Magelang (ANTARA) - Kota Magelang di samping terkenal dengan keberadaan Gunung Tidar dan kuliner Kupat Tahu, sejak lama identik sebagai kota militer.
Dengan pemandangan alam yang indah, diapit dua sungai besar, Kali Elo dan Progo, di tengah-tengahnya menjulang bukit tua dengan pepohonan hijau.
Kota Magelang sejak dahulu diimpikan banyak pemuda dari berbagai penjuru negeri untuk tempat menempa diri sebagai kesatria bangsa, menjadi taruna Akademi Militer. Institusi itu bagaikan kawah candradimuka yang melahirkan para perwira tangguh TNI Angkatan Darat.
Di Kota Magelang juga ada Secaba (Sekolah Calon Bintara TNI AD), salah satu jenjang pendidikan militer, dua batalyon markas, yakni Armed 3 dan Armed 11, serta Rindam IV/Diponegoro. Hal itu membuat kota seluas 18.117 kilometer persegi itu, rujukan pendidikan kemiliteran.
Keberadaan pusat pendidikan militer tersebut, juga memengaruhi perwajahan dan suasana kehidupan kota, antara lain pemandangan iring-iringan kendaraan militer di sepanjang jalan-jalan utama hampir setiap hari bisa disaksikan warga.
Bahkan, pada hari-hari tertentu bisa disaksikan defile taruna dalam barisan Drumband Genderang Seruling Canka Lokananta.
Para taruna berdefile dari alun-alun di pusat kota melewati Jalan Pemuda, Jalan Tidar, dan Jalan Gatot Subroto sebelum kembali ke markas Akmil di sisi barat Gunung Tidar. Pemandangan defile drumband taruna dengan keramaian warga yang menonton, membuat suasana kota seperti halnya sedang menggelar festival.
Genderang Seruling Canka Lokananta atau yang sering disebut Canka Lokananta merupakan kelompok drumband kebanggaan korps taruna Akmil, dengan penampilannya sebagai tradisi turun-temurun, dari generasi satu ke generasi selanjutnya.
Baca juga: Kirab Budaya Ndalu 2019 semarak, diawali taruna Akmil
Dalam akmil.ac.id, situs resmi Akmil, disebutkan bahwa dalam sejarahnya, Canka Lokananta dibentuk pada 16 April 1959. Pelatih pertama, yaitu Lettu Suhirno dengan peralatan yang masih sangat sederhana.
Kini, alat-alat musik yang dipakai sudah lengkap, antara lain snare drum, tenor drum, bass drum, bellyra, trombone, terompet, flute, ditambah dengan kostum yang khas dan menarik perhatian.
Perpaduan suara alat-alat tersebut terdengar khas dan merdu ketika dimainkan oleh para taruna. Hal ini tidak mengherankan karena sebenarnya secara bahasa, Canka Lokananta mempunyai arti suara merdu dari surga.
Dalam setiap atraksi, Genderang Seruling Canka Lokananta dipimpin oleh mayoret atau dalam istilah taruna disebut Penatarama. Biasanya postur tubuhnya lebih tinggi daripada yang lain. Kostum yang dipakai pun unik, penuh dengan aksesoris kebesaran khas militer dan mengenakan topi militer berhiaskan bulu-bulu dari hewan yang diawetkan.
Permainan tongkat komando para Penatarama yang atraktif juga ditunggu penonton. Dengan luwes, ia bergerak kesana-kemari, mengatur barisan, urutan lagu dan mars dinas, formasi variasi, hingga memperingatkan penonton untuk memberikan ruang gerak yang cukup luas bagi penampilan mereka.
Yang paling khas dari korps ini adalah kostum yang dipakai oleh penabuh bass drum dan beberapa pemain tenor. Baju loreng bersayap dengan hiasan kepala model kepala macan.
Macan Lembah Tidar, sebagai sebutan bagi para taruna ini. Ada satu kesaksian yang mengatakan kepala macan yang mereka pakai itu ada yang asli dan tiruan. Untuk yang asli hanya boleh digunakan di kesatriaan Akmil dan tidak boleh digunakan di luar kompleks itu, kecuali dalam kegiatan-kegiatan penting kenegaraan.
Genderang Seruling Canka Lokananta selain menjadi kebanggaan para taruna Akmil, juga salah satu ikon kebanggaan masyarakat Magelang.
Penampilan mereka selalu ditunggu warga, terutama saat-saat tertentu, seperti parade perkenalan taruna junior, prosesi pawai “pamitan” taruna senior yang akan lulus menjadi perwira muda, dan juga saat perayaan hari jadi Kota Magelang, setiap pertengahan April.
