Seorang seniman performa, Agus "Merapi" Suyitno, menyiapkan berbagai propreti untuk performa "Ritual Den Baguse Tikus", di satu areal sawah korban serangan tikus selama tiga kali musim tanam terakhir di Dusun Gatak, Desa Pucanganom, Kecamatan Srumbung.
Mereka bertiga, Amat Munaris (75), Nurhadi (50), dan Wiryono (67) seakan menemukan kurun waktu yang sama, yakni selama sekitar 25 tahun terakhir, serangan tikus terhadap areal persawahan dusun setempat nyaris tak terjadi.
"'Sampun selangkung tahun niki mboten wonten tikus. Jan, nek samenika ngantos telas' (Sudah 25 tahun terakhir tidak ada serangan tikus. Tapi kalau sekarang mereka menyerang sampai ludes, red.)," kata seorang petani setempat yang bernama Amat Munaris.
Namun, seorang petani lainnya, Nurhadi (50), kemudian mengoreksi informasi itu, bahwa serangan tikus secara masif di areal persawahan dusun di kawasan tepi Kali Cebong itu yang terakhir sekitar 1963 atau dua tahun pascaerupsi Gunung Merapi pada 1961.
Akan tetapi, mereka seakan membenarkan anggapan bahwa serangan tikus terhadap pertanian setempat, pada dua tahun pascaerupsi Merapi 2010, lebih masif ketimbang kala itu.
"'Mboten namung mangan pantun. Ugi lombok, telo, salak, kubis, kacang, jagung. Sedaya purun'. (Tidak hanya makan padi. Tetapi juga lombok, ketela, salak, kubis, kacang, jagung. Semua mau,red.)," kata Wiryono yang seakan ingin menceritakan kepada sejumlah wartawan bahwa serangan tikus secara masif itu dengan sasaran semua komoditas pertanian setempat.
Selama ini, hama yang menyerang padi mereka antara lain walang, wereng, dan ulat. Akan tetapi, hama itu mudah mereka kendalikan sehingga gangguannya tidak mereka rasakan separah serangan masif tikus saat ini.
Mereka menyebut ribuan ekor tikus setiap malam dan dini hari, terutama mulai pukul 18.30-22.00 WIB dan 04.00-05.00 WIB, menyerang areal pertanian setempat dengan suara yang membuat warga setempat miris mendengarnya.
Selama dua musim tanam padi terakhir yang dilakoni Amat Munasir di arealnya seluas sekitar 2.000 meter persegi, nyaris tak pernah panen. Begitu pula dengan areal sawah 1.000 meter persegi milik Nurhadi, sudah tiga musim tanam, dirinya tak pernah panen.
Lain lagi dengan Wiryono yang menggarap secara "paruhan" dengan pemilik asli atas sawah seluas 4.000 meter persegi di dusun setempat. Ia pun juga tak pernah meraup panenan karena ludes diserang tikus.
"Serangannya kalau kira-kira sudah berumur tanam 1,5 bulan," kata Nurhadi. Masa tanam padi di daerah itu sekitar 110 hari. Rata-rata setiap petani itu mengalami kerugian mencapai Rp600.000 karena tidak bisa panen akibat serangan masif tikus.
"Upaya penanganan dengan memberikan obat tikus telah dilakukan dengan gotong royong petani, tetapi juga masih saja ada serangan. Bangkai tikus yang terkena obat juga tidak pernah ditemukan. Kami dibantu Dinas Pertanian untuk mendapatkan obat tikus," kata Nurhadi yang juga pegiat Kelompok Tani "Sarono Mulyo" Dusun Gatak itu.
Kelompok tani itu hingga saat ini beranggota 40 petani, termasuk tiga petani tersebut, sedangkan total luas pertanian di dusun setempat diperkirakan mencapai 10 hektare.
Mereka juga memperhatikan bahwa serangan masif tikus itu seakan berarak dari tempat yang lebih tinggi dari dusun setempat, dan terus bergerak ke tempat yang lebih rendah ketimbang Gunung Merapi.
