Serikat Pekerja Tolak Mekanisme "Joint Venture" Pertamina-Aramco
Cilacap, Antara Jateng - Serikat Pekerja Pertamina Patra Wijaya Kusuma (SPP-PWK) menolak mekanisme "joint venture" dalam proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Cilacap, Jawa Tengah, antara Pertamina dan Saudi Aramco, kata Ketua SPP-PWK Eko Sunarno.
"Ini (penolakan mekanisme 'joint venture', red.) wujud dari keberpihakan serikat pekerja untuk aset-aset negara dan demi kedaulatan energi di Indonesia," katanya saat menggelar konferensi pers di Cilacap, Rabu malam.
Ia mengatakan proyek RDMP merupakan program peningkatan kapasitas dan modernisasi kilang khususnya Kilang Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap.
Akan tetapi berdasarkan perkembangan saat ini, kata dia, kelanjutan proyek RDMP RU IV Cilacap menjadi mengkhawatirkan karena proyek tersebut dilakukan dengan menggunakan mekanisme "joint venture" dengan perusahaan asing di mana pembagian pembiayaan 55 persen Pertamina dan 45 persen Saudi Aramco.
Menurut dia, mekanisme "joint venture" bisa mengakibatkan aset kilang RU IV akan terlikuidasi dan tergadaikan, bukan lagi menjadi aset Pertamina namun menjadi aset "joint venture" selama umur kilang.
Dengan terbentuknya "joint venture", kata dia, seluruh aset yang pada dasarnya adalah aset Pertamina akan "dijual" kepada kreditur untuk mendapatkan modal berupa utang sebesar 70 persen dari "capital expenditure (capex)".
"Mekanisme 'joint venture' akan mengakibatkan hilangnya entitas Pertamina sebagai kilang negara, berganti menjadi Pertamina-Aramco. Nantinya tidak ada Pertamina RU IV Cilacap, yang ada Pertamina-Aramco," katanya.
Eko mengatakan mekanisme "joint venture" juga menimbulkan potensi penurunan total margin Pertamina yang seharusnya dapat diperoleh dari proyek RDMP.
Akibat adanya pembagian dengan Aramco, kata dia, dividen yang diterima negara akan berkurang.
Menurut dia, mekanisme "joint venture" juga mengakibatkan pengkerdilan kemandirian Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) terkait pengelolaan ketersediaan bahan bakar minyak untuk masyarakat sebagai penugasan dari negara dan akan adanya campur tangan perusahaan asing yang merepresentasikan kepentingan asing dalam pengelolaan perusahaan milik negara yang mempunyai peran strategis terhadap kemandirian serta pemenuhan kebutuhan BBM di Indonesia.
Selain itu, lanjut dia, akan terjadi potensi pengurangan pekerja yang ada saat ini akibat proses "joint venture" tersebut.
"Melihat perkembangan yang cukup mengkhawatirkan tersebut, pekerja Pertamina RU IV Cilacap mendukung dan menginginkan proyek RDMP dikelola 100 persen oleh Pertamina, dan menolak mekanisme 'joint venture' dengan Saudi Aramco," tegasnya.
Terkait hal itu, dia mengatakan SPP-PWK siap melakukan mogok kerja atas arahan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) jika mekanisme "joint venture" yang pembahasannya hampir final tersebut terealisasi.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal SPP-PWK Titok Dalimunthe mengatakan mekanisme "joint venture" di dunia internasional biasanya dilakukan terhadap proyek-proyek yang membangun dari awal.
"Jadi yang dari awal membangun sehingga tidak menyertakan aset-aset 'existing' (yang ada, red.) yang sudah memiliki nilai dan sudah memroduksi margin dalam penyertaan modal tadi," katanya.
Dia mengaku belum pernah mendengar ada mekanisme "joint venture" di tengah jalan dengan menyertakan aset-aset yang telah memiliki nilai.
"Ini (penolakan mekanisme 'joint venture', red.) wujud dari keberpihakan serikat pekerja untuk aset-aset negara dan demi kedaulatan energi di Indonesia," katanya saat menggelar konferensi pers di Cilacap, Rabu malam.
Ia mengatakan proyek RDMP merupakan program peningkatan kapasitas dan modernisasi kilang khususnya Kilang Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap.
Akan tetapi berdasarkan perkembangan saat ini, kata dia, kelanjutan proyek RDMP RU IV Cilacap menjadi mengkhawatirkan karena proyek tersebut dilakukan dengan menggunakan mekanisme "joint venture" dengan perusahaan asing di mana pembagian pembiayaan 55 persen Pertamina dan 45 persen Saudi Aramco.
Menurut dia, mekanisme "joint venture" bisa mengakibatkan aset kilang RU IV akan terlikuidasi dan tergadaikan, bukan lagi menjadi aset Pertamina namun menjadi aset "joint venture" selama umur kilang.
Dengan terbentuknya "joint venture", kata dia, seluruh aset yang pada dasarnya adalah aset Pertamina akan "dijual" kepada kreditur untuk mendapatkan modal berupa utang sebesar 70 persen dari "capital expenditure (capex)".
"Mekanisme 'joint venture' akan mengakibatkan hilangnya entitas Pertamina sebagai kilang negara, berganti menjadi Pertamina-Aramco. Nantinya tidak ada Pertamina RU IV Cilacap, yang ada Pertamina-Aramco," katanya.
Eko mengatakan mekanisme "joint venture" juga menimbulkan potensi penurunan total margin Pertamina yang seharusnya dapat diperoleh dari proyek RDMP.
Akibat adanya pembagian dengan Aramco, kata dia, dividen yang diterima negara akan berkurang.
Menurut dia, mekanisme "joint venture" juga mengakibatkan pengkerdilan kemandirian Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) terkait pengelolaan ketersediaan bahan bakar minyak untuk masyarakat sebagai penugasan dari negara dan akan adanya campur tangan perusahaan asing yang merepresentasikan kepentingan asing dalam pengelolaan perusahaan milik negara yang mempunyai peran strategis terhadap kemandirian serta pemenuhan kebutuhan BBM di Indonesia.
Selain itu, lanjut dia, akan terjadi potensi pengurangan pekerja yang ada saat ini akibat proses "joint venture" tersebut.
"Melihat perkembangan yang cukup mengkhawatirkan tersebut, pekerja Pertamina RU IV Cilacap mendukung dan menginginkan proyek RDMP dikelola 100 persen oleh Pertamina, dan menolak mekanisme 'joint venture' dengan Saudi Aramco," tegasnya.
Terkait hal itu, dia mengatakan SPP-PWK siap melakukan mogok kerja atas arahan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) jika mekanisme "joint venture" yang pembahasannya hampir final tersebut terealisasi.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal SPP-PWK Titok Dalimunthe mengatakan mekanisme "joint venture" di dunia internasional biasanya dilakukan terhadap proyek-proyek yang membangun dari awal.
"Jadi yang dari awal membangun sehingga tidak menyertakan aset-aset 'existing' (yang ada, red.) yang sudah memiliki nilai dan sudah memroduksi margin dalam penyertaan modal tadi," katanya.
Dia mengaku belum pernah mendengar ada mekanisme "joint venture" di tengah jalan dengan menyertakan aset-aset yang telah memiliki nilai.