Ratusan kadet atau taruna setiap hari-hari tertentu hilir mudik mewarnai penjuru Kota Magelang. Mereka, dengan seragam taruna Akmil, memanfaatkan waktu pesiar selama beberapa jam dengan baik dan disiplin. Waktu mereka untuk pesiar biasanya pada Rabu dan akhir pekan.
Kalau diperhatikan dengan saksama, kegiatan pesiar mereka juga menjadi kekhasan kehidupan Kota Magelang, antara lain tidak ada yang berjalan-jalan seorang diri, paling sedikit dua orang. Langkah kaki mereka pun sering kali terlihat seperti irama berbaris, meskipun hanya berjalan berduaan. Ketika mereka berjalan, badan selalu tegap dan tatapan wajah selalu lurus, ke depan.
Begitu juga ketika mereka memanfaatkan angkutan kota sebagai moda tranportasi untuk berpindah dari satu tempat ke penjuru lain yang agak jauh di kota ini. Minimal juga berdua-dua di angkot. Nyaris tak terlihat seorang taruna pesiar seorang diri.
Pada era 1970-1990-an, mereka sering terlihat banyak yang berpesiar di jalan-jalan protokol di Kota Magelang, terutama sepanjang Jalan Pemuda atau kawasan pertokoan Pecinan.
Seragam harian taruna yang khas dikenakan mereka, tampak rapi dengan warna menarik membuat taruna-taruna berpostur atletis tersebut terlihat gagah.
Barangkali setiap orang di Kota Magelang yang menjumpainya menancapkan angan-angan, harapan, dan bahkan uluran dukungan doa secara spontan untuk masa depan mereka meraih "bintang" (jenderal), lambang tertinggi kesatria bangsa dan negara, melalui perjalanan karier militer selepas dari lembah Tidar.
Pada awal 1970-an, Akmil dan PT KAI pada dekade bekerja sama menghadirkan layanan kereta api khusus, "KA Taruna Express". Kereta ini memang terutama untuk mobilitas para taruna, khususnya tujuan Magelang-Yogyakarta, di mana "Kota Gudeg" tersebut juga menjadi tujuan para taruna memanfaatkan waktu pesiar.
Sayangnya, operasional kereta api jalur Semarang-Magelang-Yogyakarta berhenti saat terjadi banjir lahar hujan dari Gunung Merapi yang menerjang Jembatan Krasak di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta pada Desember 1976. Tamat pula operasional perjalanan "KA Taruna Express". Ambrolnya jembatan kereta api di Krasak tersebut, membuat jalur kereta berhenti total dan mangkrak hingga sekarang.
Demikian juga sekarang ini, hilir mudik taruna Akmil semakin jarang terlihat di sepanjang kawasan pertokoan Pecinan di Jalan Pemuda Kota Magelang.
Baca juga: Wali Kota Magelang berharap taruna Akmil jadi perwira profesional
Entah, apakah kemungkinkan mereka lebih banyak beralih ke Kota Yogyakarta atau Semarang yang sekarang mudah dicapai dengan kendaraan roda empat untuk pesiar. Begitu juga, barangkali hadirnya moda transportasi daring yang lebih memudahkan para taruna memanfaatkan waktu pesiar dengan mengunjungi tempat-tempat terdekat lainnya di luar Kota Magelang.
Barangkali, melalui jalinan kerja sama dengan otoritas di Akmil dan upaya pemerintah kota membangun fasilitas-fasilitas perkotaaan secara lebih lengkap, berkelanjutan, dan kekinian, akan membuat suasana kawasan Pecinan ramai kembali oleh lalu lalang para taruna. Bagaimana pun juga derap sepatu para taruna menghidupkan suasana Kota Magelang.
Ketika mereka memanfaatkan pesiarnya, kawasan pertokoan dan rumah makan-rumah makan menjadi terlihat dikunjungi para taruna.
Tak jarang, sanak saudara mereka juga hadir di Kota Magelang saat hari pesiar. Mereka bertemu dan berbincang antara lain dengan memanfaatkan rumah makan-rumah makan tersebut.
Tempat-tempat itu selanjutnya menjadi salah satu yang tak terlupakan mereka atas Kota Magelang.
Bahkan, hingga sekarang ada warung makan yang legendaris bagi taruna Akmil.
*) Muhammad Nafi, Koordinator Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang
Baca juga: 500 Taruna Akmil Ikuti Donor Darah
Baca juga: 364 taruna Akmil ikuti pembukaan pendidikan tingkat I