Siswa Magelang maknai pentas wayang serangga untuk penguatan Pancasila
Magelang (ANTARA) - Ratusan siswa SMA Negeri 1 Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menyaksikan pementasan wayang kulit kontemporer berupa aneka serangga, karya Komunitas Lima Gunung di daerah itu, untuk memaknai pesan lakon terkait dengan penguatan nilai-nilai Pancasila.
Kepala SMA Negeri 1 Grabag Tatak Setyono di sela kegiatan di aula sekolah tersebut di Magelang, Selasa, menyebut kegiatan itu dalam rangkaian pelaksanaan P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) dengan tema "Legenda Nusantara".
"Ini acara yang langka bagi anak-anak. Melalui seminar dikemas dalam pementasan ini, kami mendorong para siswa mengambil manfaat dan maknanya, sekaligus mereka bisa mengapresiasi karya seni bersumber dari kearifan lokal," ujarnya.
Ia mengaku menjumpai potensi kuat para siswa sekolah tersebut terkait dengan seni dan budaya, antara lain karena dukungan lingkungan masyarakat setempat yang hingga saat ini masih menghidupkan kesenian dan merawat tradisi budaya.
Karena itu, kata dia, perlunya kesadaran para siswa menggali kearifan lokal sebagai bagian dari upaya penguatan nilai-nilai Pancasila dalam diri mereka.
Pementasan wayang serangga dilakukan dalang Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh) Kabupaten Magelang Sih Agung Prasetyo dengan memainkan belasan sosok wayang yang menggambarkan aneka serangga. Berbagai sosok serangga yang dibuat wayang kontemporer itu, masih biasa dijumpai anak-anak di lingkungan tempat tinggal mereka. Hadir pula Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto sebagai narasumber.
Pementasan itu diiringi tabuhan sejumlah perangkat gamelan oleh beberapa seniman muda dari Desa Genito, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang tersebut. Saat seorang sinden yang juga guru sekolah itu, Tatik, menembangkan sejumlah lagu berlanggam Jawa di tengah pementasan yang menghadirkan tawa mereka, beberapa siswa secara spontan maju untuk menari.
Melalui dialog antar-tokoh wayang serangga, seperti rayap, walang, gangsir, tawon, kecoa, uret, dan jangkrik, Sih Agung yang juga Kepala Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag itu, menyampaikan berbagai pesan lakon, antara lain tentang kerukunan, toleransi, kerja keras, tekun berdoa, solidaritas, dan cinta alam.
"Itulah bagian dari nilai-nilai Pancasila yang penting untuk hidup bersama kita," kata dia.
Pada kesempatan itu beberapa siswa juga menyampaikan sejumlah pertanyaan terkait dengan Komunitas Lima Gunung yang dibangun sekitar 20 tahun lalu oleh budayawan Magelang, Sutanto Mendut (69), dengan tradisi tahunan mereka menggelar Festival Lima Gunung sejak 2001 hingga 2022.
Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto menjelaskan mereka yang menghidupi komunitas tersebut tidak hanya kalangan seniman petani di kawasan lima gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang. Komunitas tersebut, lanjutnya, juga berjejaring baik secara kelompok maupun personal dengan berbagai kalangan di daerah setempat, luar kota, maupun luar negeri.
"Di komunitas kami setiap orang saling menghormati dan menghargai. Berkesenian dan mengolah kebudayaan menjadi sarana untuk bertemu. Oleh karena itu kami kaya akan perbedaan latar belakang, termasuk tidak hanya dari para seniman, tetapi juga latar belakang pekerjaan dan agama yang berbeda-beda," katanya.
Baca juga: Gedung Narto Sabdo siap digunakan Tahun 2023
Kepala SMA Negeri 1 Grabag Tatak Setyono di sela kegiatan di aula sekolah tersebut di Magelang, Selasa, menyebut kegiatan itu dalam rangkaian pelaksanaan P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) dengan tema "Legenda Nusantara".
"Ini acara yang langka bagi anak-anak. Melalui seminar dikemas dalam pementasan ini, kami mendorong para siswa mengambil manfaat dan maknanya, sekaligus mereka bisa mengapresiasi karya seni bersumber dari kearifan lokal," ujarnya.
Ia mengaku menjumpai potensi kuat para siswa sekolah tersebut terkait dengan seni dan budaya, antara lain karena dukungan lingkungan masyarakat setempat yang hingga saat ini masih menghidupkan kesenian dan merawat tradisi budaya.
Karena itu, kata dia, perlunya kesadaran para siswa menggali kearifan lokal sebagai bagian dari upaya penguatan nilai-nilai Pancasila dalam diri mereka.
Pementasan wayang serangga dilakukan dalang Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh) Kabupaten Magelang Sih Agung Prasetyo dengan memainkan belasan sosok wayang yang menggambarkan aneka serangga. Berbagai sosok serangga yang dibuat wayang kontemporer itu, masih biasa dijumpai anak-anak di lingkungan tempat tinggal mereka. Hadir pula Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto sebagai narasumber.
Pementasan itu diiringi tabuhan sejumlah perangkat gamelan oleh beberapa seniman muda dari Desa Genito, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang tersebut. Saat seorang sinden yang juga guru sekolah itu, Tatik, menembangkan sejumlah lagu berlanggam Jawa di tengah pementasan yang menghadirkan tawa mereka, beberapa siswa secara spontan maju untuk menari.
Melalui dialog antar-tokoh wayang serangga, seperti rayap, walang, gangsir, tawon, kecoa, uret, dan jangkrik, Sih Agung yang juga Kepala Dusun Sudimoro, Desa Baleagung, Kecamatan Grabag itu, menyampaikan berbagai pesan lakon, antara lain tentang kerukunan, toleransi, kerja keras, tekun berdoa, solidaritas, dan cinta alam.
"Itulah bagian dari nilai-nilai Pancasila yang penting untuk hidup bersama kita," kata dia.
Pada kesempatan itu beberapa siswa juga menyampaikan sejumlah pertanyaan terkait dengan Komunitas Lima Gunung yang dibangun sekitar 20 tahun lalu oleh budayawan Magelang, Sutanto Mendut (69), dengan tradisi tahunan mereka menggelar Festival Lima Gunung sejak 2001 hingga 2022.
Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto menjelaskan mereka yang menghidupi komunitas tersebut tidak hanya kalangan seniman petani di kawasan lima gunung yang mengelilingi Kabupaten Magelang. Komunitas tersebut, lanjutnya, juga berjejaring baik secara kelompok maupun personal dengan berbagai kalangan di daerah setempat, luar kota, maupun luar negeri.
"Di komunitas kami setiap orang saling menghormati dan menghargai. Berkesenian dan mengolah kebudayaan menjadi sarana untuk bertemu. Oleh karena itu kami kaya akan perbedaan latar belakang, termasuk tidak hanya dari para seniman, tetapi juga latar belakang pekerjaan dan agama yang berbeda-beda," katanya.
Baca juga: Gedung Narto Sabdo siap digunakan Tahun 2023