Semarang (ANTARA) - Penyelenggara pemilihan umum bersama DPR RI dan pemerintah pada tahun ini akan membahas kembali mengenai penetapan tanggal pelaksanaan Pemilu 2024 dan pemilihan kepala daerah di 34 provinsi dan di 514 kabupaten/kota pada tahun yang sama.
Pemerintah dan DPR RI tidak sekadar mendengar sekaligus mengakomodasi suara rakyat, tetapi perlu membahasnya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI).
Begitu pula, terkait dengan penyusunan Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pemilihan Umum dan Pilkada 2024, penyelenggara pemilu ini perlu pula mengakomodasi masukan-masukan dari pelbagai pihak, termasuk masyarakat sipil.
Bahkan, menjelang akhir tahun 2021, isu ini cukup santer. Ditambah lagi ada penundaan rapat dengar pendapat antara penyelenggara pemilu, DPR RI, dan pemerintah terkait dengan penetapan tanggal dan bulan pelaksanaan Pemilu 2024, masyarakat sipil pun angkat bicara.
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menyayangkan pembahasan jadwal Pemilu 2024 berlarut-larut meski Pasal 167 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilu ditetapkan dengan keputusan KPU.
Kompleksitas penentuan jadwal ini, menurut Titi Anggraini, tidak lepas dari adanya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berlangsung pada bulan November 2024, sebagaimana amanat Pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Oleh karena itu, menentukan jadwal pemilu serentak, pemilu anggota legislatif (pileg), dan pemilu presiden (pilpres) juga harus menghitung irisan waktu dengan penyelenggaraan pilkada. Masalahnya, hari-H pemungutan suara pemilu yang terlalu dekat dengan pilkada tentu lebih berisiko terhadap beratnya beban penyelenggaraan dan potensi konflik yang bisa terjadi.
Sulit untuk membantah bahwa pembahasan jadwal yang tertunda benar-benar bebas dari kepentingan para pihak dalam menentukan hari pemungutan suara sesuai dengan preferensi mereka, khususnya bagi yang menghendaki agar hari pemungutan suara berlangsung pada tanggal 15 Mei 2024.
Apalagi, kata pegiat pemilu ini, sebelumnya Pemerintah melalui Kemendagri sempat menyatakan agar jadwal pemilu diputuskan saja oleh KPU yang baru, bukan oleh KPU yang saat ini menjabat.
Suara Tuhan
Dalam webinar yang diadakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah pada tanggal 31 Oktober 2021 terdengar kembali istilah vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan.
Istilah ini disampaikan kembali oleh Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati dalam materinya berjudul Catatan Kritis dan Peran Masyarakat Sipil terhadap Proses Seleksi KPU/Bawaslu dan Menjawab Kompleksitas Pemilu 2024.
Suara masyarakat sipil, menurut Neni Nur Hayati, nyatanya tidak didengarkan secara serius oleh pemerintah maupun DPR. Bahkan, hanya sebatas diakomodasi saja tetapi nyaris tidak pernah terimplementasikan. Ini menunjukkan bahwa kekuatan massa masyarakat sipil yang masih lemah, sementara pihak elite sudah menyiapkan agenda setting yang berpotensi bertentangan dengan kehendak rakyat.
Demokrasi liberal Indonesia melahirkan kekebalan elite politik. Demokrasi bahkan disebut vox populi vox dei. Ketika rakyat sudah bersuara mesti diberi nilai tertinggi, terkoneksi misi ketuhanan.
Di dalamnya ada sakralisasi demokrasi yang tidak boleh diabaikan dan diselewengkan. Ketika para elite di eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah berkehendak meski ditentang rakyat, tidak ada yang dapat mencegah dan menghentikan, bahkan suara Tuhan pun tidak didengar (Haedar Nashir, 2020).
Sepanjang aspirasi dari masyarakat sipil tidak bertentangan dengan konstitusi, termasuk penentuan hari-H pencoblosan Pemilu Presiden/Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, dan pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, penyelenggara pemilu, DPR, dan pemerintah perlu membahasnya.
Sebaliknya, apabila masukan dan saran dari para pegiat pemilu tidak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945, sebaiknya jangan sampai mengabaikannya. Oleh karena itu, mereka perlu pula menerima masukan semua pihak, termasuk pakar hukum tata negara, sebelum menyepakati hari-H Pemilu 2024.
Wacana Hari-H
Sepanjang tahun 2021 setidaknya ada tiga wacana terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2024, yakni 21 Februari, 17 April, dan 15 Mei. Namun, semua itu jangan sampai melanggar konstitusi, kecuali menjelang pemilihan ada amendemen UUD NRI Tahun 1945.
Oleh sebab itu, penyelenggara pemilu, DPR, dan pemerintah perlu memperhatikan hari-H pelantikan calon terpilih, baik pada Pemilu Presiden/Wakil Presiden, Pemilu Anggota DPR RI, Pemilu Anggota DPD RI, maupun calon terpilih pada pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Terkait dengan pemilihan umum ini sudah termaktub dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Disebutkan dalam ayat (1) bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali.
Selanjutnya, dalam ayat (2) menyebutkan pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), presiden dan wakil presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Khusus terkait dengan masa jabatan presiden/wakil presiden, dalam Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Dengan penetapan pemilu setiap 17 April, kata Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013—2015 Hamdan Zoelva, tidak mengubah agenda pelantikan pasangan calon terpilih pada pilpres, yakni setiap 20 Oktober. Hal ini sudah teruji pada Pilpres 2014 dan 2019.
Begitu pula pelantikan calon anggota legislatif (caleg) terpilih pada Pemilu Anggota DPR dan Pemilu Anggota DPD 2019, sudah dipastikan sebelum anggota DPR/DPD periode 2014—2019 berakhir. Produk Pemilu 2019 dilantik pada tanggal 1 Oktober.
Penyelenggara perlu memperhitungkan pula sengketa hasil pemilu di MK, bahkan ada kemungkinan pemungutan suara ulang (PSU). Pada saat yang sama, pilkada memasuki tahapan bimtek petugas, pemutakhiran data pemilih, dan verifikasi dukungan calon perseorangan. Belum lagi, kalau ada putaran kedua pilpres.
Atas dasar itulah pakar hukum tata negara Hamdan Zoelva menyarankan agar pembentuk undang-undang untuk menetapkan agenda pemilu pada tanggal dan bulan yang sama, atau tidak berubah-ubah setiap pelaksanaan pemilu.
Pada prinsipnya, baik pelaksanaan pada tanggal 21 Februari, 17 April, maupun 15 Mei, pelantikan calon terpilih pada Pemilu 2024 jangan sampai melebihi masa jabatan presiden/wakil presiden dan legislator meskipun lebih dari 1 hari.