Kabupaten Magelang, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Foto-foto Anis juga menunjukkan kehadiran para tokoh, seniman, dan budayawan Indonesia dalam kegiatan KLG.
"Foto-foto ini mengingatkan kembali pementasan-pementasan yang mengagumkan rekan-rekan KLG. Mereka mempunyai semangat berkesenian tinggi dan mengedepankan kebersamaan. Saya berusaha hadir (dalam kegiatan KLG, red.) memotret, hadir tidak hanya sebagai pewarta foto, tetapi sebagai keluarga. Secara psikologis seperti saudara," katanya.
Indra berbicara tentang tema "Serba-Serbi Disrupsi Kamera Medsos", terutama dalam kaitan dengan kebiasaan setiap orang era saat ini memotret peristiwa yang dijumpai setiap hari dan aktivitas dirinya, untuk diunggah di akun media sosial.
"Di kehidupan sehari-hari, setiap orang pasti satu atau dua 'frame" memotret, termasuk acara-acara budaya. Dulu orang menonton itu murni menonton, sekarang menonton sambil memotret menggunakan HP (gawai)," katanya.
Ia juga mengemukakan, antara lain tentang foto jurnalistik, foto karya penghobi fotografi, dan foto karya warga umumnya, "foto bocor", pentingnya kreativitas pengambilan sudut pemotretan atas objek, serta etika memotret.
Menurut dia, foto jurnalistik hingga saat ini masih menunjukkan pewarta foto memegang kode etik.
"Foto apa adanya, ndak perlu 'nyetting-nyetting' karena di koran mengutamakan foto jujur. Harus berdamai dengan (objek pemotretan, red.) bocor-bocor, banyak cara, yaitu kreatif dengan 'angle' (sudut pemotretan)," kata dia.
Ia mengemukakan proses kreatif dalam pemotretan terkadang mendisrupsi pesan atas suatu foto.
Sutanto mengemukakan pameran dokumen foto-foto aktivitas KLG itu, selain bagian dari upaya mewujudkan kegembiraan komunitas meskipun di tengah pandemi COVID-19, juga membangun kesadaran bahwa persoalan disrupsi juga dihadapi masyarakat petani dan desa.
"Disrupsi juga pada habitat pedesaan, disrupsi macam-macam. Hari ini kaitan dengan 'smartphone' (gawai) seolah-olah menjadi instrumen hidup, seperti lintas agama, toleransi jadi aneh. Pameran foto ini katalisator untuk memahami dunia baru, bagaimana merumuskan etika, estetika, fungsi, memberi makna banyak hal yang mau tidak mau berubah," kata dia.
Ia menyebut foto-foto itu bernilai sejarah. Bagi komunitas yang dirintisnya sejak sekitar 20 tahun lalu itu, berbagai foto tersebut piranti komunitas untuk terus-menerus belajar tentang kehidupan, alam, insan, dan zaman.
Tema besar FLG XX/2021 "Peradaban Desa". Putaran pertama festival pada 21 Mei 2021 di sumber air Tlompak Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kabupaten Magelang, putaran kedua pada 29 Agustus 2021 di areal persawahan padi Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, putaran ketiga pada 12 September 2021 di Sungai Gendu Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, putaran keempat pada 29 September 2021 di Studio Mendut, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid, putaran kelima pada 10 Oktober 2021 di areal pertanian sayuran Dusun Mantran, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak.
Festival mandiri mereka diselenggarakan dengan menerapkan protokol kesehatan karena pandemi COVID-19. Komunitas belum memutuskan kapan festival tahun ini berakhir. Pada tahun lalu, saat tahun pertama pandemi, mereka menggelar 10 kali putaran FLG XIX/2020.
Baca juga: FLG 2021 digelar di lahan hortikultura Gunung Andong
Baca juga: Biarkan berisik cerita satwa bikin mental sehat!
Komunitas itu mengemas lanjutan festival mereka dengan menyajikan pameran foto dan diskusi "Serba-Serbi Disrupsi Kamera Medsos" di salah satu ruangan terbuka bernama "Sendang Pitutur" di Studio Mendut, sekitar 300 meter timur Candi Mendut Kabupaten Magelang yang dikelola budayawan dan perintis KLG, Sutanto Mendut.
Sekitar 30 peserta, kalangan pegiat KLG dan jejaringnya di beberapa daerah sekitar Magelang, mengikuti acara yang menghadirkan foto-foto kegiatan KLG, karya dua pewarta foto, yakni Ferganata Indra Riatmoko (Kompas) dan Anis Efizudin (Kantor Berita ANTARA).