"Kalau akhir-akhir ini masih ada (serangan tikus,red.), tapi sudah tidak separah beberapa bulan terakhir lalu," kata Ketua Kelompok Tani "Sedulur Merapi" Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Sibang, pada kesempatan terpisah.
Dusun Gemer sebagai salah satu dusun terakhir, berjarak sekitar tujuh kilometer, sebelum puncak barat daya Gunung Merapi.
Petani setempat pun hanya pasrah menghadapi serangan tikus dengan jumlah yang mencapai ribuan ekor baik siang maupun malam hari itu, terhadap pertanian mereka baik padi maupun aneka tanaman sayuran.
Berbagi cerita yang terkesan penuh semangat hingga saling bersahutan di antara tiga petani Dusun Gatak itu pun terhenti karena mereka kemudian mengikuti pentas performa "Ritual Den Baguse Tikus" yang digelar seniman setempat Agus "Merapi" Suyitno.
Sejumlah properti diletakkan di tengah sawah setempat menyertai performa itu antara lain satu lukisan kanvas karyanya pada 2003 tentang "Dewi Sri" dengan latar belakang Gunung Merapi dengan beberapa lainnya berupa gambar tokoh wayang dan tulisan huruf-huruf Jawa.
Selain itu, anglo berisi arang, bunga mawar merah dan putih, lombok, telur ayam kampung, kacang, ketela, segelas kopi, pisang, jagung, kelapa, beras, dan segenggam tanaman padi.
Satu "ekrak" atau alat perontok padi secara tradisional terbuat dari bambu ditempatkan di areal sawah itu dengan digantungi satu bende bertuliskan huruf Jawa berbunyi "Ya ma ra ja, Ja ra ma ya".
"Itu kalimat mantra tolak balak, mohon keselamatan dan segera terbebas dari musibah ini (serangan tikus, red.)," kata Agus "Merapi".
Saat performa itu, Agus "Merapi" mengenakan caping, berbalut kain putih dengan huruf-huruf Jawa sebagai rajah, berbaju hitam ala petani, dan berbalut kain batik di bagian bawahnya. Muka Agus dipoles dengan goresan warna putih sehingga menyerupai wajah kucing.
Sejumlah petani setempat lainnya turut bergabung mengikuti pentas performa ritual itu dengan duduk bersila menghadap lukisan "Dewi Sri" yang dalam mitologi masyarakat Jawa sebagai dewi kesuburan.
Agus membakar beberapa batang dupa, ia juga menyulut arang di atas anglo itu, dan kemudian memulai mengucapkan doa-doa yang intinya memohon kepada Tuhan agar lahan pertanian setempat segera terbebas dari serangan masif tikus.
Ia pun juga melakukan gerak performa menabuh bende bercat merah itu dengan segenggam tanaman pagi, lalu berjalan mengelilingi lokasi sekitar tempat lukisan "Dewi Sri" ditahtakan.
Sesekali tangannya yang menggenggam dupa dan tanaman padi merentang dan kemudian ia beberapa kali menaburkan bunga mawar putih serta beras ke lukisan "Dewi Sri".
"Segerakan kami terbebas dari musibah ini. Silakan kalau memang 'Den Baguse' (tikus, red.) menginginkan tanaman kami. Tetapi kalau sudah cukup kenyang, segeralah pulang ke Merapi atau ke Laut Kidul, supaya kami bisa panen kembali," demikian sepatah kalimat doa yang diucapkan Agus "Merapi" dalam performa tersebut.
Serangan masif tikus terhadap pertanian di lereng Gunung Merapi memang membuat petani galau. Akan tetapi, mereka berupaya tegar melakoninya sebagai bagian perjalanan di atas lembaran kehidupan alami Merapi.
Mereka berpengharapan kuat bahwa serangan tikus, saat dua tahun pascaerupsi Merapi 2010 itu, akan berlalu secara alamiah, sedangkan tanah pertanian yang subur oleh abu vulkanik gunung itu akan menghujani lagi mereka dengan panenan yang melimpah.