Semarang (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan kearifan lokal bisa dikedepankan dalam manajemen kebencanaan karena Indonesia merupakan negara yang rawan bencana.
Saat membuka diskusi daring bertema Menuju Manajemen Kebencanaan Terpadu yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu, dia mengatakan sebagai negara yang rawan bencana, kearifan lokal wajib dijaga dan dilestarikan dalam upaya mengantisipasi sejumlah ancaman bencana di Tanah Air.
Menurut dia, keterpaduan penanggulangan bencana perlu pemahaman yang sama dari para pemangku kepentingan dan masyarakat..
"Di era teknologi saat ini, kearifan lokal juga bisa dikedepankan dalam tahapan manajemen menghadapi ancaman bencana," katanya.
Menurut dia, negara harus terlibat dalam setiap upaya perlindungan terhadap setiap warga negara, termasuk perlindungan dari setiap ancaman bencana.
Perempuan yang akrab disapa Rerie itu mengatakan para pemangku kepentingan harus mampu mewujudkan sejumlah upaya penanggulangan bencana untuk menjadi suatu manajemen yang terpadu untuk menghadapi berbagai ancaman bencana.
"Hal itu karena di samping banyak berkah dari alam Indonesia yang subur, bangsa ini juga menghadapi kondisi alam yang rentan terjadi bencana alam," katanya.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mengharapkan di dalam upaya membangun keterpaduan manajemen penanggulangan bencana saat ini juga dikedepankan kearifan lokal.
Menurut dia, hal itu agar upaya penanggulangan bencana dapat benar-benar dipahami dan mampu dijalankan masyarakat.
Diskusi yang dipandu Drs. Luthfi A. Mutty, MSi (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu menghadirkan Dr. Ir. Udrekh, SE, MSc (Direktur Pemetaan dan Evaluasi Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB), Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D (Kepala Badan Meteorologi, Kilmatologi dan Geofisika/BMKG), Dr. Ing. Widjo Kongko (Ahli Tsunami serta Perekayasa Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN), dan Dr. Suyoto, M.Si (Bupati Bojonegoro Periode 2008-2018) sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Ahmad Arif (Jurnalis Kompas) dan M. Hariadi Anwar (Kepala Badan Rescue DPP Partai NasDem/Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta) sebagai penanggap.
Sementara itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan dalam melaksanakan tugasnya, BMKG bekerja atas dasar perintah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dengan tujuan melindungi segenap anak bangsa, tumpah darah Indonesia dengan melakukan prediksi, prakiraan terkait meteorologi, klimatologi dan geofisika serta peringatan dini terkait cuaca ekstrem, gelombang tinggi, dan iklim ekstrem.
"Pelayanan informasi terkait meteorologi, klimatologi dan geofisika diberikan kepada masyarakat, juga ke-12 sektor yang membutuhkan, antara lain sektor transportasi, energi, perikanan dan pertanian," katanya.
Menurut dia, BMKG telah melakukan sinergi dengan sejumlah lembaga, antara lain dalam hal informasi meteorologi, klimatologi dan geofisika.
Selain itu, kata dia,, BMKG juga sudah menjalankan manajemen terpadu dalam penanggulangan bencana bersama BNPB dan Badan Geologi lewat penggunaan peladen (server) data bersama yang sudah terintegrasi.
Direktur Pemetaan dan Evaluasi Bencana BNPB Udrekh mengatakan upaya penanggulangan bencana ditujukan untuk menekan tingkat kerugian dan kematian yang ditimbulkan dari bencana tersebut.
Menurut dia, Presiden Joko Widodo pada tahun 2019 telah menegaskan perlunya perencanaan, pelibatan pakar, sinergi untuk upaya pencegahan, mitigasi, dan meningkatkan kesiapsiagaan dalam upaya menghadapi ancaman bencana.
Untuk memenuhi keterpaduan dalam penanggulangan bencana, kata dia, perlu edukasi dan literasi yang masif terkait upaya peningkatan pemahaman masyarakat tentang bencana.
"Saat ini kita memerlukan tata kelola penanggulangan bencana yang operasional dan bukan hanya pada tataran aturan semata. Dengan demikian masyarakat mampu menjadi subjek dalam upaya penanggulangan bencana karena saat ini, pelaksana penanggulangan bencana di pusat dan daerah kapasitas skil dan pengetahuannya masih terbilang rendah," katanya.
Ahli Tsunami dan Perekayasa BRIN Widjo Kongko mengatakan tiga lempengan besar yang melintas di Indonesia selalu bergerak 7-11 centimeter per tahun dan dalam 400 tahun terakhir tercatat 200 kali tsunami di Tanah Air.
Bahkan, kata dia, separuh dari tsunami yang pernah terjadi di Nusantara itu melanda wilayah Indonesia Timur.
"Peristiwa gempa dan tsunami yang berdampak menimbulkan kerugian yang besar, karena banyak hal yang tidak diketahui oleh para pemangku kepentingan. Dengan kondisi tersebut, tegasnya, upaya mitigasi, dan edukasi terkait potensi bencana di Tanah Air harus konsisten dilakukan oleh semua pihak," katanya.
Bupati Bojonegoro Periode 2008-2018 Suyoto mengatakan sinergi terpadu dalam penanggulangan bencana bisa terwujud kalau ada kerja sama dan memiliki visi yang sama antarpemangku kepentingan.
"Sehingga antarpara pelaksana penanggulangan bencana harus memiliki kapasitas yang memadai dalam menghadapi ancaman bencana," katanya.
Oleh karena ketidaktahuan adalah musuh dalam menghadapi bencana, kata dia, kesadaran sosial untuk menanggulangi bencana harus terus ditumbuhkan di masyarakat.
Dalam kesempatan itu, jurnalis senior Saur Hutabarat mengusulkan perlunya reorganisasi kelembagaan dalam penanggulangan bencana di Tanah Air.
"Siapakah yang bertanggung jawab bila terjadi erupsi gunung api, gempa tektonik, dan tsunami secara bersamaan," tanya Saur.
Menurut dia, penggabungan BMKG yang menangani data cuaca dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang menangani kegempaan dalam satu atap diharapkan mampu memberikan deteksi dini terpadu terhadap ancaman bencana di Tanah Air. ***