Mereka yang diketahui bernama Siti (45), Marfungah (46), dan Khoeron (61) itu tengah menyiapkan media untuk menanam padi menggunakan sawah apung atas bimbingan Unit Pelaksana Teknis Dinas Pekerjaan Umum (UPTD PU) Wilayah Sumpiuh.
Satu hal yang mereka harapkan dari sawah apung itu, yakni meningkatkan produktivitas pertanian karena selama ini hanya dapat menanam padi satu kali dalam setahun atau saat musim kemarau.
Dalam hal ini, dari luasan lahan sawah di Desa Nusadadi, Kecamatan Sumpiuh, yang mencapai lebih kurang 120 hektare, sekitar 60 hektare di antaranya selalu tergenang banjir terutama saat musim hujan merupakan daerah rawa.
"Sawah di sini (Desa Nusadadi, red.) sering gagal panen karena kebanjiran," kata salah seorang petani, Marfungah (46).
Dia mengaku baru mengetahui cara bercocok tanam menggunakan sawah apung seperti yang sedang diujicobakan UPTD PU Wilayah Sumpiuh di Desa Nusadadi.
Dengan demikian ketika genangan airnya sedang tinggi, petani tidak khawatir gagal panen karena sawah apung itu akan mengikuti tinggi-rendahnya genangan air.
"Hanya saja, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyiapkan sawah apung lebih banyak jika dibandingkan untuk mengolah sawah konvensional. Yang membuat lebih mahal adalah biaya untuk mempersiapkan media atau tempatnya karena bisa dua kali lipat dari biaya persiapan sawah konvensional yang mencapai kisaran Rp500 ribu per 100 ubin," katanya.
Akan tetapi jika tempat menanamnya (getek, red.) sudah ada, biaya yang harus dikeluarkan bisa dikurangi.
Petani lainnya, Khoeron mengaku tertarik untuk mencoba menanam padi menggunakan sawah apung agar sawahnya yang seluas 1.400 meter persegi dapat ditanami padi saat musim hujan.
"Selama ini awah saya hanya bisa ditanami saat musim kemarau. Saat musim hujan yang lalu, saya coba tanam namun ketika usia tanamannya mencapai 90 hari malah kebanjiran, ya sudah tidak bisa diselamatkan," katanya.
Terkait dengan uji coba pengembangan sawah apung, Kepala UPTD PU Wilayah Sumpiuh Imam Pamungkas mengatakan hal itu berawal dari upaya pemanfaatan sumber daya air khususnya di lahan sawah yang airnya berlebih atau selalu tergenang banjir saat musim hujan
"Sebenarnya (masalah sawah) itu ranahnya Dinas Pertanian, sedangkan saya di Dinas PU khususnya irigasi mencoba memanfaatkan airnya, karena kami mengurusi airnya (pengairan, red.)," kata pemenang Lomba Operasi dan Pemeliharaan Tingkat Nasional 2018 Kategori Pemilihan Pengamat/UPTD Jaringan Irigasi Permukaan Wilayah Barat itu.
Menurut dia, sawah apung tersebut sudah dua kali diujicobakan di Desa Plangkapan, Kecamatan Tambak, Banyumas, yang kondisi lahan sawahnya seperti Desa Nusadadi.
Akan tetapi saat uji coba di Desa Plangkapan, produktivitas padi yang dihasilkan dari sawah apung hanya mencapai kisaran 4 ton per hektare karena terserang hama wereng, sedangkan sawah konvensional mampu menghasilkan gabah kering panen hingga di atas 6 ton per hektare.
Kendati demikian, hasil panen padi dari sawah apung tersebut mampu menambah penghasilan petani karena selama ini sebagian besar area persawahan di Desa Plangkapan maupun Nusadadi hanya mampu ditanami padi satu kali dalam setahun, yakni saat musim kemarau.
"Sebelum melakukan uji coba di sini (Nusadadi, red.), saya sudah mengukur kadar pH-nya karena lokasinya merupakan daerah rawa. Dari hasil pengukuran, pH-nya mencapai 9 namun masih berada pada batas toleransi pH untuk tanaman padi yang berkisar 7-10," katanya.
Sawah apung itu dibuat dengan menggunakan getek yang terbuat dari bambu yang selanjutnya ditutupi gulma atau eceng gondok yang membusuk untuk kapilaritas air, sedangkan bagian atas gulma ditutupi dengan tanah sawah sebagai media tanam.
Sebelum ditanami padi, sawah apung tersebut diberi pupuk berupa air kencing kelinci yang telah difermentasi selama 30 hari guna mengurangi ketergantungan pupuk kimia yang akan diberikan setelah tanaman berusia 20 hari setelah tanam.
"Sawah apung ini akan bergerak naik dan turun mengikuti tinggi genangan air sehingga tanamannya tidak terendam," katanya.
