Semarang (ANTARA) - Tidak masalah Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 pada bulan Februari, April, atau Mei asalkan jadwal pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI tidak kurang atau lebih dari 5 tahun.
Namun, jika Pemilu 2024 ditunda, berarti tidak sesuai dengan konstitusi. Oleh karena itu, pada bulan Oktober 2024 harus ada pergantian presiden dan wakil presiden produk Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) 2024.
Analis politik dari Universitas Diponegoro Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. lantas menegaskan bahwa penundaan Pemilu 2024 melanggar konstitusi karena mekanisme siklus 5 tahunan diatur dalam tata kelola perundang-undangan.
Baca juga: Wacana Pemilu 2024 diundur buka kembali kotak pandora
Wacana pengunduran waktu pemilu sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden mengemuka kembali setelah Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan hal itu.
Bahlil dalam acara rilis temuan survei Indikator Politik Indonesia pada hari Senin (10/1) menyebut para pelaku usaha di Indonesia ingin agar Pemilu 2024 diundur karena situasi dunia usaha mulai kembali bangkit setelah terpuruk akibat pandemi COVID-19 dalam 2 tahun terakhir.
Teguh Yuwono yang juga Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Undip Semarang lantas menandaskan bahwa alasan pandemik COVID-19 tidak bisa menunda. Bahkan, negara-negara lain juga menyelenggara pemilu saat wabah virus corona melanda dunia, termasuk Indonesia.
Alumnus Flinders University Australia ini lantas mencontohkan Pilpres Amerika Serikat 2020 yang pelaksanaannya di awal wabah virus corona melanda dunia. Pemilihan langsung di Negara Paman Sam ini tetap berlangsung dan tidak ada masalah.
Sebetulnya secara teoretis kalau siklus 5 tahunan itu kemudian dengan alasan ini dan itu ditunda, justru berpeluang menjadi kaos (chaos) atau keadaan kacau balau.
Presiden RI Joko Widodo selaku Kepala Negara harus memastikan tidak melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Dalam hal ini, pemerintah mempersiapkan segala kemungkinan terkait dengan pelaksanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah pada tahun yang sama dengan kondisi seperti sekarang ini.
Oleh karena itu, media massa melalui pemberitaannya selalu mengingatkan para pihak, khususnya pemerintah, bahwa wacana penundaan pemilu inkonstitusional, bahkan bisa menimbulkan banyak persoalan.
Apalagi, kata Teguh Yuwono yang pernah sebagai Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Undip, tidak ada aturan mengenai perpanjangan waktu dalam konstitusi.
Pemetaan Tahapan Pemilihan
Begitu pula dari sisi penahapan Pemilu dan Pilkada 2024, tidak ada masalah asalkan penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum/DKPP) sedini mungkin memetakan tahapan mana saja yang berpotensi terjadi irisan yang tajam antara tahapan pemilu dan pilkada.
Pemetaan tahapan pemilihan ini penting agar pada titik tertentu penyelenggara pemilu bisa mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Pada prinsipnya pemetaan irisan tahapan pemilu dengan tahapan pilkada ini jangan sampai menambah beban kerja penyelenggara pemilu yang menyebabkan mereka kelelahan yang berujung nyawa seperti kejadian pada Pemilu 2019.
Masalahnya, pada tahun 2024 bakal digelar megapesta demokrasi 5 tahunan untuk memilih presiden/wakil presiden, anggota DPR, anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), serta anggota DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Pada tahun yang sama meski bulan berbeda, penyelenggara pemilu juga melaksanakan pemilihan serentak nasional atau pilkada di 34 provinsi dan di 514 kabupaten/kota. Pilkada ini sudah ditetapkan oleh UU Pilkada Pasal 201 ayat (8) pada bulan November 2024.
Pada Pemilu 2019, meski tidak bersamaan dengan pelaksanaan pilkada serentak, menimbulkan korban jiwa. Berdasarkan catatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tercatat 894 petugas pemilu meninggal dunia dan 5.175 mengalami sakit akibat faktor kelelahan.
Kejadian tersebut perlu menjadi catatan khusus bagi pemangku kepentingan agar kejadian serupa tidak terulang pada Pemilu dan Pilkada 2024. Oleh karena itu, perlu perhatian serius ketika terjadi irisan tahapan kedua pesta demokrasi tersebut.
Apa yang disampaikan oleh sejumlah pihak terkait dengan masa kampanye diperpendek dibanding dari waktu kampanye Pemilu 2019 perlu dijadikan bahan pertimbangan pemangku kepentingan, khususnya penyelenggara pemilu, DPR, dan pemerintah. Jika terlalu lama masa kampanyenya, akan memicu politik biaya tinggi dan polarisasi yang menguat di tengah masyarakat.
Sebelumnya, masa kampanye calon anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 selama 6 bulan 21 hari (23 September 2018 sampai dengan 13 April 2019).
Baca juga: Perlu mendengar suara masyarakat sipil dalam penetapan Pemilu 2024
Namun, penyelenggara pemilu, DPR, dan pemerintah perlu ada kesepakatan berapa lama masa kampanye pada Pemilu 2024 yang ideal agar irisan tahapan pemilu dengan tahapan pilkada tidak sampai menambah beban penyelenggara pemilu.
Apalagi, kata anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, KPU bisa memperpendek masa kampanye pada Pemilu 2024 sepanjang kalkulasi tahapannya tidak bertentangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Dalam Pasal 276 ayat (1) UU Pemilu disebutkan bahwa kampanye pemilu dilaksanakan sejak 3 (tiga) hari setelah ditetapkan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pasangan calon untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan dimulainya masa tenang.
KPU bisa mengatur waktu penetapan daftar calon tetap (DCT) dan pasangan calon (paslon) tetap yang tidak terlalu lama jaraknya dengan masa tenang sebelum hari-H pemungutan suara.
Terkait dengan aturan main pemilu/pemilihan yang belum ada di dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada, Titi Anggraini menyebutkan ada banyak hal yang berkaitan dengan terobosan dan inovasi penyelenggaraan pemilu yang perlu pengaturan lebih baik dalam PKPU. Misalnya, penerapan sistem teknologi informasi rekapitulasi suara secara elektronik atau Sirekap.
Meskipun Sirekap masih berfungsi sebagai alat bantu atau instrumen akuntabilitas, menurut Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perludem, tetap memerlukan pengaturan yang komprehensif dan kukuh agar pelaksanaannya di lapangan bisa berjalan baik dan tidak menimbulkan masalah.
Selain itu, penggunaan teknologi informasi pendaftaran partai politik peserta pemilu atau Sipol perlu penguatan pengaturan dalam PKPU agar semua pihak bisa memahami dan menerima dengan baik.
Dengan demikian, pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu bisa berlangsung efektif dan efisien di tengah animo kehadiran cukup banyak partai politik baru.
Dengan kehadiran Sipol, diyakini validitas dan akurasi pendaftaran dan verifikasi parpol bisa terjamin sebab prosesnya diupayakan lebih profesional dan kredibel melalui bantuan penggunaan sistem teknologi informasi pemilu.
Baca juga: Tiga skenario Pemilu 2024: Februari, April, atau Mei