Magelang, Antara Jateng - Yayasan Samana memberikan penghargaan "Sang Hyang Kamahayanikan" dalam rangkaian Borobudur Writers and Cultural Festival 2016 kepada dua peneliti budaya Nusantara, Karkono Kamajaya (almarhum) dan Halilintar Latief.
"Tahun ini ada dua tokoh yang menerima penghargaan "Sang Hyang Kamahayanikan, bertepatan dengan BWCF Ke-5 (5-8 Oktober 2016)," kata salah seorang pimpinan Yayasan Samana Seno Joko Suyono di Magelang, Sabtu.
Penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan diberikan kepada tokoh perorangan atau kelompok yang telah berjasa dan memiliki kontribusi besar dalam pengkajian budaya dan sejarah Nusantara, antara lain sejarawan, sastrawan, arkeolog, budayawan, penulis buku berlatar sejarah, dramawan, dalang, rohaniawan, dan filolog.
Penyerahan penghargaan, katanya, rencananya oleh Direktur Yayasan Samana Yoke Darmawan kepada perwakilan Lembaga Javanologi Yogyakarta yang mewakili Karkono Kamajaya (1915-2003) dan Halilintar Latief, antropolog Universitas Negeri Makassar yang juga Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Sulawesi Selatan.
Seno yang juga salah satu kurator BWCF bersama Mudji Sutrisno, Dorothea Rosa Herliany, Imam Muhtarom, Yoke Darmawan, dan Wicaksono Adi itu, menjelaskan tentang jasa besar dua tokoh tersebut terkait dengan literasi budaya Nusantara.
Karkono yang juga jurnalis, ujarnya, selain tekun mempelajari karya-karya pujangga Jawa, terlibat dalam pendirian berbagai lembaga kajian kebudayaan Jawa, juga membuat alih aksara Serat Centhini dari huruf Jawa ke aksara Latin pada 1973-1982. Tema BWCF 2016 "Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara".
"Proyek yang sebenarnya sudah Karkono mulai sejak 1950 itu upaya memperkenalkan Serat Centhini kepada khalayak luas, terutama kepada mereka yang tidak mengenal dengan baik aksara Jawa," katanya didampingi Dorothea Rosa Herliany yang juga penyair asal Magelang itu.
Ia menjelaskan sebelumnya sudah muncul upaya alih aksara Serat Centhini dari Jawa ke aksara Latin oleh beberapa orang, akan tetapi hanya Karkono Kamajaya yang dapat melakukan secara lengkap lalu menerbitkannya melalui Penerbit Yayasan Centhini.
Pada 1992, Karkono berhasil menerbitkan secara lengkap 12 jilid Serat Centhini yang kemudian dikenal masyarakat luas dan memudahkan para pengkaji karya besar sastra Jawa itu. Karkono menjadi "perintis" yang memopulerkan dan sekaligus "pembuka pintu" Serat Centhini.
Ia menjelaskan tentang Halilintar Latief yang telah menghasilkan puluhan buku tentang kebudayaan Sulawesi yang salah satu di antaranya terkait dengan upacara Bissu dalam tradisi budaya Bugis-Makassar.
Halilintar juga berupaya menghidupkan kembali upacara-upacara Bissu yang pada era 1960-an hendak dihancurkan karena pemberontakan DI/TII dipimpin Kahar Mudzakar.
Bersama aktivitas lain, ia terlibat dalam pendampingan dan revitalisasi upacara-upacara Bissu, mengumpulkan tetua adat untuk diskusi dengan pemerintah dan kaum agamanan untuk mencapai kesepahaman, mendukung pemugaran rumah upacara, pelaksanaan upacara, serta pelantikan lembaga Bissu.
"Ia juga sangat terlibat dalam pemikiran-pemikiran bagaimana agar kebudayaan Bissu bisa menjadi sumber kreativitas kesenian," katanya
Pada BWCF pertama atau 2012, penghargaan "Sang Hyang Kamahayanikan" diberikan Yayasan Samana kepada S.H. Mintardja, pada 2013 A.B. Lapian, pada 2014 Peter Carey, dan pada 2015 Nivel Bullough (Hadi Sidomulyo).