"Tahun ini BWCF yang keempat kalinya dengan tema 'Gunung, Bencana, dan Mitos di Nusantara', menghadirkan antara lain para geolog, arkeolog, sejarawan, pakar tradisi lisan, peneliti naskah, dan akademisi," kata pendiri dan pengurus Yayasan Samana sebagai penyelenggara BWCF, Seno Joko Suyono, di Magelang, Sabtu.
Ia mengatakan hal itu pada konferensi pers di Studio Mendut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terkait dengan pelaksanaan BWCF pada 12-14 November 2015 di Candi Borobudur Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Hadir pada kesempatan itu, antara lain budayawan dan pengajar filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara Jakarta Romo Mudji Sutrisno dan budayawan Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Sutanto Mendut.
Seno menyebut sejumlah gunung di Indonesia yang pada masa lampau pernah mengalami letusan dahsyat dan berdampak terhadap perubahan iklim dunia, antara lain Gunung Tambora dan Samalas atau Rinjani purba di Nusa Tenggara Barat, Gunung Merapi dan Sindoro di Jawa Tengah, Gunung Penanggungan dan Bromo di Jawa Timur, Gunung Padang dan Krakatau di Jawa Barat, Gunung Toba di Sumatera Utara.
Para ahli dan peneliti yang menjadi narasumber dalam diskusi kegiatan tersebut di Hotel Manohara di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, antara lain I Made Geria (arkeolog), Indyo Pratomo (geolog), Sugeng Riyanto (arkeolog), Danny Hilman Natawidjaja (geolog), Sutikno Bronto (geolog), Lutfi Yondri (geolog), Hadi Sidomulyo atau Nigel Bullough (sejarawan dan ahli konservasi), Ayu Sutarto (pakar tradisi lisan), Hawe Setiawan (akademisi), dan M. Subagyo (peneliti naskah).
Beberapa penyair yang bakal membacakan karya puisi dengan tema-tema peradaban gunung pada BWCF 2015, antara lain Eko Budianta, Joko Pinurbo, dan Gunawan Maryanto.
Seno yang juga redaktur budaya Majalah Tempo itu, menyebut perdebatan oleh para ahli dalam diskusi BWCF menjadi inspirasi menarik bagi para penulis dan penyair, termasuk para jurnalis.
"Debat-debat dalam BWCF memberi inspirasi bagi penulis. Kita juga butuh inspirasi yang timbul dalam diskusi-diskusi menarik," katanya.
Ia mengatakan peradaban gunung secara arkaik telah lama menjelma menjadi beragam praktik kehidupan masyarakat Nusantara.
Selain itu, ujarnya, kehidupan masyarakat gunung sejak masa lampau hingga saat ini menyimpan "letupan-letupan" budaya yang energik.
Budayawan Romo Mudji Sutrisno mengemukakan peradaban butuh narator, sedangkan Indonesia saat ini masih relatif minim kehadiran orang-orang yang mampu dengan baik menarasikan peradaban.
"Kita kekurangan narator, penulis. Maka tema BWCF ini memberikan inspirasi, menjadi narasi tentang peradaban Indonesia. Contohnya tentang Gunung Merapi yang letusannya dipandang sebagai bencana, kemudian berubah menjadi berkah karena memberi kesuburan. Itu karena ada narasi," katanya.
Rangkaian BWCF, antara lain berupa diskusi tentang peradaban gunung, pentas seni gunung, pembacaan puisi, pameran foto, penyerahan penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan, dan pemutaran film.
Yayasan Samana yang lembaga nirlaba berbasis pengembangan budaya, terutama terkait dengan pengalaman sejarah nusantara, setiap tahun atau sejak 2012 menyelenggarakan BWCF di Candi Borobudur dan kawasannya.
Penyelenggaraan BWCF 2012 dengan tema "Memori dan Imajinasi Nusantara: Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara", pada 2013 "Arus Balik: Memori Rempah dan Bahari Nusantara", pada 2014 "Ratu Adil: Kuasa dan Pemberontakan di Nusantara", dan pada 2015 "Gunung, Bencana, dan Mitos di Nusantara".