Tingkat sensitivitas sebagian masyarakat Indonesia pada masa kampanye Pemilihan Umum 2019 makin tinggi. Reuni 212 yang penyelenggaraannya di tengah masa kampanye, misalnya, tidak luput dari tudingan bahwa acara tersebut kental dengan aroma politik. Apalagi, panitia mengundang Calon Presiden RI H. Prabowo Subianto. Tudingan itu pun makin mengkristal.
Ditambah lagi, pernyataan Prabowo terkait dengan sebagian besar media yang tidak memberitakan Reuni 212, padahal (menurut versi mantan Pangkostrad itu) yang hadir pada acara ini (konon) "lebih dari 11 juta orang". Terjadilah perdebatan soal jumlah peserta Reuni 212. Ada pula yang mengaitkan dengan kapasitas kawasan Monas seluas 80 hektare, lalu dengan jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2017 sebanyak 10,37 juta jiwa.
Lepas dari pro dan kontrak terkait dengan jumlah peserta Reuni 212, agaknya Prabowo "mengajak" insan pers untuk berlogika setiap menerima informasi dari siapa pun. Setidaknya, insan pers tidak mudah percaya apa kata sumber berita, apalagi terkait dengan hal-hal yang kasatmata, seperti kapasitas lokasi acara.
Di sisi lain, sentilan Prabowo tidak lepas dari dugaan ketidaknetralan sejumlah media pada tahun politik ini. Sepatutnya insan pers tetap berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik. Sepanjang di koridor KEJ, kenetralan media tetap terjaga. Lagi pula, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
Polemik yang terjadi pasca-Reuni 212 ini perlu disikapi secara dewasa. Ambil yang positif, singkirkan yang negatif. Kedewasaan menyikapi perbedaan akan melahirkan toleransi sesama anak bangsa yang beraneka suku, agama, ras, golongan, dan partai politik.
Pemilihan umum anggota legislatif bersamaan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, 17 April 2019, adalah ujian bagi anak bangsa untuk menunjukkan kedewasaan berdemokrasi. Beda pilihan, kita tetap bersaudara.
Baik Pasangan Calon Nomor Urut 01 Joko Widodo/K.H. Ma'ruf Amin maupun Pasangan Calon Nomor Urut 02 Prabowo Subianto/Sandiaga Uno, mereka adalah putra terbaik bangsa ini. Tuhan telah menentukan siapa yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019 s.d. 2024 sebelum kita lahir. Jadi, untuk apa memperuncing perbedaan?
Ditambah lagi, pernyataan Prabowo terkait dengan sebagian besar media yang tidak memberitakan Reuni 212, padahal (menurut versi mantan Pangkostrad itu) yang hadir pada acara ini (konon) "lebih dari 11 juta orang". Terjadilah perdebatan soal jumlah peserta Reuni 212. Ada pula yang mengaitkan dengan kapasitas kawasan Monas seluas 80 hektare, lalu dengan jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun 2017 sebanyak 10,37 juta jiwa.
Lepas dari pro dan kontrak terkait dengan jumlah peserta Reuni 212, agaknya Prabowo "mengajak" insan pers untuk berlogika setiap menerima informasi dari siapa pun. Setidaknya, insan pers tidak mudah percaya apa kata sumber berita, apalagi terkait dengan hal-hal yang kasatmata, seperti kapasitas lokasi acara.
Di sisi lain, sentilan Prabowo tidak lepas dari dugaan ketidaknetralan sejumlah media pada tahun politik ini. Sepatutnya insan pers tetap berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik. Sepanjang di koridor KEJ, kenetralan media tetap terjaga. Lagi pula, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi.
Polemik yang terjadi pasca-Reuni 212 ini perlu disikapi secara dewasa. Ambil yang positif, singkirkan yang negatif. Kedewasaan menyikapi perbedaan akan melahirkan toleransi sesama anak bangsa yang beraneka suku, agama, ras, golongan, dan partai politik.
Pemilihan umum anggota legislatif bersamaan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, 17 April 2019, adalah ujian bagi anak bangsa untuk menunjukkan kedewasaan berdemokrasi. Beda pilihan, kita tetap bersaudara.
Baik Pasangan Calon Nomor Urut 01 Joko Widodo/K.H. Ma'ruf Amin maupun Pasangan Calon Nomor Urut 02 Prabowo Subianto/Sandiaga Uno, mereka adalah putra terbaik bangsa ini. Tuhan telah menentukan siapa yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019 s.d. 2024 sebelum kita lahir. Jadi, untuk apa memperuncing perbedaan?