Baca juga: Festival Lima Gunung bersiasat tak bocor
Indra menyuguhkan sembilan karya foto aktivitas seni budaya KLG, baik terkait dengan FLG maupun kegiatan seni budaya di dusun basis komunitas itu selama dua tahun terakhir, sedangkan Anis menghadirkan 38 foto aktivitas KLG sejak 2006 hingga 2021. Mereka menyajikan foto-foto jurnalistik itu, melalui "slide show" dan sejumlah lainnya dalam wujud cetak.
Penari dari Subang (Jawa Barat) Venny A.H. menyuguhkan performa tari dalam pembukaan acara, sedangkan sejumlah seniman "Sedalu Art and Culture Community Boyolali" (Jateng) pimpinan Novi, menyajikan teatrikal pendek tentang disrupsi kamera dan koran.
Secara virtual, Anis berbicara tentang foto-fotonya terkait dengan ingatan aktivitas seni budaya KLG di kawasan lima gunung mengelilingi Kabupaten Magelang, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Foto-foto Anis juga menunjukkan kehadiran para tokoh, seniman, dan budayawan Indonesia dalam kegiatan KLG.
"Foto-foto ini mengingatkan kembali pementasan-pementasan yang mengagumkan rekan-rekan KLG. Mereka mempunyai semangat berkesenian tinggi dan mengedepankan kebersamaan. Saya berusaha hadir (dalam kegiatan KLG, red.) memotret, hadir tidak hanya sebagai pewarta foto, tetapi sebagai keluarga. Secara psikologis seperti saudara," katanya.
Indra berbicara tentang tema "Serba-Serbi Disrupsi Kamera Medsos", terutama dalam kaitan dengan kebiasaan setiap orang era saat ini memotret peristiwa yang dijumpai setiap hari dan aktivitas dirinya, untuk diunggah di akun media sosial.
"Di kehidupan sehari-hari, setiap orang pasti satu atau dua 'frame" memotret, termasuk acara-acara budaya. Dulu orang menonton itu murni menonton, sekarang menonton sambil memotret menggunakan HP (gawai)," katanya.
Ia juga mengemukakan, antara lain tentang foto jurnalistik, foto karya penghobi fotografi, dan foto karya warga umumnya, "foto bocor", pentingnya kreativitas pengambilan sudut pemotretan atas objek, serta etika memotret.
Menurut dia, foto jurnalistik hingga saat ini masih menunjukkan pewarta foto memegang kode etik.
"Foto apa adanya, ndak perlu 'nyetting-nyetting' karena di koran mengutamakan foto jujur. Harus berdamai dengan (objek pemotretan, red.) bocor-bocor, banyak cara, yaitu kreatif dengan 'angle' (sudut pemotretan)," kata dia.
Ia mengemukakan proses kreatif dalam pemotretan terkadang mendisrupsi pesan atas suatu foto.
Sutanto mengemukakan pameran dokumen foto-foto aktivitas KLG itu, selain bagian dari upaya mewujudkan kegembiraan komunitas meskipun di tengah pandemi COVID-19, juga membangun kesadaran bahwa persoalan disrupsi juga dihadapi masyarakat petani dan desa.
"Disrupsi juga pada habitat pedesaan, disrupsi macam-macam. Hari ini kaitan dengan 'smartphone' (gawai) seolah-olah menjadi instrumen hidup, seperti lintas agama, toleransi jadi aneh. Pameran foto ini katalisator untuk memahami dunia baru, bagaimana merumuskan etika, estetika, fungsi, memberi makna banyak hal yang mau tidak mau berubah," kata dia.
Ia menyebut foto-foto itu bernilai sejarah. Bagi komunitas yang dirintisnya sejak sekitar 20 tahun lalu itu, berbagai foto tersebut piranti komunitas untuk terus-menerus belajar tentang kehidupan, alam, insan, dan zaman.
Tema besar FLG XX/2021 "Peradaban Desa". Putaran pertama festival pada 21 Mei 2021 di sumber air Tlompak Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kabupaten Magelang, putaran kedua pada 29 Agustus 2021 di areal persawahan padi Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag, putaran ketiga pada 12 September 2021 di Sungai Gendu Dusun Warangan, Desa Muneng Warangan, Kecamatan Pakis, putaran keempat pada 29 September 2021 di Studio Mendut, Kelurahan Mendut, Kecamatan Mungkid, putaran kelima pada 10 Oktober 2021 di areal pertanian sayuran Dusun Mantran, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak.
Festival mandiri mereka diselenggarakan dengan menerapkan protokol kesehatan karena pandemi COVID-19. Komunitas belum memutuskan kapan festival tahun ini berakhir. Pada tahun lalu, saat tahun pertama pandemi, mereka menggelar 10 kali putaran FLG XIX/2020.
Baca juga: FLG 2021 digelar di lahan hortikultura Gunung Andong
Baca juga: Biarkan berisik cerita satwa bikin mental sehat!