Semarang, ANTARA JATENG - Pemberian gelar pahlawan kepada Jenderal Besar TNI Haji Muhammad Soeharto menunjukkan Indonesia bangsa pemaaf, bukan pendendam, kata Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono.
Menjawab pertanyaan Antara ketika merespons perlu-tidaknya Pemerintah memberi gelar Pahlawan kepada Pak Harto di Semarang, Selasa, Dr.Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. berpendapat bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Pak Harto (sapaan akrab presiden ke-2 RI H.M. Seoharto) bukan merupakan bentuk rekonsiliasi, melainkan sebuah wujud rasa terima kasih bangsa atas kontribusinya kepada bangsa dan negara.
Apalagi, lanjut Teguh Yuwono, pemberian gelar itu sudah diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
Di dalam Pasal Pasal 1 Angka 4 disebutkan,"Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia."
Menurut Teguh Yuwono, sejelek apa pun pria kelahiran Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 8 Juni 1921 dan wafat di Jakarta, 27 Januari 2008, itu kontribusinya untuk bangsa dan negara tetap besar.
"Pak Harto pada masa pemerintahnya (1967 s.d. 1998) disegani, baik pada tingkat nasional maupun internasional," katanya.
Semasa hidupnya, kata Teguh, nama Letnan Kolonel Soeharto tidak lepas dari perang merebut kembali Ibu Kota Republik Indonesia, Yogyakarta atau dikenal dengan istilah "Serangan Umum 1 Maret 1949".
Menurut dia, masih relatif banyak hal yang telah dilakukan Pak Harto demi bangsa ini. Misalnya, berhasil menegaskan eksistensi Indonesia sebagai bangsa yang besar.