Kendal (ANTARA) - Di tengah meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak, pendidikan tentang pubertas seharusnya menjadi benteng awal yang kuat bagi perlindungan diri. Namun, sampai saat ini masih banyak guru di lapangan mengalami kesulitan saat harus membahas topik ini secara mendalam.
Materi pubertas yang menjadi bagian dari pelajaran IPAS (Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial) sering kali hanya disampaikan sebatas hafalan fakta karena rasa sungkan atau kekhawatiran akan reaksi peserta didik. Padahal, pemahaman yang utuh mengenai pubertas tidak hanya penting secara biologis, tetapi juga menjadi fondasi kesadaran diri dan perlindungan terhadap potensi kejahatan seksual.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, guru dapat mencoba menghadirkan pembelajaran yang lebih bermakna dengan menerapkan pendekatan Deep Learning berbasis metode MIKiR (Mengalami, Interaksi, Komunikasi, dan Refleksi) yang diinisiasi oleh Tanoto Foundation.
Pendekatan ini menekankan pembelajaran yang menyenangkan, bermakna, dan penuh kesadaran. Peserta didik tidak hanya menerima informasi, tetapi juga diajak mengalami langsung, berinteraksi aktif, menyampaikan ide, dan merefleksikan proses belajar mereka secara personal.
Kegiatan dimulai dengan sesi refleksi kelompok berdasarkan gender. Anak laki-laki dan perempuan diajak berdiskusi secara terpisah tentang perubahan-perubahan yang mereka alami pada masa pubertas. Pendekatan ini menciptakan ruang yang nyaman untuk bercerita tanpa rasa malu. Selanjutnya, mereka dibagi dalam kelompok campuran dan mendalami materi secara kolaboratif dengan memanfaatkan teknologi berbasis kecerdasan buatan seperti ChatGPT, Perplexity, Gemini, dan Meta AI. Informasi yang diperoleh lalu disusun dalam bentuk presentasi visual menggunakan Canva, dengan fitur kolaborasi waktu nyata agar mereka dapat bekerja bersama dengan aktif.
Setelah memahami materi secara mendalam, peserta didik diajak menonton video edukatif tentang kejahatan seksual pada anak. Tayangan tersebut menjadi pemantik diskusi dan analisis, sekaligus mengantarkan mereka pada tugas membuat poster bertema "Tips Mencegah Kejahatan Seksual". Poster ini menjadi medium komunikasi kreatif yang mencerminkan pemahaman serta kepedulian mereka terhadap perlindungan diri.
Untuk memperkuat pemahaman dengan cara yang menyenangkan, mereka mengikuti kuis berbasis gim edukatif melalui platform Gimkit. Terakhir, seluruh kegiatan ditutup dengan refleksi pribadi yang dituliskan dalam buku harian. Di sana, mereka mengekspresikan apa yang mereka pelajari, bagaimana perasaan mereka, dan apa yang ingin diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil refleksi pembelajaran sangat menggembirakan. Anak-anak menjadi lebih terbuka, percaya diri, dan sadar akan pentingnya menjaga tubuh serta menghargai perubahan diri mereka.
Mereka pun lebih antusias menggunakan teknologi, aktif berdiskusi, dan berpikir kritis serta kreatif. Presentasi dan poster yang mereka hasilkan menunjukkan pemahaman mendalam yang tidak hanya kognitif, tetapi juga emosional dan sosial.
Salah satu peserta didik, Viola dari kelas 5, mengatakan, “Awalnya saya malu membahas tentang pubertas, tapi setelah belajar seperti ini, saya jadi mengerti dan nggak takut lagi.”
Adit, teman sekelasnya, mengungkapkan, “Videonya bikin saya sadar kalau kita harus hati-hati dan nggak gampang percaya sama orang lain.” Adapun Bilqis menambahkan, “Belajarnya seru banget, kita bisa cari informasi pakai AI terus main kuis di Gimkit.”
Meski memberikan dampak positif, masih ada ruang untuk pengembangan. Beberapa peserta didik membutuhkan pendampingan lebih dalam penggunaan teknologi, khususnya saat mengakses informasi dan mengolahnya secara kreatif di Canva. Diperlukan pula panduan sederhana tentang etika digital agar penggunaan AI menjadi bijak dan bertanggung jawab. Selain itu, pentingnya modul refleksi yang lebih terstruktur agar pengalaman belajar peserta didik terdokumentasi dengan lebih baik.
Dukungan dari orang tua juga menjadi faktor penting agar proses pembelajaran dapat berlanjut di luar kelas, terutama melalui diskusi ringan di rumah.
Pengalaman ini membuktikan bahwa dengan pendekatan yang tepat dan ruang belajar yang aman, peserta didik dapat memahami topik sensitif dengan lebih utuh. Mereka bukan hanya belajar tentang perubahan tubuh, tetapi juga belajar menjaga dirinya, membangun empati, dan memberdayakan diri dalam menghadapi realitas di sekitar mereka. ***
* Penulis adalah guru SDN 4 Banyuringin, Kabupaten Kendal