Tidak ada tes yang 100 persen akurat dan beberapa hasilnya mungkin keliru memperlihatkan seseorang positif tapi ternyata tidak.
Tes COVID-19 biasanya menggunakan swab dari belakang hidung atau tenggorokan seseorang. Swab ini lalu dibawa ke laboratorium untuk diperiksa.
Setiap tes medis memiliki dua kualitas penting yakni sensitivitas dan spesifisitas. Tes ini terbukti “sensitif” dalam kondisi laboratorium - dalam hal ini, ukuran teknis dari jumlah virus terkecil yang dapat mereka deteksi.
Tetapi tes juga harus "spesifik" - misalnya, memastikan tidak ada kesalahan menilai patogen lain, seperti virus corona flu biasa atau SARS-CoV-2.
"Jika positif, Anda benar-benar dapat membuat keputusan (klinis). Jika itu negatif, Anda mungkin baru mengalami awal infeksi dan jumlah virus mungkin sangat rendah sehingga Anda tidak mendapatkannya," kata Anthony S. Fauci, direktur Institut Nasional untuk Penyakit Alergi dan Penyakit Menular di Amerika Serikat.
Orang yang hasil tesnya negatif mungkin bingung dan sulit mempercayai hasilnya.
Ada beberapa alasan hasil tes bisa menjadi negatif ketika seseorang terinfeksi SARS-CoV-2, salah satunya masih dalam tahap sangat awal atau saat jumlah virus di saluran napas masih sedikit.
Selain itu, bisa jadi ada masalah dalam pengumpulan swab. Berbagai jenis pengumpulan swab seperti bagian belakang hidung, tenggorokan, hidung bagian luar - mungkin juga memiliki tingkat akurasi yang berbeda.
Hal lainnya, mungkin ada masalah saat distribusi swab ke laboratorium.
Sementara itu, jenis tes lain yakni tes genetik yang digunakan di China diklaim tidak terlalu sensitif. Laporan menunjukkan, orang harus berkali-kali diambil swab-nya untuk keperluan tes.
Ada juga dokter yang menggunakan CT scan pada paru-paru orang untuk mendiagnosis penyakit karena ini dinilai lebih sensitif.
Tetapi di Amerika Serikat hal berbeda terjadi. Jeffrey P. Kanne dari University of Wisconsin School of Medicine and Public Health tidak merekomendasikan CT scan untuk mendiagnosis pasien tanpa tes genetik.
Demetre Daskalakis, wakil komisaris untuk divisi pengendalian penyakit dari Departemen Kesehatan di New York, mengatakan baru-baru ini menyarankan seorang pasien dengan gejala ringan namun negatif corona bertindak seolah-olah positif.
"Kemungkinan jika Anda menderita demam atau batuk dalam pandemi, itu jelas COVID-19. Bahkan jika tesnya negatif, ”kata Daskalakis seperti dilansir The Washington Post.
“Tes ini adalah alat skrining. Kita harus memikirkan probabilitasnya, yang berarti tes positif adalah probabilitas virus yang sangat tinggi," tutur Michael Z. Lin, asisten profesor neurobiologi di Stanford University.
"Tes negatif lebih sulit untuk ditafsirkan," imbuh dia.
Jika Anda bergejala tetapi belum pernah berhubungan dekat dengan orang yang terinfeksi, hasil tes negatif mungkin benar-benar negatif.
Tapi, seiring virus menyebar luas di masyarakat, akan menjadi lebih sulit mengetahui apakah seseorang terpapar atau tidak.
Di lain sisi, jika seseorang telah melakukan kontak dengan orang terinfeksi misalnya seorang tenaga medis dengan paparan berulang, tes negatif hanya menunjukkan swab yang diambil pada saat itu adalah negatif, bukan berarti dia tidak terinfeksi.