Dukungan orang tua, Kunci sukses vaksinasi anak 6-11 tahun
Semarang (ANTARA) - Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menilai dukungan orang tua merupakan kunci sukses pelaksanaan vaksinasi anak usia 6-11 tahun yang secara resmi dimulai Selasa, 14 Desember 2021.
Pelaksanaan vaksinasi anak telah dimulai dari wilayah dengan cakupan vaksinasi dosis pertama di atas 70 persen dan vaksinasi lansia di atas 60 persen, kick off dilakukan di 115 kabupaten/kota dan akan terus bertambah.
“Pelaksanaan vaksin untuk anak 6-11 tahun berjalan lancar, aman, dan peminatnya makin lama makin banyak,” kata Maxi dalam Dialog Produktif Media Center Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) – KPCPEN, Senin (20/12/2021).
Berdasarkan pantauan pada seminggu terakhir, kata Maxi, sudah lebih dari 500 ribu anak yang tervaksinasi dari total sasaran 26,5 juta anak dan harapannya orang tua memahami tujuan vaksinasi untuk mencegah masuknya virus.
"Banyak penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Bila sakit bisa dicegah otomatis maka hal ini mencegah angka kematian. Vaksinasi anak sekolah, maka saat dia pulang ke rumah, aman terutama jika ada kakek nenek di rumah. Apalagi saat ini sudah ada pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas, jadi lebih baik anak-anak divaksinasi,” jelas Maxi.
Vaksin yang digunakan untuk anak adalah vaksin Sinovac yang sudah mendapat EUA (izin penggunaan darurat dari Badan POM) dan disetujui ITAGI. Vaksinasi anak dilakukan di sejumlah fasilitas layanan kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit, juga sejumlah sentra vaksinasi termasuk sekolah.
“Justru diharapkan bisa dilakukan vaksinasi di sekolah, dalam hal ini Kemenkes bekerja sama dengan Kemendikbud. Serta dengan Kemenag, untuk sekolah berbasis keagamaan dan yayasan-yayasan,” kata Maxi.
Pelaksanaan vaksinasi anak usia 6-11 tahun, lanjutnya, dibantu Pemda, TNI Polri, juga pemangku kepentingan lain seperti pihak swasta dan organisasi keagamaan untuk sukseskan vaksinasi termasuk peran para orang tua dan masyarakat dalam menyampaikan informasi yang benar serta melawan hoaks.
Maxi menyarankan vaksinasi di sekolah juga menghadirkan orang tua agar mereka bisa menyaksikan dan anak-anak yang sudah divaksin bisa menjelaskan ke anak lain, demikian juga orang tua yang anaknya sudah divaksin, bisa berbagi dengan orang tua lain yang anaknya belum divaksin,” katanya.
Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Sri Rezeki Hadinegoro menjelaskan kenapa anak-anak perlu diberikan vaksin COVID-19.
“Kalau kita lihat, anak-anak usia 6-11 tahun kalau kena COVID cenderung ringan atau tanpa gejala. Namun COVID juga bisa menyebabkan gejala berat dan harus dirawat terutama anak dengan komorbid, misalnya penyakit jantung bawaan, diabetes dan asma,” ujarnya.
Sri menambahkan, meski gejala klinis COVID-19 pada anak ringan, namun anak-anak ini tetap bisa menularkan virus ke orang-orang sekitar, termasuk kepada anggota keluarga lansia.
"Bila kakek nenek dengan komorbid belum divaksin maka bila terinfeksi COVID bisa berbahaya. Jadi vaksinasi pada anak ada keuntungan untuk diri sendiri dan orang lain. Apalagi anak-anak bersiap PTM, maka vaksinasi perlu dilakukan," katanya.
Vaksinasi anak juga penting guna mencapai kekebalan kelompok, karena kalau mau mencapai herd immunity, perlu memvaksinasi 70 persen dari sasaran vaksinasi atau 40 persen dari populasi, termasuk anak.
Sri menegaskan Prokes 5M dan vaksinasi harus dikerjakan bersama, guna meminimalisasi penularan. Terkait hal ini, ia juga menjelaskan risiko anak menjadi super spreader.
“Ada anak lucu digendong-gendong, dicium-cium padahal OTG sehingga bisa menular ke orang lain. Dengan menjalankan Prokes dan vaksinasi maka penularan akan minimal. Kalau sakitnya ringan, maka angka kematian bisa ditekan. Kalau ada penyakit yang menyebabkan orang meninggal artinya masih ada masalah,” kata Sri.
Terkait lokasi vaksinasi, ia menyebutkan, ada alasan mengapa vaksinasi anak usia 6-11 tahun sebaiknya dilakukan di sekolah, sebagaimana program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) yang biasa dilaksanakan pada Oktober-November. Lokasi di sekolah menurutnya baik, dengan pertimbangan kondisi psikologis anak.
