Dipanggilnya perempuan tua yang sedang berjalan kaki melintasi jalan setapak berpaving di tepi kali itu yang telah menjadi jalur rekreasi dan olahraga jalan kaki serta bersepeda masyarakat kota setempat.
Sumarsih (84), nama perempuan sekampung dengan Sang Penyair di Potrosaran, Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, Jawa Tengah itu, kemudian berbincang singkat tentang Menara Bengung.
Bengung atau "Mbengung" sebutan dari bahasa Jawa yang terkait dengan menara dari besi itu dipakai masyarakat setempat untuk menunjuk sirine. Menara Bengung dibuat pada zaman penjajahan Belanda, di empat tempat di Kota Magelang.
Menara Bengung di atas aliran air Kali Kota di Kampung Potrosaran, kondisi papan besi penyangganya sudah berkarat. Saat ini, juga masih tersisa besi berbentuk bundar sebagai pelantang, terletak di atas.
Lokasi itu, sedang ditanamkan oleh Es Wibowo untuk penanda pusat aktivitas seni dan budaya anggota kelompok seni di kampungnya, berjuluk Komunitas Kali Kota.
Tembang berbahasa Jawa yang digubah Arifin, pegiat komunitas tersebut, mengisahkan tentang tempat yang disebut Es Wibowo sebagai Taman Budaya Kali Kota, mendapat kesempatan berkumandang ketika kelompok itu turut menandai peresmian Ruang Media di kompleks Kantor Pemerintah Kota Magelang, belum lama ini. Sebutan "Menara Bengung" menjadi bagian dari syair tembang tersebut.
"'Kali Kota sejarah Magelang iku ana asale. Kali Kota nyekseni nganti seprene. Menara Bengung wis anteng kumandhange," begitu penggalan bait pertama lagu yang disuguhkan dengan iringan gitar para kesempatan yang dihadiri Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito dan beberapa pejabat lainnya, serta para wartawan yang bertugas liputan di daerah setempat.
Terjemahan bebas syair itu, kira-kira, "Kali Kota hingga kini menjadi bagian dari saksi sejarah Kota Magelang. Sirine dari Menara Bengung saat ini sudah tidak berkumandang".
Banyak hal yang lebih detail tentang menara tidak dimengerti oleh Sumarsih dalam perbincangan dengan Es Wibowo di bawah Menara Bengung dengan suasana langit Kota Magelang yang cerah pagi itu.
"Tahunya, kalau sirine ini berbunyi, warga kemudian masuk rumah, sembunyi. Orang-orang seluruh kota mendengarnya," kata Sumarsih dalam bahasa Jawa.
Beberapa saat sebelum beranjak dari tempat itu, dia mengatakan bahwa sudah lama menara itu tidak berfungsi. Alarm dari Menara Bengung telah lama tak berkumandang lagi.
Mungkin saja perempuan tua itu sambil melangkahkan kaki meninggalkan tempat tersebut, menyusuri jalan paving di tepi Kali Kota, berusaha menguak ingatannya lebih banyak lagi tentang apa saja yang dikerjakan dirinya dan warga sekitarnya pada masa lalu, saat berkumandang sirine dari Menara Bengung.
Sementara itu, para pejalan kaki lainnya melintas hilir mudik begitu saja di bawah Menara Bengung. Namun, pagi itu juga terlihat tiga remaja putri secara tiba-tiba duduk bersama di atas paving.
Ternyata mereka asyik berswafoto dengan latar belakang Menara Bengung dan aliran air Kali Kota. Kali sodetan itu panjangnya sekitar 7,5 kilometer dari Kampung Pucangsari hingga Jagoan, Kota Magelang.
Sang Penyair yang membukukan 99 karya puisi pilihan di antara ratusan karya sastranya yang lain, dalam antologi berjudul "Jagad Batin" (2015) tersebut, seakan tidak kuasa menahan bangga atas Menara Bengung dengan Kali Kota-nya itu.
"Yang jelas menara ini didirikan setelah ada listrik di kota ini. Pasalnya, untuk membunyikan sirine ini butuh aliran listrik," ucap Es Wibowo yang juga Pemimpin Padepokan Gunung Tidar Kota Magelang.
Tugu Aniem di titik kilometer nol Kota Magelang menjadi penanda tentang masuknya listrik pertama kali di kota yang pada 11 April 2016 berumur 1110 tahun. "Aniem" adalah singkatan dari Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij, perusahaan lisrik zaman Hindia Belanda. Di bagian tugu di depan Kelenteng Liong Hok Bio Kota Magelang itu, tertera angka tahun 1924.
