Magelang (ANTARA) - Awalnya dampak pandemi virus corona jenis baru (COVID-19) riuh di perkotaan, khususnya kota besar, namun saat ini sudah memaparkan pengaruhnya hingga masyarakat desa-desa.

Kecepatan persebarannya bukan sebatas virus yang mengganggu kesehatan manusia hingga mengakibatkan jatuh korban jiwa, tetapi juga segala macam informasi yang berseliweran terkait dengannya, terutama di media sosial yang nyaris tanpa bisa dikendalikan.

Segala informasi dan kabar virus dalam bentuk teks, audio, video, infografis, poster, maupun produk kreatif berbasis teknologi informasi lainnya bertaburan melalui media sosial dalam beragam platform yang diunggah dan dibagikan hampir oleh setiap pemegang telepon pintar.

Baca juga: Kades di Wonosobo hibahkan lahan untuk makam korban COVID-19

Antara kabar pandemi virus yang membuat cemas dan upaya mengangkat moral serta semangat publik menghadapi dengan tegar sebaran COVID-19 melalui media sosial sampai juga ke masyarakat desa dan bergulir di kalangan mereka.

Sebut saja contohnya, tentang pembuatan portal penutup jalan masuk kampung yang melimpah terjadi di mana-mana dengan pemahaman untuk pencegahan penularan virus. Itu tidak lepas dari informasi yang mereka terima.

Selain itu, keterkejutan terhadap proses pemakaman orang meninggal dunia di rumah sakit --meski belum pasti penyebabnya apakah karena virus-- di mana hanya petugas khusus dengan menggunakan alat pelindung diri yang menguburnya, juga membuat keterkejutan tersendiri bagi warga desa.

Bahkan, hal yang miris justru muncul penolakan terhadap jenazah untuk dimakamkan di desa yang kemudian harus menjadi perhatian khusus pemerintah dengan perangkatnya untuk memberikan penjelasan tentang seluk beluk dan karakter serangan virus, termasuk proses pengurusan jenazah terkait dengan virus corona.

"Sekarang wabah (pandemi COVID-19, red.) sosmed di Mantran lebih berat dari corona," kata Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Supadi Haryanto dalam pesan lewat kanal percakapan media sosial komunitas itu, terkait dengan pemakaman jenazah tetangganya belum lama ini yang menggunakan prosedur berbeda dari lazimnya tradisi desanya selama ini di kawasan Gunung Andong, Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak tersebut.

Kepala Desa Girirejo Slamet Riyadi segera mungkin membuat rekaman video penjelasannya untuk klarifikasi terkait dengan persoalan hoaks COVID-19 yang meresahkan warganya itu, untuk selanjutnya diviralkan melalui media sosial.

Dampak pandemi juga menerpa petani yang antara lain mengusahakan lahannya untuk budi daya aneka hortikultura secara tumpang sari di mana harus dipanen dengan cara berkelanjutan. Pasar-pasar sayuran penampung panenan mereka yang cenderung sepi menjadi persoalan serius tersendiri di kalangan petani.

Ihwal itu juga mengakibatkan para penebas dan juragan sayuran pun harus berada dalam situasi dilematis menghadapi desakan petani mitranya untuk menerima pasokan panenan, sementara di pasar terjadi penurunan permintaan secara tajam.

Desa juga ditimpa kemalangan untuk menghadapi pemudik yang telanjur pulang kampung karena di kota-kota perantauannya sudah tak mampu memberikan jaminan memperoleh penghidupan secara normal. Pulang kampung jadi pilihan segera, namun pemudik harus mengisolasi diri selama 14 hari dengan pemantauan perkembangan kesehatannya, terutama oleh petugas medis.

Secara kesehatan, terutama menyangkut daya tahan tubuh dari serangan virus, mungkin kalangan warga desa yang umumnya petani, jauh lebih baik ketimbang mereka yang tinggal di perkotaan --apalagi tidak rajin berolahraga. Petani setiap hari bergulat dengan alam dan lahan pertanian membuat daya tahan tubuh relatif lebih fit.

Era keterbukaan dan mobilitas mereka yang semakin dinamislah membuat penularan virus akhirnya mengenai juga ketahanan kesehatan kalangan itu.

Berbagai program penanganan terhadap dampak pandemi dilakukan pemerintah, baik menyangkut kesehatan warga, seperti kampanye intensif untuk penerapan perilaku hidup bersih dan sehat, maupun dampaknya sektor lain, seperti melalui program jaring pengaman sosial dalam berbagai bentuk.

Warga desa-desa juga didorong membentuk satuan tugas dengan relawannya dalam pencegahan penyebaran virus, sedangkan Program Dana Desa harus dirancang ulang pengelolaaannya untuk mendukung penanganan pandemi.

Kementerian Desa, Pemberdayaan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mendorong setiap desa membentuk Tim Desa Lawan COVID-19. Sedikitnya hingga pertengahan bulan ini, tim tersebut telah terbentuk di 20.708 desa di seluruh Indonesia dengan jumlah relawan 558.205 orang.

Para relawan bertugas melakukan pencegahan, penanganan, dan koordinasi intensif dengan lembaga lain, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), babinkamtibmas, dan babinsa.

Mereka, antara lain harus mendata warga yang rentan sakit, mengidentifikasi fasilitas desa untuk isolasi, membantu penyemprotan disinfektan secara berkelanjutan untuk mencegah penyebaran virus, menangani warga terinfeksi COVID-19 melalui kerja sama dengan rumah sakit rujukan atau puskesmas, dan memastikan logistik untuk mereka yang harus menjalani isolasi.

Desa yang akhirnya terkejut juga karena terdampak pandemi, ingin bersama-sama mengupayakan kembalinya kehidupan sehari-hari yang cerah ceria, terbebas dari murung, menjalani tradisi berkumpul, kenduri, jagongan, bersawah, shalat berjamaah, berselawat, dan menarikan kesenian tradisionalnya.

Mereka juga sedang meneguk harapan untuk kembali semringah dengan cara desanya.

Baca juga: Ganjar: Jawa Tengah belum perlu ajukan PSBB
Baca juga: Ganjar siapkan tempat pemakaman tenaga medis meninggal akibat COVID-19 di Taman Makam Pahlawan
Baca juga: Kampung isolasi mandiri di Batang dapat bantuan beras, sabun, dan masker
 

Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024