Prospektif Dikembangkan
Pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof.Ir.H. Totok Agung Dwi Haryanto, M.P.,Ph.D. mengatakan sawah apung sebagai teknologi inovatif budi daya tanaman padi menggunakan rakit atau getek sangat prospektif dikembangkan di daerah rawan banjir.
"Teknologi ini bisa menjadi upaya yang dapat memecahkan masalah terutama dalam mengantisipasi perubahan iklim global, khususnya untuk antisipasi fenomena La Nina yang sering menyebabkan curah hujan tinggi berkepanjangan," kata Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed itu.
Dengan teknologi sawah apung, petani di daerah-daerah yangg curah hujannya tinggi tetap mampu mempertahankan produksinya ketika sawahnya tergenang.
Prinsip utama teknologi sawah apung adalah menjaga dan mempertahankan bagian atas batang padi, khususnya ujung titik tumbuh padi tetap berada di permukaan air ketika ada kenaikan permukaan air akibat banjir atau air berlebih.
Dalam hal ini, menjaga bagian atas batang padi untuk tetap di atas permukaan air itu penting untuk mempertahankan suplai oksigen ke bagian akar padi melalui "aerenchym".
Pembuluh yang ada di tengah batang padi menghubungkan ujung titik tumbuh dengan akar yang menyebabkan akar tetap bisa bernapas walaupun terendam.
"Yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi sawah apung atau `floating field` ini di antaranya adalah persiapan media tanam yang memadai. Media tanam hendaknya cukup mampu untuk menjaga dan menopang tanaman padi agar tumbuh tegak dengan baik," kata Totok yang juga pemulia padi varietas unggul "Inpago Unsoed 1".
Selain itu, media juga hendaknya cukup mampu menyuplai kebutuhan hara bagi tanaman. Namun, media juga hendaknya tidak terlalu berat yang dapat menyebabkan rakit tenggelam.
"Biasanya, penggunaan jerami atau gulma dicampur tanah dan pupuk organik dengan ketebalan sekitar 5 centimeter dapat menjadi media yang memadai," katanya.
Menurut dia, penggunaan pupuk berimbang NPK dalam bentuk cair untuk disemprotkan di daun padi yang sudah tumbuh akan membantu pertumbuhan dan produksi padi.
Hal itu karena biasanya pupuk organik yang bersifat "slow release" kurang mampu memenuhi kebutuhan hara utama tanaman padi, khususnya jenis padi yang umurnya pendek, responsif pemupukan, dan tinggi kebutuhan haranya.
Anggota Dewan Pakar Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) mengatakan salah satu keuntungan padi apung adalah biasanya gulma tidak banyak tumbuh pada sistem ini.
Walaupun pengendalian gulma tidak banyak dilakukan, tindakan pengendalian hama dan penyakit tetap penting dilakukan sehingga kehadiran hama keong, belalang, wereng, dan sebagainya perlu diantisipasi dengan saksama.
Selain itu, dukungan pemerintah daerah melalui kebijakan dan pendampingan, termasuk subsidi sarana produksi dan asuransi akan sangat membantu berkembangnya teknologi sawah apung tersebut.
Demikian pula dengan dukungan perguruan tinggi melalui riset-riset terapan juga penting untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas padi sawah apung.
Bahkan, pihak pemerintah desa melalui badan usaha milik desanya dapat mengemas pertanian padi sawah apung itu sebagai wahana paket wisata dan pendidikan.
"Sekadar informasi, di beberapa wilayah pertanian di dunia yang memang selalu tergenang air seperti Vietnam, Thailand, dan Afrika, sudah dikenal apa yang disebut `floating rice` atau padi tergenang, yakni jenis padi yang mampu menjaga pertumbuhan batang padi mengikuti permukaan air. Ketika permukaan air naik, batang padi pun memanjang sehingga ujung batang selalu ada di atas air," katanya.
Bahkan, panjang batang jenis padi tergenang itu dapat mencapai lebih dari 2 meter dan petani yang membudidayakannya harus menggunakan rakit untuk memanen padinya.
Pakar pertanian Unsoed Purwokerto lainnya, Ir. Suprayogi, M.Sc.,Ph.D. mengatakan secara teknis, pengembangan sawah apung seperti yang dilakukan petani di Desa Nusadadi, Kecamatan Sumpiuh, Banyumas, sangat mungkin dilakukan.
"Tantangannya adalah kalau akan diterapkan dalam skala luas atau hektaran, bagaimana membuat sawah apung yang ekonomis agar biaya pembuatannya lebih kecil dari hasil," kata dia yang juga pemulia padi varietas unggul "Inpari Unsoed 79 Agritan" yang dikhususkan untuk lahan salin.
Terkait dengan hal itu, dia mengaku siap membantu jika memiliki waktu dan pengetahuan yang dibutuhkan petani dalam budi daya padi.