"Di sekolah suasananya beda daripada vaksinasi dikerjakan di rumah sakit. Apalagi lihat anak-anak lain disuntik tidak menangis, maka anak akan malu jika menangis. Selain itu ada guru yang sudah dikenal, ayah ibunya bisa menunggu. Selain itu anak-anak bisa diatur kedatangannya, jangan bergerombol. Sekolah harus menyediakan sarana jika terjadi emergensi, misalnya oksigen dan infus set, serta ada guru UKS yang bertanggung jawab terhadap anak-anak yang sakit,” katanya.
Ketua ITAGI juga mengingatkan pentingnya mengejar imunisasi rutin setiap tahun pada anak, yang selama pandemi COVID diakui agak ketinggalan karena segenap sumber daya dikerahkan untuk mengatasi pandemi.
Untuk itu, ia mendorong orang tua untuk memastikan kembali jadwal imunisasi rutin yang ada, vaksin COVID-19 dan imunisasi rutin dapat dilakukan selang dua minggu.
Bagi anak yang memiliki alergi, Sri menganjurkan orang tua untuk memvaksinasi anaknya di fasyankes yang memiliki peralatan lengkap, sehingga jika ada reaksi pascavaksinasi bisa selekasnya ditangani.
Vaksinasi merupakan pemenuhan hak anak untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, kata Psikolog anak Seto Mulyadi.
Pengertian tersebut, menurut Kak Seto, harus dikampanyekan terus-menerus guna menghapus keraguan orang tua akan pentingnya vaksinasi anak.
Dalam hal ini ia menyayangkan bahwa kadang justru orang tua yang menjadi penghalang vaksinasi bagi anak.
“Kadang orang tua yang menghalangi karena berbagai hoaks. Karenanya penjelasan kepada orang tua perlu diberikan agar mereka tidak lagi percaya hoaks dan mau mengizinkan anak untuk divaksinasi COVID-19,” kata Kak Seto.
Bila perlu, menurutnya, dapat dengan pendekatan khusus dari RT dan RW, juga informasi resmi dari pemerintah.
Dalam hal ini, pemberdayaan kerukunan RT dan RW harus dapat ditingkatkan. Kak Seto menekankan, bahwa gotong royong melawan hoaks di antara masyarakat tersebut juga perlu diupayakan
“Orang tua diharapkan akhirnya terbuka dan bersinergi bersama,” tambahnya.
Selain itu, pendekatan kepada anak dengan bahasa anak juga perlu. Bahkan, anak yang sudah paham selanjutnya juga dapat membantu meyakinkan orang tua dan saat ini, hal penting untuk anak adalah hak hidup dan hak sehat, termasuk sehat mental.
“Dengan anak gembira, maka resiliensi (daya lenting) akan naik, imun kuat, sedangkan anak yang depresi mudah sakit, itu malah kontraproduktif di masa pandemi sekarang ini,” tutup Kak Seto.
Pelaksanaan vaksinasi anak telah dimulai dari wilayah dengan cakupan vaksinasi dosis pertama di atas 70 persen dan vaksinasi lansia di atas 60 persen, kick off dilakukan di 115 kabupaten/kota dan akan terus bertambah.
“Pelaksanaan vaksin untuk anak 6-11 tahun berjalan lancar, aman, dan peminatnya makin lama makin banyak,” kata Maxi dalam Dialog Produktif Media Center Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) – KPCPEN, Senin (20/12/2021).
Berdasarkan pantauan pada seminggu terakhir, kata Maxi, sudah lebih dari 500 ribu anak yang tervaksinasi dari total sasaran 26,5 juta anak dan harapannya orang tua memahami tujuan vaksinasi untuk mencegah masuknya virus.
"Banyak penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Bila sakit bisa dicegah otomatis maka hal ini mencegah angka kematian. Vaksinasi anak sekolah, maka saat dia pulang ke rumah, aman terutama jika ada kakek nenek di rumah. Apalagi saat ini sudah ada pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas, jadi lebih baik anak-anak divaksinasi,” jelas Maxi.
Vaksin yang digunakan untuk anak adalah vaksin Sinovac yang sudah mendapat EUA (izin penggunaan darurat dari Badan POM) dan disetujui ITAGI. Vaksinasi anak dilakukan di sejumlah fasilitas layanan kesehatan, seperti puskesmas dan rumah sakit, juga sejumlah sentra vaksinasi termasuk sekolah.
“Justru diharapkan bisa dilakukan vaksinasi di sekolah, dalam hal ini Kemenkes bekerja sama dengan Kemendikbud. Serta dengan Kemenag, untuk sekolah berbasis keagamaan dan yayasan-yayasan,” kata Maxi.
Pelaksanaan vaksinasi anak usia 6-11 tahun, lanjutnya, dibantu Pemda, TNI Polri, juga pemangku kepentingan lain seperti pihak swasta dan organisasi keagamaan untuk sukseskan vaksinasi termasuk peran para orang tua dan masyarakat dalam menyampaikan informasi yang benar serta melawan hoaks.
Maxi menyarankan vaksinasi di sekolah juga menghadirkan orang tua agar mereka bisa menyaksikan dan anak-anak yang sudah divaksin bisa menjelaskan ke anak lain, demikian juga orang tua yang anaknya sudah divaksin, bisa berbagi dengan orang tua lain yang anaknya belum divaksin,” katanya.
Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) Sri Rezeki Hadinegoro menjelaskan kenapa anak-anak perlu diberikan vaksin COVID-19.
“Kalau kita lihat, anak-anak usia 6-11 tahun kalau kena COVID cenderung ringan atau tanpa gejala. Namun COVID juga bisa menyebabkan gejala berat dan harus dirawat terutama anak dengan komorbid, misalnya penyakit jantung bawaan, diabetes dan asma,” ujarnya.
Sri menambahkan, meski gejala klinis COVID-19 pada anak ringan, namun anak-anak ini tetap bisa menularkan virus ke orang-orang sekitar, termasuk kepada anggota keluarga lansia.
"Bila kakek nenek dengan komorbid belum divaksin maka bila terinfeksi COVID bisa berbahaya. Jadi vaksinasi pada anak ada keuntungan untuk diri sendiri dan orang lain. Apalagi anak-anak bersiap PTM, maka vaksinasi perlu dilakukan," katanya.
Vaksinasi anak juga penting guna mencapai kekebalan kelompok, karena kalau mau mencapai herd immunity, perlu memvaksinasi 70 persen dari sasaran vaksinasi atau 40 persen dari populasi, termasuk anak.
Sri menegaskan Prokes 5M dan vaksinasi harus dikerjakan bersama, guna meminimalisasi penularan. Terkait hal ini, ia juga menjelaskan risiko anak menjadi super spreader.
“Ada anak lucu digendong-gendong, dicium-cium padahal OTG sehingga bisa menular ke orang lain. Dengan menjalankan Prokes dan vaksinasi maka penularan akan minimal. Kalau sakitnya ringan, maka angka kematian bisa ditekan. Kalau ada penyakit yang menyebabkan orang meninggal artinya masih ada masalah,” kata Sri.
Terkait lokasi vaksinasi, ia menyebutkan, ada alasan mengapa vaksinasi anak usia 6-11 tahun sebaiknya dilakukan di sekolah, sebagaimana program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) yang biasa dilaksanakan pada Oktober-November. Lokasi di sekolah menurutnya baik, dengan pertimbangan kondisi psikologis anak.
"Di sekolah suasananya beda daripada vaksinasi dikerjakan di rumah sakit. Apalagi lihat anak-anak lain disuntik tidak menangis, maka anak akan malu jika menangis. Selain itu ada guru yang sudah dikenal, ayah ibunya bisa menunggu. Selain itu anak-anak bisa diatur kedatangannya, jangan bergerombol. Sekolah harus menyediakan sarana jika terjadi emergensi, misalnya oksigen dan infus set, serta ada guru UKS yang bertanggung jawab terhadap anak-anak yang sakit,” katanya.
Ketua ITAGI juga mengingatkan pentingnya mengejar imunisasi rutin setiap tahun pada anak, yang selama pandemi COVID diakui agak ketinggalan karena segenap sumber daya dikerahkan untuk mengatasi pandemi.
Untuk itu, ia mendorong orang tua untuk memastikan kembali jadwal imunisasi rutin yang ada, vaksin COVID-19 dan imunisasi rutin dapat dilakukan selang dua minggu.
Bagi anak yang memiliki alergi, Sri menganjurkan orang tua untuk memvaksinasi anaknya di fasyankes yang memiliki peralatan lengkap, sehingga jika ada reaksi pascavaksinasi bisa selekasnya ditangani.
Vaksinasi merupakan pemenuhan hak anak untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan baik, kata Psikolog anak Seto Mulyadi.
Pengertian tersebut, menurut Kak Seto, harus dikampanyekan terus-menerus guna menghapus keraguan orang tua akan pentingnya vaksinasi anak.
Dalam hal ini ia menyayangkan bahwa kadang justru orang tua yang menjadi penghalang vaksinasi bagi anak.
“Kadang orang tua yang menghalangi karena berbagai hoaks. Karenanya penjelasan kepada orang tua perlu diberikan agar mereka tidak lagi percaya hoaks dan mau mengizinkan anak untuk divaksinasi COVID-19,” kata Kak Seto.
Bila perlu, menurutnya, dapat dengan pendekatan khusus dari RT dan RW, juga informasi resmi dari pemerintah.
Dalam hal ini, pemberdayaan kerukunan RT dan RW harus dapat ditingkatkan. Kak Seto menekankan, bahwa gotong royong melawan hoaks di antara masyarakat tersebut juga perlu diupayakan
“Orang tua diharapkan akhirnya terbuka dan bersinergi bersama,” tambahnya.
Selain itu, pendekatan kepada anak dengan bahasa anak juga perlu. Bahkan, anak yang sudah paham selanjutnya juga dapat membantu meyakinkan orang tua dan saat ini, hal penting untuk anak adalah hak hidup dan hak sehat, termasuk sehat mental.
“Dengan anak gembira, maka resiliensi (daya lenting) akan naik, imun kuat, sedangkan anak yang depresi mudah sakit, itu malah kontraproduktif di masa pandemi sekarang ini,” tutup Kak Seto.