Daya rusak berita palsu (hoaks) yang disebarluaskan melalui jaringan internet, terutama media sosial, begitu mengkhawatirkan. Kecemasan makin bertambah seiring dengan perhelatan pemilihan kepala daerah dan menyongsong Pemilihan Presiden 2019.
Beragam kampanye antihoaks, sosialisasi, dan literasi media sudah sering dilaksanakan oleh pejabat pemerintah, organsiasi profesi media, lembaga swadaya masyarakat, hingga lembaga pendidikan. Hasilnya mungkin ada, namun serangkaian upaya tersebut belum bisa dikatakan efektif.
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 menjadi preseden betapa kebenaran akan konten tidak lagi menjadi pertimbangan teratas bagi warganet (netizen) untuk membagikan melalui media sosial. Produsen hoaks yang mendapatkan bayaran untuk membuat berita palsu itu secara sadar melihat terbelahnya dua kubu besar: Pendukung Ahok dan pembencinya.
Kondisi memanas sebenarnya sudah dimulai pada masa kampanye Pilpres 2014, namun eskalasi memuncak pada Pilkada DKI Jakarta. Kendati hanya berskala regional, isu yang direkayasa itu mampu mengoyak bawah sadar sebagian anak bangsa ini. Isu sara "digoreng" sedemikian rupa hingga menyentuh sisi fanatisme buta hingga tidak lagi menyisakan ruang untuk berdialog; sebuah medium penting bagi tumbuhnya demokrasi.
Sebagai bangsa yang demokrasinya sedang mekar, kebebasan seolah menjadi satu-satunya panduan. Padahal, demokrasi yang sehat mensyaratkan tanggung jawab setiap warga negara untuk memelihara kesepakatan yang sudah diteken para pendiri bangsa: yakni Indonesia sebagai rumah bersama yang beragam.
Perbedaan politik memang mendapat tempat terhormat di negara demokrasi. Namun, mengeksploitasi perbedaan hanya untuk meraup dukungan elektoral dengan memanipulasi nilai-nilai keberagaman adalah membayahakan kelangsungan hidup Bangsa Indonesia.
Sebagai sistem politik, demokrasi memang tidak 100 persen sempurna. Namun, karena sistem ini menjadi kesepakatan dalam menjalankan sistem politik, maka sudah sewajarnya setiap warga mampu menghargai perbedaan dalam bentuk apa pun.
Oleh karena itu, jargon "setuju dalam perbedaan" yang pernah dicetuskan oleh ahli perbandingan agama Mukti Ali penting untuk dijadikan cara berpikir sekaligus bersikap dalam setiap menghadapi malang-melintangnya beragam ide.
Cara bersikap tersebut sangat jelas lebih mengedepankan adu gagasan seraya menoleransi ide yang berbeda -- seekstrem apa pun -- daripada menggunakan kekerasan, terutama kekerasan fisik.
Tidak pada tempatnya jika sebuah ide dihadapi dengan memobilisasi massa yang tidak sependapat dengan dalih pemikiran tersebut sesat. Adu argumentasi, data, dan fakta akan menjadi modal penting untuk menumbuhkan bangsa yang beradab dalam berpikir dan bertindak.
Kita sangat berharap selama masa kampanye pilkada serentak pada saat ini menjadi pengalaman penting sebelum menginjak kampanye Pilres 2019.
Ada kemungkinan bahwa Pilpres 2019 berlangsung seru dan bakal "membelah" dua kubu seperti terjadi pada Pilpres 2014. Kita sudah merasakan sekaligus menyaksikan betapa panas perseteruan dua kubu pada Pilpres 2014. Media sosial menjadi ladang paling subur untuk membiakkan hoaks. Dan, karena fanatisme buta, tidak sedikit yang termakan kabar bohong, bahkan rela menyebarluaskan kembali.
Belajar dari pengalaman Pilkda DKI Jakarta dan Pilpres 2014, sudah saatnya bangsa ini lebih rendah hati dalam menyikapi perbedaan pilihan politik. ***