Program pendidikan harus beradaptasi dengan kebijakan saat pandemi
Semarang (ANTARA) - Pemerintah harus segera melakukan asesmen menyeluruh terhadap sejumlah program pendidikan nasional agar terjadi penyesuaian terhadap kondisi aktual masyarakat di masa pandemi COVID-19 ini.
"Program Merdeka Belajar memang harus kita gaungkan, namun harus dilakukan juga sejumlah penyesuaian dengan perkembangan kondisi pandemi yang kita hadapi saat ini," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat menjadi narasumber dalam Diskusi Empat Pilar MPR RI bertema Hardiknas dan Tantangan Merdeka Belajar di Tengah Pandemi, yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Humas dan Sistem Informasi Sekretariat Jenderal MPR RI, Senin, (3/5).
Dalam diskusi tersebut, hadir pula H. Syaiful Huda (anggota MPR RI F-PKB) dan Indra Charismiadji (pengamat pendidikan) sebagai narasumber.
Menurut Lestari, gagasan dan gerakan Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek sebaiknya melakukan refocusing terhadap beberapa isu antara lain
infrastruktur dan teknologi; Kebijakan, prosedur dan pendanaan; Kepemimpinan, masyarakat dan budaya; serta Kurikulum, pedagogi dan asesmen.
Refocusing sejumlah isu itu, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, dimaksudkan untuk melihat kebutuhan masing-masing ranah yang harus disesuaikan dengan kondisi pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya bisa ditangani.
Empat fokus program Merdeka Belajar, menurut anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, harus segera mendapat prioritas, terutama dalam mendorong proses belajar yang produktif dan berkesinambungan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), ujar Rerie, harus secepatnya membuat katagori proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) berdasarkan beberapa klasifikasi, seperti daerah mana saja yang memiliki infrastruktur dan teknologi paling kuat, sedang dan lemah dalam hal jaringan.
Secara umum, tegasnya, masalah yang dihadapi sektor pendidikan nasional saat ini terkait faktor geografis, tata kelola dan regulasi di masa pandemi ini.
Sehingga, tambah Rerie, kita harus menemukan cara-cara baru untuk menentukan proses pembelajaran yang tepat dalam kondisi pandemi ini.
Karena sektor pendidikan, jelasnya, termasuk sektor yang paling terdampak saat ini, sekitar 60 juta pelajar terpaksa melakukan pembelajaran jarak jauh.
Kondisi tersebut, tambah Rerie, sudah berjalan lebih dari satu tahun dan kita menghadapi ancaman learning loss, karena pengetahuan yang sudah dikuasai para pelajar hilang karena pola belajar yang berubah.
Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKB, Syaiful Huda berpendapat, pandemi COVID-19 ini membuka mata setiap orang bahwa dunia pendidikan kita masih banyak menghadapi masalah.
Sekolah di tanah air, jelasnya, masih menghadapi soal sanitasi, akses internet, akses siaran TV dan kelengkapan sarana.
Dengan terungkapnya sejumlah kondisi riil sektor pendidikan nasional kita, menurut Huda, para pemangku kepentingan seharusnga bisa membuat program yang lebih tepat sasaran.
Pengamat Pendidikan, Indra Charismiadji berpendapat, learning loss sebenarnya sudah terjadi sebelum pandemi COVID-19.
Mengutip Bank Dunia, Indra mengungkapkan bahwa anak Indonesia dinilai buta huruf secara fungsional, artinya bisa membaca tetapi tidak memahami apa yang dibacanya. "Kemampuan membaca anak Indonesia terbilang rendah jika dibandingkan dengan sejumlah negara di dunia," ungkapnya.
Indra berharap, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang dari komunitas digital itu mampu membawa generasi penerus bangsa melek literasi digital, budaya dan ilmu pengetahuan.***
"Program Merdeka Belajar memang harus kita gaungkan, namun harus dilakukan juga sejumlah penyesuaian dengan perkembangan kondisi pandemi yang kita hadapi saat ini," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat menjadi narasumber dalam Diskusi Empat Pilar MPR RI bertema Hardiknas dan Tantangan Merdeka Belajar di Tengah Pandemi, yang digelar Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Humas dan Sistem Informasi Sekretariat Jenderal MPR RI, Senin, (3/5).
Dalam diskusi tersebut, hadir pula H. Syaiful Huda (anggota MPR RI F-PKB) dan Indra Charismiadji (pengamat pendidikan) sebagai narasumber.
Menurut Lestari, gagasan dan gerakan Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek sebaiknya melakukan refocusing terhadap beberapa isu antara lain
infrastruktur dan teknologi; Kebijakan, prosedur dan pendanaan; Kepemimpinan, masyarakat dan budaya; serta Kurikulum, pedagogi dan asesmen.
Refocusing sejumlah isu itu, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, dimaksudkan untuk melihat kebutuhan masing-masing ranah yang harus disesuaikan dengan kondisi pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya bisa ditangani.
Empat fokus program Merdeka Belajar, menurut anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, harus segera mendapat prioritas, terutama dalam mendorong proses belajar yang produktif dan berkesinambungan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), ujar Rerie, harus secepatnya membuat katagori proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) berdasarkan beberapa klasifikasi, seperti daerah mana saja yang memiliki infrastruktur dan teknologi paling kuat, sedang dan lemah dalam hal jaringan.
Secara umum, tegasnya, masalah yang dihadapi sektor pendidikan nasional saat ini terkait faktor geografis, tata kelola dan regulasi di masa pandemi ini.
Sehingga, tambah Rerie, kita harus menemukan cara-cara baru untuk menentukan proses pembelajaran yang tepat dalam kondisi pandemi ini.
Karena sektor pendidikan, jelasnya, termasuk sektor yang paling terdampak saat ini, sekitar 60 juta pelajar terpaksa melakukan pembelajaran jarak jauh.
Kondisi tersebut, tambah Rerie, sudah berjalan lebih dari satu tahun dan kita menghadapi ancaman learning loss, karena pengetahuan yang sudah dikuasai para pelajar hilang karena pola belajar yang berubah.
Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKB, Syaiful Huda berpendapat, pandemi COVID-19 ini membuka mata setiap orang bahwa dunia pendidikan kita masih banyak menghadapi masalah.
Sekolah di tanah air, jelasnya, masih menghadapi soal sanitasi, akses internet, akses siaran TV dan kelengkapan sarana.
Dengan terungkapnya sejumlah kondisi riil sektor pendidikan nasional kita, menurut Huda, para pemangku kepentingan seharusnga bisa membuat program yang lebih tepat sasaran.
Pengamat Pendidikan, Indra Charismiadji berpendapat, learning loss sebenarnya sudah terjadi sebelum pandemi COVID-19.
Mengutip Bank Dunia, Indra mengungkapkan bahwa anak Indonesia dinilai buta huruf secara fungsional, artinya bisa membaca tetapi tidak memahami apa yang dibacanya. "Kemampuan membaca anak Indonesia terbilang rendah jika dibandingkan dengan sejumlah negara di dunia," ungkapnya.
Indra berharap, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang dari komunitas digital itu mampu membawa generasi penerus bangsa melek literasi digital, budaya dan ilmu pengetahuan.***