Ketua Komunitas Kota Toea Magelang Bagus Priyana menyebut empat Menara Bengung dibangun pemerintah penjajahan Belanda di wilayah yang digambarkannya sebagai bagian dari ceruk di antara dua aliran sungai besar, yakni Kali Progo dan Elo, dengan di tengahnya berupa Gunung Tidar.
Kota Magelang luas totalnya 18,12 kilometer persegi meliputi tiga kecamatan dan 17 kelurahan dengan jumlah penduduk, berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemkot Magelang pada tahun 2014, tercatat 120.930 jiwa. Pada masa lalu, kota kecil tersebut menjadi pusat Keresidenan Kedu yang meliputi Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, dan Kebumen.
Bagus Priyana yang bersama anggotanya selama ini memelopori gerakan cinta warisan cagar budaya di Kota Magelang dan sekitarnya itu, menyebut empat Menara Bengung dibangun di kota setempat, yakni di Kampung Potrosaran, Kemirikerep, Poncol, dan "Water Torn" (menara air di Alun-Alun Kota Magelang).
"Yang di Poncol sudah hilang, mungkin sekitar 5 tahun lalu, besi menaranya diambil orang. Menara Bengung di Poncol ada di belakang SMK (sekolah menengah kejuruan) sekarang," ucapnya dalam perbincangan dengan Antara di pusat kuliner "Tuin Van Java" di alun-alun setempat, belum lama ini.
Menara Bengung di Kampung Kemirikerep sebagai yang tertinggi di antara tiga lainnya (Potrosaran, Poncol, dan Kemirikerep), sedangkan sentral di antara empat sirine di atas "Water Torn". Bangunan berupa menara air di alun-alun setempat itu tingginya 21,1 meter dengan 32 pilar raksasa dibangun mulai 1916 dan dioperasikan untuk melayani air bersih warga setempat mulai 1920 hingga saat ini.
"Itu masih ada (perangkat sirine masih ada di 'Water Torn', red.)," ujar pemimpin komunitas dengan program utama sejak beberapa tahun terakhir bernama "Djeladjah Kota Toea", sambil jari tangan kanannya menunjuk puncak Menara "Water Torn" di dekat pusat kuliner "Tuin Van Java" Alun-Alun Kota Magelang.
Sebagaimana Es Wibowo, Priyana pun menjelaskan tentang kemungkinan kegunaan Menara Bengung pada masa lampau sebagai sistem tanda bahaya dan upaya pemerintah penjajahan Belanda untuk mengamankan situasi kota.
Berdasarkan penuturan para orang tua di Kota Magelang yang dijumpainya, relatif cukup banyak warga dari kampung-kampung di sekitar lereng Gunung Merapi yang mengungsi hingga kota itu ketika gunung tersebut meletus dahsyat pada tahun 1930.
"Bisa dipastikan sirine dari Menara Bengung dibunyikan dari sentralnya hingga ke tiga menara lainnya saat Merapi meletus supaya memberi tanda kepada warga," katanya.
Saat Merapi meletus hebat pada akhir 2010, ribuan warga dari kawasan gunung itu juga selama beberapa waktu mengungsi ke Kota Magelang yang juga diliputi abu vulkanis.
Sirine yang dikumandangkan dari Menara Bengung pada masa penjajahan juga menjadi penanda jam malam bagi masyarakat, mulai pukul 18.00 hingga 06.00 WIB di Kota Magelang.
Aktivitas warga, kata dia, relatif hanya terjadi pada siang hari, sedangkan tentara dan polisi Belanda akan menangkap masyarakat umum jika terlihat berada di jalan atau di luar rumah pada malam hari karena dicurigai sebagai pengganggu keamanan kota.
Pembangunan Menara Bengung, kata dia, juga tidak lepas dari antisipasi pemerintah penjajahan Belanda setelah membaca gelagat akan terjadinya Perang Dunia II (1939 sampai dengan 1945).
"Sehingga diperkirakan sirine itu 'mbengung' ketika pasukan militer Jepang masuk Kota Magelang. Tentara Belanda segera bersiaga dan warga bersembunyi. Begitu juga kira-kira bisa digambarkan sirine itu berkumandang saat terjadi perang kemerdekaan," kata Bagus Priyana.
Tentunya masih banyak kisah bertebaran ataupun detail-detail yang tersimpan secara turun-temurun dalam ingatan masyarakat di kota tua itu, atas "Menara Bengung"-nya.
Sementara itu, Komunitas Kali Kota menempatkan "Menara Bengung"-nya menjadi simbol kebanggaan beraktivitas seni budaya, dengan memainkan peran sebagai penyampai tanda akan pentingnya warga memperkuat semangat guyub dan kreatif membangun Kota Magelang ke depan.